Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
RUANGAN menteri, untuk seseorang yang disebut salah satu wanita
paling perkasa di Asia menurut majalah terkemuka itu, terlihat
sederhana. Aku dan Julia (yang masih berusaha memulihkan tampang masam
karena dipanggil Nenek Lampir) terus melangkah menuju meja kerjanya.
Menteri sudah berdiri sejak melihat kami masuk. Wajahnya datar, tanpa
senyum---siapa pula yang bisa tersenyum dengan gejolak krisis dunia.
“Selamat pagi.” Dia lebih dulu menjulurkan tangan, sikap khas seorang gentleman---meski jelas dia seorang woman.
Aku mengangguk takzim, berjabat tangan, memperkenalkan diri. Julia menyusul kemudian.
“Maaf, kami terlambat beberapa detik,” aku basa-basi.
“Tidak masalah,” Menteri mengangguk, berkata cepat dengan intonasi
tegasnya, “walaupun terlambat adalah terlambat. Tidak ada bedanya
terlambat beberapa detik dengan terlambat beberapa jam, bukan. Tetapi
lupakan saja, silakan duduk.” Menteri menunjuk sofa simpel berwarna
gelap di ruangannya. Meja kecil di depan sofa dipenuhi tumpukan berkas.
Aku menelan ludah tanggung, benar-benar tipikal pejabat tinggi yang suka berterus terang.
Julia melirikku---lirikan yang jelas menyalahkanku.
Telepon di meja kerjanya berbunyi---menyelamatkan situasi kebas
barusan. Menteri mengangguk kepada kami, meminta izin sejenak, dan
sebelum kami balas mengangguk dia sudah melangkah cepat ke meja,
mengangkat gagang telepon, dan sekejap sudah terlibat percakapan seru
berbahasa Inggris mengenai situasi terakhir krisis subprime mortgage di
luar sana. Aku sungguh berusaha tidak menguping---karena meskipun aku
seorang bedebah, itu melanggar etika mana pun, tetapi Julia dengan
senang hati menulis beberapa kalimat penting yang terdengar lantang. Aku
menyikut Julia. Dia mengangkat bahu, memasang wajah tanpa dosa.
“Itu dari salah satu analis dana moneter internasional, IMF,” Ibu
Menteri sudah kembali, beranjak duduk di hadapan kami, “kolega dekat,
dia berbaik hati memberikan briefing kabar terbaru. Oh iya, tidak
masalah bukan kalau wawancara kita diselingi pekerjaan, satu-dua
telepon? Susah sekali menyisihkan waktu tiga puluh menit dalam situasi
seperti sekarang.”
Aku dan Julia (tentulah) mengangguk---kompak, berbarengan.
“Ini situasi rumit, kalian lebih dari tahu. Tadi malam ketika Shambazy
menelepon, meminta jadwal audiensi mendadak, saya sebenarnya keberatan.
Sayangnya, saya tidak pernah bisa menolak permintaan Shambaz. Dia teman
baik sejak kuliah, ketua senat kami.”
“Aku baru tahu kalau Pak Shambaz pernah jadi ketua senat,” Julia memotong sopan.
Ibu Menteri memperbaiki posisi duduk. “Dia bukan sekadar ketua senat.
Tetapi Shambazy tidak pernah tertarik bekerja menjadi birokrat, lebih
memilih berkarier menjadi wartawan, lebih nyaman dan tenang mengomentari
banyak hal. Tidur lebih nyenyak. Menjadi menteri yang berdedikasi penuh
tidak pernah sesederhana seperti masa lalu. Stres, tekanan politik,
kritik, hujatan, sorotan media massa, itu makanan sehari-hari.”
“Tetapi Ibu terlihat selalu segar.” Julia memuji---basa-basi yang keliru.
Ibu Menteri menanggapi pujian itu dengan tersenyum tipis. “Kau tidak
akan bertanya tentang trik tampil segar dan cantik seperti wartawan lain
dalam jadwal wawancara sepenting ini, bukan?”
“Eh?” Julia menelan ludah, kikuk.
“Tentu tidak, Bu.” Aku tertawa sopan, menyikut Julia agar diam,
bergegas memperbaiki situasi. Untuk seseorang yang amat berpengaruh,
suka berbicara lugas, percakapan basa-basi bisa merusak. “Tetapi karena
rekan kerjaku sudah telanjur, bolehlah kutambahi satu lagi pemanis awal
pembicaraan, aku pikir Ibu dulu pastilah seorang pemain bola kasti yang
pintar berkelit.”
“Bola kasti?” Menteri bertanya balik.
“Ya,
bola kasti. Di bawah ada puluhan wartawan dengan wajah tidak sabaran
menunggu Ibu sejak tadi pagi. Nah, tidak ada satu pun di antara mereka
yang punya ide kalau ternyata yang ditunggu sudah berada di ruangan
kerjanya. Itu pastilah trik berkelit yang hebat seperti pemain bola
kasti yang berlari menghindari terkena bola, bukan.” Aku memasang wajah
sungguh-sungguh.
Ibu Menteri sejenak diam, lantas tertawa renyah.
“Bola kasti, astaga, itu sungguh pemanis awal percakapan yang orisinil.
Kau jelas bukan wartawan kebanyakan. Siapa namamu tadi?”
“Thomas, Bu.” Aku tersenyum.
“Ya, Thomas, itu mudah saja kalau kau sering diburu wartawan, tidak
perlu trik istimewa. Ada beberapa pintu masuk di gedung ini, kau tinggal
parkir mobil di luar, berjalan kaki seperti orang kebanyakan,
menyelinap lewat pintu belakang, beres. Dan ngomong-ngomong soal bola
kasti, waktu SD, saya pemain yang buruk sekali, Thomas. Berkali-kali
kena timpuk bola, menjadi sasaran teman lelaki yang lebih besar. Hei,
siapa pula di antara kita yang tidak pernah main bola kasti sewaktu
kecil? Padahal bolanya itu untuk bermain tenis lapangan, bukan.”
Kami menghabiskan lima menit pertama untuk nostalgia. Sepertinya itu
menjadi selingan yang menarik bagi Ibu Menteri dibanding dipuji terlihat
selalu cantik dan segar.
“Rapat komite akan diadakan sore ini,
segera setelah semua anggotanya berkumpul. Kalian wartawan pertama yang
mendengar konfirmasi ini.” Ibu Menteri menjawab pendek pertanyaan
pertama Julia. Wawancara telah dimulai, lima menit kemudian.
“Belum
tahu. Rapat akan dilakukan maraton sepanjang malam hingga keputusan
diambil. Ini boleh jadi salah satu proses pengambilan keputusan yang
melelahkan.” Jawaban atas pertanyaan kedua Julia.
“Seandainya Bank Semesta tidak diselamatkan, apakah Pemerintah sudah siap mengatasi?”
“Saya tidak suka berandai-andai,” Ibu Menteri memotong kalimat Julia,
sambil memperbaiki posisi duduknya, “bahkan keputusan mengenai Bank itu
saja belum diambil.”
“Tetapi situasi terburuk bisa terjadi, bukan?
Mengingat situasi di luar semakin buruk menyusul tumbangnya beberapa
lembaga keuangan besar,” Julia mendesak sopan.
“Soal situasi di luar
semakin memburuk, itu benar, terlepas dari kau sepertinya ikut
menguping briefing dari staf dana moneter internasional tadi. Tetapi
perekonomian kita berbeda dengan mereka. Catat ini, fundamental
perekonomian kita jauh lebih tangguh, baik dibandingkan dengan negara
luar, maupun dibanding saat krisis menghantam kita satu dekade silam.
Pertumbuhan ekonomi sesuai target, surplus neraca perdagangan
mencatatkan rekor, sistem berjalan stabil, kebijakan fiskal optimal,
semua terkendali, semua lebih mature.”
“Tetapi kemungkinan rush,
dampak sistemis yang dikhawatirkan media massa dan pengamat ekonomi dua
hari terakhir? Bukankah itu sinyal berbahaya.”
“Sepertinya tidak ya, situasi kita jauh berbeda.” Ibu Menteri menjawab ringan.
“Bukankah indeks saham tumbang seminggu terakhir?”
“Itu masih reaksi yang wajar. Siapa yang tidak ingin bergegas melepas
sahamnya? Apalagi sebagian besar pemodal di bursa datang dari dana
asing. Mereka cepat pergi dalam situasi ini, menjual rugi. Tetapi
pemodal lokal kita masih wait and see, masih membeli saham.”
“Atau nilai tukar yang bergerak cepat, terus melemah?” Julia tidak mudah mengalah.
“Itu juga reaksi normal. Semua mata uang dunia bergerak fluktuatif.
Pihak bank sentral punya penjelasan lebih baik. Tetapi menurut saya
tetap saja situasi masih terkendali.”
“Jika demikian, apakah Ibu
Menteri memilih membiarkan Bank Semesta ditutup?” Aku akhirnya ikut
bertanya, tidak sabaran dengan prosesi wawancara Julia, saatnya langsung
ke topik paling penting.
“Rapat komite baru dimulai nanti sore,
Thomas.” Ibu Menteri melambaikan tangan, gerakan khasnya. “Sudah
kukatakan dua kali. Kau termasuk pelupa untuk orang semuda kau.”
“Ibu benar, baru nanti sore. Tetapi kita terkadang telah mengambil
keputusan bahkan sebelum keputusan itu dibuat. Rapat, diskusi, dengar
pendapat, itu terkadang hanya proses mencari argumen, alasan sebuah
keputusan, bukan untuk mengambil keputusan itu sendiri,” aku berkata
dengan intonasi datar terkendali, menatap lurus ke arah wajah Menteri.
Ruangan menjadi lengang sejenak.
Ibu Menteri balas menatapku, tersenyum tipis. “Kau memang tidak seperti wartawan kebanyakan, Thomas.”
“Apakah Ibu sudah memutuskan?” Aku tersenyum, memastikan.
“Baiklah. Tetapi bagian yang ini off the record, pastikan kalian tidak
mengutipnya dalam berita. Kau bertanya apakah saya secara personal
memilih membiarkan Bank Semesta ditutup? Justru saya akan bertanya
balik, apa untungnya bank itu diselamatkan? Dalam teori ekonomi modern,
pemberian subsidi, penetapan harga tertentu, pengenaan kebijakan fiskal
untuk melindungi sebuah industri, dan sebagainya, adalah merupakan
pilihan terakhir. Kita selalu membiarkan pasar bekerja sendiri, apa
adanya. Banyak orang bilang saya penganut neolib, bukan? Kaki tangan
kapitalis. Terserah. Tetapi mereka lupa, mengendalikan perekonomian
sebuah negara besar membutuhkan disiplin tinggi, konsistensi, teori,
serta pengetahuan yang memadai. Kita tidak sedang bicara di lapak becek,
sambil tertawa santai. Saya bertanggung jawab penuh memastikan
perekonomian negara dengan penduduk 240 juta orang berjalan baik.
“Apa untungnya menalangi Bank Semesta bagi Pemerintah? Bukan sekadar
angka dana talangan dua triliun--pihak bank sentral baru saja merevisi
angkanya--- bukan pula soal uang itu lebih baik diberikan untuk
membangun ribuan sekolah, misalnya, bukan pula tentang kabar kalau
pemilik bank melakukan kejahatan dan manipulasi keuangan---meskipun di
laporan bank sentral tidak disebutkan, tetapi lebih karena apakah
keputusan menyelamatkan Bank Semesta sesuai dengan disiplin, konsistensi
kebijakan keuangan Pemerintah selama ini. Bank itu kolaps, berarti
pasar telah melakukan seleksi alam. Selesai. Kalian seharusnya paham
sekali, ada prinsip-prinsip dalam pengelolaan perekonomian nasional yang
harus dipegang teguh. Jika tidak, omong kosong bicara good governance,
reformasi birokrasi, dan sebagainya itu.”
Aku menelan ludah. Sejak
awal aku sudah tahu, jika keputusan urusan ini terserah Ibu Menteri,
Bank Semesta tidak akan pernah membuka kantornya lagi, tidak ada
matahari esok untuk bank milik Om Liem. Pemberian dana talangan di luar
kelaziman yang dipahaminya.
“Nah, apakah akan terjadi rush
besar-besaran Senin besok jika Bank Semesta diumumkan pailit? Bahaya
dampak sistemis terjadi? Sistem keuangan nasional ikut kolaps? Itu
sepertinya harus mendengarkan pendapat anggota komite lainnya. Kau boleh
jadi benar, terkadang keputusan telah dibuat sebelum kita memutuskan.
Tetapi rapat komite nanti sore jelas adalah proses pengambilan
keputusan, bukan mencari argumen. Sejauh ini, saya tidak akan mendahului
proses itu dengan preferensi pribadi.” Menteri untuk ketiga kalinya
memperbaiki posisi duduk.
“Bagaimana dengan nasabah besar yang harus kehilangan uang kalau Bank Semesta ditutup?” Julia bertanya setelah lengang sejenak.
“Itu risiko mereka. Semua orang seharusnya tahu, lembaga penjamin
simpanan kita hanya menjamin tabungan hingga batas tertentu.”
“Ada ratusan nasabah....“
“Tentu saja akan ada ratusan, bahkan ribuan nasabah yang kehilangan
uang, tapi bukan nasabah kecil yang dijamin Pemerintah. Ada banyak hal
yang harus kami cemaskan, dan jelas itu bukan nasabah kelas kakap,
apalagi nasib pemilik bank yang bangkrut,” Menteri menjawab datar.
Ruangan lengang lagi sejenak. Sudah hampir dua puluh menit berlalu.
Baiklah, sudah saatnya aku mengambil dokumen yang tadi diantarkan
Maggie. Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop cokelat,
menyodorkan pada Menteri.
“Apakah Ibu pernah membaca data ini dalam laporan-laporan tentang Bank Semesta.”
“Ini apa?” Ibu Menteri menerimanya.
“Daftar deposito perusahaan negara di Bank Semesta,” aku menjawab
pendek, membiarkan sebentar Menteri melihat cepat dokumen itu.
“Apakah ini valid?” Terdengar helaan napas samar di balik pertanyaan Menteri---meski wajahnya tetap berusaha tenang dan datar.
“Lebih dari valid, aku mendapatkannya dari pihak internal Bank
Semesta.” Aku menjawab lugas. “Seperti yang Ibu lihat sendiri,
setidaknya ada delapan perusahaan negara yang menaruh deposito bernilai
ratusan miliar di Bank Semesta. Nah, tadi Ibu bertanya padaku, apa
untungnya bagi Pemerintah menalangi Bank Semesta? Ibu bisa
menyimpulkannya sendiri.”
Ruangan besar itu kembali lengang. Aku
sengaja memasang wajah menunggu komentarnya setelah melihat dokumen itu.
Boleh saja wanita tangguh ini memilih disiplin dan konsisten, memegang
teguh prinsip-prinsipnya, tapi dengan dokumen ini, situasinya hanya
menjurus dua hal buruk. Biarkan Bank Semesta pailit, maka seluruh
deposito delapan perusahaan negara bernilai nyaris satu triliun akan
hangus. Kerugian itu akan dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan
negara, tidak bisa ditutup-tutupi. Maka dengan cepat, media massa
memburu penjelasan. Siapa yang telah memberikan otorisasi menyimpan
deposito di bank bermasalah, siapa yang harus bertanggung jawab.
Lingkaran setan masalah ini sama runyamnya dengan pilihan menyelamatkan
Bank Semesta.
“Saya tahu, cepat atau lambat urusan ini tidak pernah
sesederhana itu.” Kali ini aku mendengar jelas helaan napas Menteri.
“Saya tidak menemukan data ini dalam laporan bank sentral. Astaga,
banyak sekali uang perusahaan negara disimpan di sana.”
Ruangan kembali lengang.
“Saya minta maaf kalau dokumen itu menambah tekanan baru bagi Ibu dalam
mengambil keputusan.” Aku berkata sesopan mungkin, berlagak ikut
simpati.
“Terima kasih, Thomas. Tanpa dokumen ini pun, cepat atau
lambat situasinya semakin rumit.” Menteri perlahan meletakkan selembar
kertas itu di atas meja. “Sayangnya waktu wawancara kita telah habis,
ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan.”
Aku dan Julia mengangguk.
Menteri berdiri. “Saya antar kalian ke pintu keluar.”
Kami melangkah menuju pintu depan.
“Salam buat Shambazy.” Menteri berjabat tangan dengan Julia.
“Dan kau, Thomas, kau tidak cocok menjadi wartawan. Kau bukan tipikal
komentator dan penonton seperti Shambaz, kau adalah pemain, pemain kasti
yang hebat, tukang timpuk anak-anak perempuan yang lebih kecil.”
Menteri menyalamiku, tertawa.
Aku ikut tertawa sopan.
Pertemuan itu telah selesai.
***
“Dari mana kau dapat ide tentang bola kasti itu?” Julia bertanya saat lift meluncur turun.
“Maggie. Dia menuliskan hasil googling-nya dalam kertas lain di dokumen
yang dia antar tadi. Berguna, bukan? Detail superkecil seperti itu.”
“Maggie? Stafmu yang memanggil aku Nenek Lampir?” Wajah Julia terlipat.
Aku tertawa, melirik pergelangan tangan, pukul 09.45. Aku masih punya waktu tiga jam sebelum jadwal penerbangan nanti sore.
“Kau sekarang ke mana?” Julia bertanya lagi.
“Beberapa pertemuan kecil lagi sebelum nanti sore berselancar di Bali.”
“Berselancar di Bali?”
Aku mengangguk, menatap angka-angka penunjuk lantai di dinding lift. “Kau mau ikut?”
Alis Julia terangkat. “Dalam urusan seperti ini? Kau bergurau atau serius, Thom?”
“Mengajakmu berselancar ke Bali? Tentu saja aku serius, Julia. Itu bisa
jadi pengantar yang baik sebelum kita makan malam bersama di tepi
pantai misalnya.”
Julia melotot sebal.
Aku tertawa. “Aku harus
menemui seseorang di Denpasar pukul empat sore. Itu pertemuan paling
penting dari semua skenario, Julia. Kau seharusnya bisa menyimpulkan
sendiri dari percakapan tadi, walaupun aku menyerahkan dokumen yang
lebih mengenaskan tentang deposito perusahaan negara di Bank Semesta,
wanita tangguh itu boleh jadi tetap akan memilih disiplin dan
konsistensinya. Dia kukuh. Dia tidak akan menalangi Bank Semesta sepeser
pun. Aku membutuhkan bidak lain untuk memastikan keputusan rapat komite
sebaliknya.”
“Kau akan bertemu siapa di Bali?” Julia bertanya.
Pintu lift sudah terbuka sebelum aku sempat menjawab. Lobi gedung
langsung terlihat ramai dan bising. Pejabat tinggi bank sentral dan
ketua lembaga penjamin simpanan (yang kemarin sore satu pesawat
denganku) telah tiba dari luar kota, dikerubuti wartawan.
“Cepat, Julia.” Aku sudah melangkah cepat, berusaha menyelinap pergi.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon