Senin, 06 Maret 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Epside 31 - Prinsip dan Keputusan


Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

RUANGAN menteri, untuk seseorang yang disebut salah satu wanita paling perkasa di Asia menurut majalah terkemuka itu, terlihat sederhana. Aku dan Julia (yang masih berusaha memulihkan tampang masam karena dipanggil Nenek Lampir) terus melangkah menuju meja kerjanya. Menteri sudah berdiri sejak melihat kami masuk. Wajahnya datar, tanpa senyum---siapa pula yang bisa tersenyum dengan gejolak krisis dunia.

“Selamat pagi.” Dia lebih dulu menjulurkan tangan, sikap khas seorang gentleman---meski jelas dia seorang woman.

Aku mengangguk takzim, berjabat tangan, memperkenalkan diri. Julia menyusul kemudian.

“Maaf, kami terlambat beberapa detik,” aku basa-basi.

“Tidak masalah,” Menteri mengangguk, berkata cepat dengan intonasi tegasnya, “walaupun terlambat adalah terlambat. Tidak ada bedanya terlambat beberapa detik dengan terlambat beberapa jam, bukan. Tetapi lupakan saja, silakan duduk.” Menteri menunjuk sofa simpel berwarna gelap di ruangannya. Meja kecil di depan sofa dipenuhi tumpukan berkas.

Aku menelan ludah tanggung, benar-benar tipikal pejabat tinggi yang suka berterus terang. 
Julia melirikku---lirikan yang jelas menyalahkanku.

Telepon di meja kerjanya berbunyi---menyelamatkan situasi kebas barusan. Menteri mengangguk kepada kami, meminta izin sejenak, dan sebelum kami balas mengangguk dia sudah melangkah cepat ke meja, mengangkat gagang telepon, dan sekejap sudah terlibat percakapan seru berbahasa Inggris mengenai situasi terakhir krisis subprime mortgage di luar sana. Aku sungguh berusaha tidak menguping---karena meskipun aku seorang bedebah, itu melanggar etika mana pun, tetapi Julia dengan senang hati menulis beberapa kalimat penting yang terdengar lantang. Aku menyikut Julia. Dia mengangkat bahu, memasang wajah tanpa dosa.

“Itu dari salah satu analis dana moneter internasional, IMF,” Ibu Menteri sudah kembali, beranjak duduk di hadapan kami, “kolega dekat, dia berbaik hati memberikan briefing kabar terbaru. Oh iya, tidak masalah bukan kalau wawancara kita diselingi pekerjaan, satu-dua telepon? Susah sekali menyisihkan waktu tiga puluh menit dalam situasi seperti sekarang.”

Aku dan Julia (tentulah) mengangguk---kompak, berbarengan. 

“Ini situasi rumit, kalian lebih dari tahu. Tadi malam ketika Shambazy menelepon, meminta jadwal audiensi mendadak, saya sebenarnya keberatan. Sayangnya, saya tidak pernah bisa menolak permintaan Shambaz. Dia teman baik sejak kuliah, ketua senat kami.” 

“Aku baru tahu kalau Pak Shambaz pernah jadi ketua senat,” Julia memotong sopan.

Ibu Menteri memperbaiki posisi duduk. “Dia bukan sekadar ketua senat. Tetapi Shambazy tidak pernah tertarik bekerja menjadi birokrat, lebih memilih berkarier menjadi wartawan, lebih nyaman dan tenang mengomentari banyak hal. Tidur lebih nyenyak. Menjadi menteri yang berdedikasi penuh tidak pernah sesederhana seperti masa lalu. Stres, tekanan politik, kritik, hujatan, sorotan media massa, itu makanan sehari-hari.”

“Tetapi Ibu terlihat selalu segar.” Julia memuji---basa-basi yang keliru.

Ibu Menteri menanggapi pujian itu dengan tersenyum tipis. “Kau tidak akan bertanya tentang trik tampil segar dan cantik seperti wartawan lain dalam jadwal wawancara sepenting ini, bukan?”
“Eh?” Julia menelan ludah, kikuk. 

“Tentu tidak, Bu.” Aku tertawa sopan, menyikut Julia agar diam, bergegas memperbaiki situasi. Untuk seseorang yang amat berpengaruh, suka berbicara lugas, percakapan basa-basi bisa merusak. “Tetapi karena rekan kerjaku sudah telanjur, bolehlah kutambahi satu lagi pemanis awal pembicaraan, aku pikir Ibu dulu pastilah seorang pemain bola kasti yang pintar berkelit.” 

“Bola kasti?” Menteri bertanya balik.

“Ya, bola kasti. Di bawah ada puluhan wartawan dengan wajah tidak sabaran menunggu Ibu sejak tadi pagi. Nah, tidak ada satu pun di antara mereka yang punya ide kalau ternyata yang ditunggu sudah berada di ruangan kerjanya. Itu pastilah trik berkelit yang hebat seperti pemain bola kasti yang berlari menghindari terkena bola, bukan.” Aku memasang wajah sungguh-sungguh.

Ibu Menteri sejenak diam, lantas tertawa renyah. “Bola kasti, astaga, itu sungguh pemanis awal percakapan yang orisinil. Kau jelas bukan wartawan kebanyakan. Siapa namamu tadi?”

“Thomas, Bu.” Aku tersenyum.

“Ya, Thomas, itu mudah saja kalau kau sering diburu wartawan, tidak perlu trik istimewa. Ada beberapa pintu masuk di gedung ini, kau tinggal parkir mobil di luar, berjalan kaki seperti orang kebanyakan, menyelinap lewat pintu belakang, beres. Dan ngomong-ngomong soal bola kasti, waktu SD, saya pemain yang buruk sekali, Thomas. Berkali-kali kena timpuk bola, menjadi sasaran teman lelaki yang lebih besar. Hei, siapa pula di antara kita yang tidak pernah main bola kasti sewaktu kecil? Padahal bolanya itu untuk bermain tenis lapangan, bukan.”

Kami menghabiskan lima menit pertama untuk nostalgia. Sepertinya itu menjadi selingan yang menarik bagi Ibu Menteri dibanding dipuji terlihat selalu cantik dan segar. 

“Rapat komite akan diadakan sore ini, segera setelah semua anggotanya berkumpul. Kalian wartawan pertama yang mendengar konfirmasi ini.” Ibu Menteri menjawab pendek pertanyaan pertama Julia. Wawancara telah dimulai, lima menit kemudian.

“Belum tahu. Rapat akan dilakukan maraton sepanjang malam hingga keputusan diambil. Ini boleh jadi salah satu proses pengambilan keputusan yang melelahkan.” Jawaban atas pertanyaan kedua Julia.

“Seandainya Bank Semesta tidak diselamatkan, apakah Pemerintah sudah siap mengatasi?” 

“Saya tidak suka berandai-andai,” Ibu Menteri memotong kalimat Julia, sambil memperbaiki posisi duduknya, “bahkan keputusan mengenai Bank itu saja belum diambil.”

“Tetapi situasi terburuk bisa terjadi, bukan? Mengingat situasi di luar semakin buruk menyusul tumbangnya beberapa lembaga keuangan besar,” Julia mendesak sopan.

“Soal situasi di luar semakin memburuk, itu benar, terlepas dari kau sepertinya ikut menguping briefing dari staf dana moneter internasional tadi. Tetapi perekonomian kita berbeda dengan mereka. Catat ini, fundamental perekonomian kita jauh lebih tangguh, baik dibandingkan dengan negara luar, maupun dibanding saat krisis menghantam kita satu dekade silam. Pertumbuhan ekonomi sesuai target, surplus neraca perdagangan mencatatkan rekor, sistem berjalan stabil, kebijakan fiskal optimal, semua terkendali, semua lebih mature.”

“Tetapi kemungkinan rush, dampak sistemis yang dikhawatirkan media massa dan pengamat ekonomi dua hari terakhir? Bukankah itu sinyal berbahaya.”

“Sepertinya tidak ya, situasi kita jauh berbeda.” Ibu Menteri menjawab ringan.

“Bukankah indeks saham tumbang seminggu terakhir?”

“Itu masih reaksi yang wajar. Siapa yang tidak ingin bergegas melepas sahamnya? Apalagi sebagian besar pemodal di bursa datang dari dana asing. Mereka cepat pergi dalam situasi ini, menjual rugi. Tetapi pemodal lokal kita masih wait and see, masih membeli saham.”

“Atau nilai tukar yang bergerak cepat, terus melemah?” Julia tidak mudah mengalah.

“Itu juga reaksi normal. Semua mata uang dunia bergerak fluktuatif. Pihak bank sentral punya penjelasan lebih baik. Tetapi menurut saya tetap saja situasi masih terkendali.”

“Jika demikian, apakah Ibu Menteri memilih membiarkan Bank Semesta ditutup?” Aku akhirnya ikut bertanya, tidak sabaran dengan prosesi wawancara Julia, saatnya langsung ke topik paling penting.

“Rapat komite baru dimulai nanti sore, Thomas.” Ibu Menteri melambaikan tangan, gerakan khasnya. “Sudah kukatakan dua kali. Kau termasuk pelupa untuk orang semuda kau.”

“Ibu benar, baru nanti sore. Tetapi kita terkadang telah mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu dibuat. Rapat, diskusi, dengar pendapat, itu terkadang hanya proses mencari argumen, alasan sebuah keputusan, bukan untuk mengambil keputusan itu sendiri,” aku berkata dengan intonasi datar terkendali, menatap lurus ke arah wajah Menteri. 

Ruangan menjadi lengang sejenak.

Ibu Menteri balas menatapku, tersenyum tipis. “Kau memang tidak seperti wartawan kebanyakan, Thomas.”

“Apakah Ibu sudah memutuskan?” Aku tersenyum, memastikan.

“Baiklah. Tetapi bagian yang ini off the record, pastikan kalian tidak mengutipnya dalam berita. Kau bertanya apakah saya secara personal memilih membiarkan Bank Semesta ditutup? Justru saya akan bertanya balik, apa untungnya bank itu diselamatkan? Dalam teori ekonomi modern, pemberian subsidi, penetapan harga tertentu, pengenaan kebijakan fiskal untuk melindungi sebuah industri, dan sebagainya, adalah merupakan pilihan terakhir. Kita selalu membiarkan pasar bekerja sendiri, apa adanya. Banyak orang bilang saya penganut neolib, bukan? Kaki tangan kapitalis. Terserah. Tetapi mereka lupa, mengendalikan perekonomian sebuah negara besar membutuhkan disiplin tinggi, konsistensi, teori, serta pengetahuan yang memadai. Kita tidak sedang bicara di lapak becek, sambil tertawa santai. Saya bertanggung jawab penuh memastikan perekonomian negara dengan penduduk 240 juta orang berjalan baik.

“Apa untungnya menalangi Bank Semesta bagi Pemerintah? Bukan sekadar angka dana talangan dua triliun--pihak bank sentral baru saja merevisi angkanya--- bukan pula soal uang itu lebih baik diberikan untuk membangun ribuan sekolah, misalnya, bukan pula tentang kabar kalau pemilik bank melakukan kejahatan dan manipulasi keuangan---meskipun di laporan bank sentral tidak disebutkan, tetapi lebih karena apakah keputusan menyelamatkan Bank Semesta sesuai dengan disiplin, konsistensi kebijakan keuangan Pemerintah selama ini. Bank itu kolaps, berarti pasar telah melakukan seleksi alam. Selesai. Kalian seharusnya paham sekali, ada prinsip-prinsip dalam pengelolaan perekonomian nasional yang harus dipegang teguh. Jika tidak, omong kosong bicara good governance, reformasi birokrasi, dan sebagainya itu.”

Aku menelan ludah. Sejak awal aku sudah tahu, jika keputusan urusan ini terserah Ibu Menteri, Bank Semesta tidak akan pernah membuka kantornya lagi, tidak ada matahari esok untuk bank milik Om Liem. Pemberian dana talangan di luar kelaziman yang dipahaminya.

“Nah, apakah akan terjadi rush besar-besaran Senin besok jika Bank Semesta diumumkan pailit? Bahaya dampak sistemis terjadi? Sistem keuangan nasional ikut kolaps? Itu sepertinya harus mendengarkan pendapat anggota komite lainnya. Kau boleh jadi benar, terkadang keputusan telah dibuat sebelum kita memutuskan. Tetapi rapat komite nanti sore jelas adalah proses pengambilan keputusan, bukan mencari argumen. Sejauh ini, saya tidak akan mendahului proses itu dengan preferensi pribadi.” Menteri untuk ketiga kalinya memperbaiki posisi duduk.

“Bagaimana dengan nasabah besar yang harus kehilangan uang kalau Bank Semesta ditutup?” Julia bertanya setelah lengang sejenak.

“Itu risiko mereka. Semua orang seharusnya tahu, lembaga penjamin simpanan kita hanya menjamin tabungan hingga batas tertentu.” 

“Ada ratusan nasabah....“ 

“Tentu saja akan ada ratusan, bahkan ribuan nasabah yang kehilangan uang, tapi bukan nasabah kecil yang dijamin Pemerintah. Ada banyak hal yang harus kami cemaskan, dan jelas itu bukan nasabah kelas kakap, apalagi nasib pemilik bank yang bangkrut,” Menteri menjawab datar.

Ruangan lengang lagi sejenak. Sudah hampir dua puluh menit berlalu.

Baiklah, sudah saatnya aku mengambil dokumen yang tadi diantarkan Maggie. Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop cokelat, menyodorkan pada Menteri.

“Apakah Ibu pernah membaca data ini dalam laporan-laporan tentang Bank Semesta.”

“Ini apa?” Ibu Menteri menerimanya.

“Daftar deposito perusahaan negara di Bank Semesta,” aku menjawab pendek, membiarkan sebentar Menteri melihat cepat dokumen itu.

“Apakah ini valid?” Terdengar helaan napas samar di balik pertanyaan Menteri---meski wajahnya tetap berusaha tenang dan datar.

“Lebih dari valid, aku mendapatkannya dari pihak internal Bank Semesta.” Aku menjawab lugas. “Seperti yang Ibu lihat sendiri, setidaknya ada delapan perusahaan negara yang menaruh deposito bernilai ratusan miliar di Bank Semesta. Nah, tadi Ibu bertanya padaku, apa untungnya bagi Pemerintah menalangi Bank Semesta? Ibu bisa menyimpulkannya sendiri.”

Ruangan besar itu kembali lengang. Aku sengaja memasang wajah menunggu komentarnya setelah melihat dokumen itu. Boleh saja wanita tangguh ini memilih disiplin dan konsisten, memegang teguh prinsip-prinsipnya, tapi dengan dokumen ini, situasinya hanya menjurus dua hal buruk. Biarkan Bank Semesta pailit, maka seluruh deposito delapan perusahaan negara bernilai nyaris satu triliun akan hangus. Kerugian itu akan dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan negara, tidak bisa ditutup-tutupi. Maka dengan cepat, media massa memburu penjelasan. Siapa yang telah memberikan otorisasi menyimpan deposito di bank bermasalah, siapa yang harus bertanggung jawab. Lingkaran setan masalah ini sama runyamnya dengan pilihan menyelamatkan Bank Semesta.

“Saya tahu, cepat atau lambat urusan ini tidak pernah sesederhana itu.” Kali ini aku mendengar jelas helaan napas Menteri. “Saya tidak menemukan data ini dalam laporan bank sentral. Astaga, banyak sekali uang perusahaan negara disimpan di sana.”

Ruangan kembali lengang.

“Saya minta maaf kalau dokumen itu menambah tekanan baru bagi Ibu dalam mengambil keputusan.” Aku berkata sesopan mungkin, berlagak ikut simpati.

“Terima kasih, Thomas. Tanpa dokumen ini pun, cepat atau lambat situasinya semakin rumit.” Menteri perlahan meletakkan selembar kertas itu di atas meja. “Sayangnya waktu wawancara kita telah habis, ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan.”

Aku dan Julia mengangguk.

Menteri berdiri. “Saya antar kalian ke pintu keluar.”

Kami melangkah menuju pintu depan.

“Salam buat Shambazy.” Menteri berjabat tangan dengan Julia.

“Dan kau, Thomas, kau tidak cocok menjadi wartawan. Kau bukan tipikal komentator dan penonton seperti Shambaz, kau adalah pemain, pemain kasti yang hebat, tukang timpuk anak-anak perempuan yang lebih kecil.” Menteri menyalamiku, tertawa.

Aku ikut tertawa sopan.

Pertemuan itu telah selesai.


***



“Dari mana kau dapat ide tentang bola kasti itu?” Julia bertanya saat lift meluncur turun.

“Maggie. Dia menuliskan hasil googling-nya dalam kertas lain di dokumen yang dia antar tadi. Berguna, bukan? Detail superkecil seperti itu.”

“Maggie? Stafmu yang memanggil aku Nenek Lampir?” Wajah Julia terlipat.

Aku tertawa, melirik pergelangan tangan, pukul 09.45. Aku masih punya waktu tiga jam sebelum jadwal penerbangan nanti sore.

“Kau sekarang ke mana?” Julia bertanya lagi.

“Beberapa pertemuan kecil lagi sebelum nanti sore berselancar di Bali.”

“Berselancar di Bali?”

Aku mengangguk, menatap angka-angka penunjuk lantai di dinding lift. “Kau mau ikut?”

Alis Julia terangkat. “Dalam urusan seperti ini? Kau bergurau atau serius, Thom?”

“Mengajakmu berselancar ke Bali? Tentu saja aku serius, Julia. Itu bisa jadi pengantar yang baik sebelum kita makan malam bersama di tepi pantai misalnya.”

Julia melotot sebal.

Aku tertawa. “Aku harus menemui seseorang di Denpasar pukul empat sore. Itu pertemuan paling penting dari semua skenario, Julia. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri dari percakapan tadi, walaupun aku menyerahkan dokumen yang lebih mengenaskan tentang deposito perusahaan negara di Bank Semesta, wanita tangguh itu boleh jadi tetap akan memilih disiplin dan konsistensinya. Dia kukuh. Dia tidak akan menalangi Bank Semesta sepeser pun. Aku membutuhkan bidak lain untuk memastikan keputusan rapat komite sebaliknya.”

“Kau akan bertemu siapa di Bali?” Julia bertanya.

Pintu lift sudah terbuka sebelum aku sempat menjawab. Lobi gedung langsung terlihat ramai dan bising. Pejabat tinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan (yang kemarin sore satu pesawat denganku) telah tiba dari luar kota, dikerubuti wartawan.

“Cepat, Julia.” Aku sudah melangkah cepat, berusaha menyelinap pergi.



*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon