Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
KELIRU, mereka sama sekali tidak tertarik mengunyah pizza yang kubawa.
Pintu lift lantai lima terbuka, aku melangkah layaknya seorang
pengantar pizza yang baik, bergegas masuk ke ruang resepsionis kantorku.
Segera, dua dari petugas berseragam taktis langsung menghadang.
“Pagi, Bos. Saya hendak mengantar pizza ke dalam.”
“Kau tidak boleh masuk!” Salah satu dari mereka mengangkat tangan,
menunjuk lorong, menyuruhku pergi. Tangan satunya mengangkat senjata
mesin otomatis, teracung padaku.
“Eh?” Aku pura-pura bingung,
memastikan nama perusahaan yang ditulis dengan batu pualam di belakang
meja resepsionis. “Bukankah ini kantor Thomas & Co? Ada karyawannya
yang memesan pizza. Aku harus mengantar ke dalam.” Dan aku, seperti gaya
pengantar pizza yang terburu-buru, mengabaikan dua petugas itu,
melangkah menuju pintu di sebelah meja resepsionis.
“Kau tidak boleh
masuk!” Salah satu dari mereka membentak, sigap meloncat. Tangannya
yang terlatih dengan cepat mencengkeram kerah seragam pizza-ku.
Sial! Aku menelan ludah, sedikit tercekik.
“Eh, aku, aku tahu ruang kerja yang memesan pizza ini, Bos. Biar
kuantar ke dalam langsung, tidak akan lama. Mereka sudah biasa pesan.”
Aku berusaha mengangkat tinggi kotak pizza, menunjukkannya, memasang
wajah seperti tersiksa oleh cengkeraman kasar itu.
Petugas yang
memegang kerahku sedikit melonggarkan genggaman tangannya demi cicit
suara kesakitanku. “Tidak ada yang memesan pizza! Tidak ada siapa-siapa
di dalam sana.”
“Ada yang pesan, Pak, eh Bos.” Aku menunjukkan
sekilas resi pesanan. “Aku sungguh harus mengantarkannya tepat waktu,
atau mereka berhak menerima pizza gratis karena terlambat dan pizza-nya
telanjur dingin. Gajiku akan dipotong manajer gerai, belum lagi dia akan
marah-marah.” Aku membungkuk, mengembuskan napas, pura-pura tersengal
dan pias oleh kejadian barusan.
Petugas itu menoleh temannya, meminta pendapat.
Temannya mengangkat bahu. Tangannya terus siaga memegang senjata---terarah padaku.
“Baik. Sekarang kau serahkan pizza-nya, biar kami yang bawa ke dalam.”
“Eh, aku harus mengantarnya sendiri, Pak Bos.” Aku buru-buru
menggeleng. Aku harus masuk ke dalam, aku harus melihat sendiri posisi
Maggie, dan seberapa banyak mereka yang sedang menahan Maggie.
“Sama
saja!” Petugas itu berseru kesal, dia mulai tidak sabaran lagi melihat
wajahku. “Kau tinggal bilang di mana meja pemesan pizza ini. Biar aku
yang antar. Kau tunggu di sini saja.”
Aku berpikir sejenak, berusaha mencari akal untuk bernegosiasi diizinkan masuk.
Petugas itu sudah merampas kantong plastik besar berisi kotak pizza di tanganku.
“Di mana meja pemesannya?” Mendesak, menatap galak.
“Eh, Ibu Maggie. Mejanya paling pojok.” Aku terbata-bata menjawab.
Petugas itu melangkah dengan cepat.
Aku ikut melangkah masuk, mengiringinya.
“Astaga.” Petugas menoleh, tangannya bergerak cepat, senjata mesin
otomatisnya terangkat, larasnya menahan dadaku. “Alangkah susah memberi
perintah padamu. Tunggu di luar aku bilang berarti kau tunggu. Atau kau
tidak akan pernah bisa lagi mengantar pizza walau sekotak kecil jika
kutarik pelatuk senjata ini.”
Aku menahan napas. Mata kami bersitatap satu sama lain.
“Maaf, Pak, eh, Bos. Maaf.” Aku menelan ludah, mengangkat tangan, perlahan melangkah mundur.
Setidaknya satpam gerbang belakang gedung perkantoran benar. Jumlah
mereka enam. Meski berpura-pura gentar menatap senjata, sebelum
melangkah mundur, aku sekejap bisa melirik dengan jelas ujung ruangan.
Maggie didudukkan di salah satu kursi, tangannya diborgol. Empat petugas
berada di sekitarnya, berjaga penuh. Bintang tiga polisi itu terlihat
santai menikmati pemandangan jalanan kota yang lengang dari dinding
kaca. Dua tangannya di saku celana. Dia tidak memperhatikan keributan
kecil dua petugasnya yang berjaga di meja resepsionis dengan pengantar
pizza.
“Apalagi yang kau tunggu, hah? Pizza-mu sudah kuletakkan di atas meja pemesannya.” Petugas yang membawa kotak pizza kembali.
“Eh.” Aku menggaruk kepala, melonggarkan topi seragam. “Biasanya mereka memberiku tips, Bos.”
“Apa kau bilang?” Dia membentak, melotot.
“Eh, tips, Pak Bos. Biasanya ada.” Aku masih berusaha melirik ke
sana-kemari, memastikan apakah masih ada petugas lain yang berjaga di
lokasi berbeda.
“Lupakan tipsmu. Segera menyingkir dari sini.” Dia
mendorongku kasar. “Dan jangan pernah cerita pada siapa pun apa yang
kaulihat.”
Petugas yang satunya mendekat, bersiap memukulkan popor senjata jika aku tidak segera pergi.
Aku mengangguk. Baiklah, tidak ada yang bisa lagi kulakukan. Dengan
situasi seperti ini, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekatinya saja
aku tidak bisa. Segeram apa pun aku, segemas apa pun, termasuk ingin
meninju petugas yang sekarang kasar sekali menusuk-nusukkan laras
senjatanya ke perut, aku tidak punya pilihan selain pura-pura pergi.
Setidaknya aku tahu persis Maggie baik-baik saja. Dia tidak diperlakukan
kasar. Sesuai skenario, aku hanya bisa menunggu. Dan berharap, setengah
lusin polisi berpakaian tempur ini akan mengunyah pizza dengan topping
spesial bunga terompet.
Aku perlahan melangkah keluar.
Sayangnya skenario itu gagal total. Jangankan memakan, mereka menyentuh kotaknya pun tidak.
***
Lima menit yang dijanjikan bintang tiga polisi itu berlalu.
Aku menunggu dengan tegang di lorong lift, di balik tanaman hias besar,
di dekat pintu menuju tangga darurat. Aku mengintip ke arah kantorku,
sama sekali tidak terlihat tanda-tanda pizza itu disentuh mereka. Dua
petugas yang berjaga di meja resepsionis kantor tetap siaga,
berjaga-jaga atas segala kemungkinan.
Bintang tiga polisi itu
membuktikan ucapannya, dia akan membawa Maggie pergi jika aku tidak
menunjukkan batang hidung sesuai tenggat yang diberikan. Lima menit
berlalu, dia bahkan tidak perlu repot-repot lagi berusaha meneleponku.
Dia berteriak memberi perintah pada empat anak buahnya untuk segera
membawa tahanan. Mereka bergerak. Senjata-senjata teracung, Maggie
disuruh berdiri.
Dari balik tanaman hias, aku mendengar
bentakan-bentakan menyuruh Maggie segera melangkah. Terdengar suara
mengaduh tertahan Maggie. Tanganku mengepal, situasi semakin serius.
Kalau saja hendak menurutkan emosiku, saat ini juga aku akan menyerbu
ruangan. Tapi itu tidak bisa kulakukan. Julia benar, itu hanya bunuh
diri, dan aku bisa membahayakan Maggie secara tidak langsung.
Maggie
melangkah patah-patah keluar. Dua petugas di meja resepsionis bergabung
mengawal, seperti sedang mengawal penjahat besar paling berbahaya.
Bintang tiga polisi itu melangkah santai di belakang.
Aku mendongak, menatap langit-langit lorong. Apa yang harus kulakukan
sekarang? Napasku sungguhan tersengal, tegang, mencengkeram paha,
berusaha mengendalikan diri.
Rombongan itu sudah menuju lift. Satu-dua kali Maggie didorong agar berjalan lebih cepat.
Tanganku mengepal keras. Hanya hitungan detik, dan Maggie sudah dibawa
pergi entah ke mana. Aku tidak akan pernah bisa lagi menyelamatkannya.
Rombongan itu beberapa langkah lagi menuju lift.
Aku kehabisan kesabaran, sekarang atau tidak sama sekali, aku siap lompat dari persembunyian, berlari menyerbu rombongan itu.
“Psst!”
Seperseribu detik. Bisikan pelan itu membuat gerakanku tertahan.
“Psst!”
Aku menoleh. Kejutan besar.
Adalah Rudi, si bokser sejati klub petarung. Kepalanya muncul di balik pintu tangga darurat dua langkah di sebelahku.
“Ikuti aku, Thomas. Waktu kita terbatas.” Dia tersenyum, matanya bersinar meyakinkan.
Aku menelan ludah, tertahan menoleh pada Rudi sejenak, menoleh lagi ke
ujung sana. Rombongan yang membawa Maggie sudah persis di depan lift.
“Cepat, Kawan. Atau stafmu yang cantik itu tidak punya kesempatan
lagi.” Wajah Rudi hilang di balik pintu darurat, suara kakinya yang
menuruni anak tangga terdengar berderap di balik pintu.
Aku mengusap
wajah. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Rudi
muncul dan menawarkan bantuan. Aku menoleh ke ujung lorong, salah satu
polisi menekan tombol ke bawah, menunggu lift terbuka.
Baiklah.
Pilihanku terbatas. Aku bergegas membuka pintu darurat, dengan cepat
menyusul Rudi yang sudah satu lantai di bawah. Aku loncat ke pegangan
tangga, dengan bantalan paha, meluncur.
“Jangan banyak bertanya dulu, Kawan.” Rudi menoleh, tertawa.
“Anggap saja aku sakit hati hanya bertugas mengatur lalu lintas di perempatan.”
Aku menelan ludah. Kami sudah tiga lantai turun dengan cepat.
“Dari dulu aku selalu berharap bisa bertarung bersisian bersamamu,
Thomas.” Rudi memicingkan matanya. “Itu pasti akan seru. Tetapi Theo dan
pendiri klub petarung terlalu konservatif. Aku sudah mengusulkan
berkali-kali agar kita membuat jenis pertarungan baru di klub. Dua lawan
dua, misalnya. Atau empat lawan empat. Itu jelas lebih seru, bukan?”
Kami tinggal satu lantai lagi tiba di lantai lobi gedung.
Rudi mendorong pintu darurat, keluar, berlarian di lobi yang lengang.
“Nah, inilah kesempatan besarnya. Dua lawan enam. Ini akan menjadi
pertarungan hebat, Thomas. Pertarungan legendaris.”
Aku menelan ludah, dari tadi tidak berkomentar, terus mengikuti langkah kaki Rudi.
“Kita masuk dengan cepat, Kawan. Seperti angin puyuh.” Rudi mengatur
napas, menatapku yakin. “Lima detik pertama adalah segalanya.”
Aku
akhirnya paham. Kami sudah berdiri persis di depan pintu lift lantai
lobi. Aku mendongak, menatap petunjuk posisi lantai, lift masih bergerak
turun, dua lantai lagi.
“Kau pasti tahu, senjata mesin otomatias
yang mereka pegang tidak akan berguna dalam pertarungan jarak pendek.
Ruangan lift terlalu sempit untuk mengambil ancang-ancang menembak. Kita
akan menyerbu masuk persis pintu lift terbuka, kita langsung beradu
punggung, Thomas. Kau urus tiga atau empat petugas, aku urus tiga yang
lainnya.” Rudi bersiap-siap, mengenakan kedok di kepala, hanya terlihat
matanya saja sekarang, dia memasang posisi bertinju.
Aku ikut
memasang posisi, gigiku bergemeletuk oleh sensasi pertarungan, tanganku
mengepal sempurna membentuk tinju, bedanya tidak ada sarungnya di sana
sekarang.
Rudi benar, ini akan jadi pertarungan hebat.
“Pukul
bagian badan yang mematikan, Thomas. Jangan mengasihani lawanmu. Aku
tahu, dalam setiap pertarungan klub, kau bukan tipikal petarung
pembunuh, kau kadang berbaik hati. Tetapi enam polisi yang akan kita
hadapi ini terlatih untuk membunuh, aku tahu persis, mereka mantan anak
buahku. Jika kau tidak segera melumpuhkan mereka, mereka dengan senang
hati melakukannya lebih dulu. Ingat, Thomas, satu kali pukulan yang
mematikan. Tidak akan ada kesempatan tinju kedua atau ketiga!”
Aku mengangguk. Lobi gedung yang lengang hanya menyisakan dengus napas kami, tegang.
“Bersiap, Kawan. Bel ronde pertama sekaligus terakhir akan terdengar!” Rudi mendesis.
Lift berbunyi pelan, tanda lift sudah tiba di lobi.
Pintunya bergerak membuka. Amat perlahan rasa-rasanya.
Enam petugas bersenjata langsung terlihat. Satu bintang tiga polisi yang berdiri bersandar.
Maggie persis di tengah.
Aku dan Rudi sudah lompat masuk, bahkan sebelum pintu sempurna terbuka.
Lihatlah! Kami sudah bertarung puluhan kali di klub.
Tetapi ini sungguh pertarungan paling hebat yang pernah kulakukan. Kami
seperti penari masyhur yang sedang ekstase menari mengikuti gerakan
tangan dan kaki, atau seperti konduktor orkestra yang sedang memimpin
pertunjukan dengan segenap sensasi, atau seperti pelukis besar yang
setengah sadar mencampur warna, menumpahkannya di kanvas, corat-coret
penuh irama, membuat karya agung.
Masterpiece.
Tanganku sudah
bergerak cepat dalam ketukan pertama, satu tinju menghantam dagu salah
satu polisi. Tubuhnya terbanting, kepalanya menghantam dinding lift,
senjatanya terlepas. Rekannya berteriak, “Awas!” belum hilang kata awas
itu di langit-langit lift yang terasa sempit karena ada tujuh orang ada
di dalamnya, tubuh polisi itu sudah menghantam dinding lift, Rudi
meninju pelipisnya.
Aku dan Rudi adalah petarung terbaik klub,
beringas menghabisi lawan. Dua detik kemudian, dua polisi lain menyusul
terkapar, salah satu polisi itu terduduk, tanpa sengaja menarik pelatuk
senjata mesin di tangannya, rentetan peluru melukis atap lift, lampu
terburai, cermin pecah berderai, suara tembakan yang memekakkan telinga,
aku dan Rudi menunduk, tanganku mendorong Maggie agar tiarap.
Tembakan terhenti, polisi itu sudah terkapar pingsan.
Aku lompat dengan cepat, meninju dagu polisi yang tersisa, pukulan yang
mematikan. Petugas itu melenguh kesakitan, giginya rontok, keluar
bercampur darah dan ludah. Rudi dalam waktu yang sama sudah menghajar
polisi lainnya, menghantam leher, polisi itu sejenak berdiri, lantas
roboh tanpa suara.
Pertarungan selesai di detik kelima belas.
Rudi dengan cepat memegang kerah bintang tiga polisi yang sejak tadi
termangu menatap kejadian supercepat, ibarat menonton kereta Shinkansen
yang sedang melintas di hadapannya. Sekejap, enam anak buahnya sudah
terkapar, tumpang tindih di ujung kakinya.
“Kau bahkan tidak layak
untuk menerima tinjuku.” Rudi menggeram, mendorong bintang tiga itu
jatuh terduduk, meloloskan pistol di pinggang petinggi polisi itu,
membuang isi pistol. Peluru berkelotakan di lantai lift.
“Ayo, Thomas, bawa stafmu pergi!” Rudi menoleh padaku, sembarang melemparkan pistol kosong.
Aku mengangguk, mencari kunci borgol di salah satu pinggang petugas.
Aku membuka borgol Maggie, lantas membantunya berdiri. Wajah Maggie
pias. Tangannya gemetar tidak terkendali. Matanya basah. Dia menangis
ketakutan, tetapi dia baik-baik saja.
Aku memapah Maggie keluar dari lift. Rudi berjalan di belakangku.
Lobi gedung lengang.
Jam besar yang diletakkan di salah satu dinding lobi berdentang sebelas kali.
Kami sudah melangkah keluar, Julia menyusul bergabung dari toilet.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon