Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
“INJAK remnya, Tommi.” Opa yang duduk di sebelahku berseru, mengingatkan.
“Eh?” Aku menoleh, menelan ludah, sedikit gugup.
“Injak remnya, Tommi! Remnya!” Opa berseru lebih kencang.
“Sudah, Opa! Sudah kuinjak remnya!” aku balas berteriak, panik, mobil
yang kukemudikan bukannya melambat, malah semakin cepat menuruni halaman
belakang rumah.
“Remnya, Tommi, astaga, kau justru menginjak gasnya!”
“Sudah kuinjak! Mobilnya tidak bisa berhenti! Eh, sebenarnya remnya yang mana, Opa?”
“Yang tengah, Tommi! Injak remnya!” Opa berseru panik, dengan cepat menyambar kemudi, berusaha membanting mobil ke kanan.
Terlambat, mobil melaju terlalu kencang, sedetik sudah menghantam
gundukan taman. Mobil kodok klasik itu seperti kodok sungguhan melompat.
Aku terenyak, terbanting, kepalaku membentur kemudi, suara klakson
terdengar nyaring tidak sengaja terkena dahiku. Opa yang berusaha
membantu mengendalikan mobil, mengaduh tertahan, siku kiriku menghantam
wajahnya. Urusan semakin kapiran, lepas gundukan tanah, menerabas
barisan bunga bougenvile yang segera porak-poranda, mobil tidak
terkendali terus meluncur ke bibir waduk.
Dan sebelum kami bisa
melakukan apa pun, mobil berdebum loncat ke dalam air, dengan cepat
tenggelam. Gelembung udara menyeruak permukaan air.
“Keluar, Tommi!
Cepat keluar dari mobil!” Opa menggerutu, berteriak---dengan masih
meringis menahan sakit dan kaget. Opa berusaha membuka daun pintu,
terkunci, macet.
Aku lebih cepat, sudah mendorong pintu mobil
sebelah kanan, mobil sudah separuh tenggelam di sisiku, segera berenang
ke sebelah Opa, membantunya menjebol pintu.
Adalah dua menit berkutat, Opa berhasil keluar, aku menyeretnya ke tepi waduk.
“Dasar anak ceroboh, kau hampir membuat kita celaka. Untuk kesekian
kalinya.” Opa bersungut-sungut, badannya basah kuyup, napasnya
tersengal.
Aku tertawa, membungkuk, memegangi pahaku yang nyeri terhantam entahlah tadi.
“Kau jangan pernah memintaku mengajari mengemudi lagi.”
“Ini seru, Opa. Hebat.”
“Omong kosong, kau membuat mobil klasikku tenggelam di waduk.” Opa berseru sebal
“Namanya juga kodok, Opa.” Aku menyengir.
Opa mengacungkan tinju, marah.
“Kemarin lusa kau menabrakkan speedboat, kemarinnya lagi kau mematahkan
kail kesayanganku, belum terhitung kaca jendela rumah yang pecah,
anjungan dermaga somplak, atap genteng pecah. Aku tidak mau lagi
mengajarimu apa pun. Kau sama seperti papamu dulu. Perusak nomor satu.”
Opa mendengus, mendorong pelan bahuku, menyuruh menyingkir, lantas
melangkah ke beranda rumah.
Aku mengibaskan rambut, tertawa lagi.
Tetapi Opa bergurau. Setelah ditertawakan Tante yang hari itu juga
datang ke rumah peristirahatan, kami berganti baju kering, menghabiskan
kue lezat buatan Tante di beranda belakang, Opa sudah lupa urusan mobil
kodok itu. Staf rumah peristirahatan mengontak pemilik alat berat.
Belalai pengeduk tanah itu tiga jam setelah kejadian sudah terjulur ke
waduk, beberapa penyelam mengikat mobil di dalam air, berusaha
menariknya keluar.
“Kau besok mau melakukan apa lagi, Tommi?” Opa bertanya. Kami asyik menonton proses evakuasi mobil kodok.
“Belajar mengemudi lagi, Opa.”
“Astaga!” Opa menepuk jidatnya. “Tidak mau. Kau jangankan menyentuh
mobilku, berada dekat dengan garasi saja tidak boleh, setidaknya hingga
berusia delapan belas.”
“Kau membantu Tante masak saja, Tommi. Akan
kuajari membuat kue-kue. Siapa tahu berguna saat kau kembali ke
sekolah.” Tante ikut bicara, duduk di salah satu kursi santai, menyeduh
teh hijau.
Opa terkekeh. “Ide bagus, lebih baik kau belajar memasak saja. Risikonya lebih kecil.”
Aku memonyongkan bibir. “Bukankah Opa sudah berjanji akan mengajariku apa saja?”
“Enak saja, janji itu batal dengan sendirinya kalau kau merusak
sesuatu.” Opa melambaikan tangan, menunjuk mobil kodoknya yang mulai
ditarik keluar dari permukaan waduk. Orang-orang berseru memberi
aba-aba, belalai penciduk tanah itu sedikit bergetar.
Kami kembali asyik menonton.
Tetapi lagi-lagi tentu saja Opa bergurau, esok pagi-pagi kami sudah asyik belajar menembak.
Opa meminjamiku pistol tua, memberikan penutup telinga, lantas kami
sibuk dar-der-dor di halaman kanan rumah yang disulap jadi tempat
latihan tembak dadakan.
Itu untuk kedua kalinya aku berkunjung ke
rumah peristirahatan Opa, liburan sekolah. Usiaku belum genap lima
belas. Opa semangat menyusun jadwal agar aku betah, membuatku melupakan
banyak hal, apalagi untuk sekadar bertanya tentang kejadian masa lalu.
Aku tidak keberatan, lagi pula aku tidak tertarik membahas kenangan
buruk itu.
“Dari mana Opa belajar menembak?” Kami sedang beristirahat, duduk di dermaga, betis terendam di dinginnya air waduk.
“Kalau kau bertanya demikian, berarti kau mau bilang orang tua ini termasuk jago menembak, Tommi.” Opa tertawa senang.
Aku menyengir.
“Otodidak, Tommi. Tidak ada yang mengajari orang tua ini.”
“Mengemudi speed? Merawat mobil?” Aku menguap, berusaha mengisi sesuatu dengan percakapan.
“Itu juga otodidak, Tommi. Sama seperti bermain musik, meskipun dalam bidang itu Opa tidak berbakat sama sekali.” Opa tertawa.
“Berbisnis?”
“Ya, sama seperti berbisnis. Mana ada sekolah bisnis pada zamanku masih
muda. Aku lulus sekolah rakyat pun tidak. Semuanya dipelajari sendiri.
Dicoba, gagal. Dicoba, gagal lagi. Terus saja kaulakukan. Lama-lama kau
tahu sendiri bagaimana seharusnya trik terbaik dan tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Itu adalah sekolah terbaik. Apa kata bijak itu?
Pengalaman adalah guru terbaik.”
Aku mengangguk. “Aku akan menjadi otodidak seperti, Opa.”
Opa mengacak rambutku. “Itu bagus. Sepanjang kau punya semangat untuk
itu, kau bisa ahli dalam banyak hal tanpa harus duduk di kelasnya.”
Kami diam sejenak, sebuah perahu nelayan melintas, beberapa penumpangnya melambai. Opa balas melambai.
“Hanya saja, esok lusa, dunia akan berubah banyak, Tommi.” Opa menatap
hamparan permukaan waduk yang kembali lengang setelah perahu tadi pergi,
kabut turun membungkus pebukitan.
“Hari ini, misalnya, semua
pebisnis seperti Opa memilih hidup susah untuk mengumpulkan modal.
Menahan diri untuk belanja, agar tabungan cukup untuk memperbesar
bisnis, bersabar, konsisten, hati-hati. Esok lusa, orang-orang lebih
memilih meminjam uang di bank, menerbitkan surat utang, atau jenis
utang-utang lainnya. Mereka tidak sabaran dan mengambil risiko. Saat
mereka gagal membayar utang, mereka akan menutupnya dengan pinjaman yang
lebih besar.”
Aku mengangguk---meski belum mengerti kalimat Opa.
Aku baru tahu saat mengambil kuliah, di kelas-kelas manajemen keuangan
modern, kalian akan dicekoki dengan dogma: Meminjam lebih baik daripada
mengeluarkan modal sendiri. Secara teoretis, “pengungkitnya” lebih
besar.
“Hari ini, misalnya juga, semua pebisnis hanya mengurus
preman-preman, pungutan-pungutan dari pejabat rendahan, tikus-tikus
busuk kelas bawah, makelar murahan. Esok lusa, bahkan anggota dewan
terhormat menjadi calo, tidak beda dengan calo tiket di stasiun kereta.
Pejabat tinggi menjadi penghubung, dan tidak terhitung aparat keamanan
yang seharusnya melindungi, siap menggebuk bisnis kita jika tidak
mendapat bagian.”
Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
“Nah, semoga
kalau kau nanti otodidak, kau akan lebih hebat dibanding Opa. Situasi
kau berubah, masalah kau juga berubah. Dicoba, gagal, dicoba lagi, gagal
lagi, jangan pernah putus asa, mengeluh, apalagi berhenti dan melangkah
mundur. Kau mewarisi darah seorang perantau, mewarisi tabiat seorang
pejuang tangguh, Tommi. Tidak terbayangkan, ribuan kilometer opamu ini
menaiki perahu kayu tua, bocor....”
“Tante memanggil kita,” aku memotong kalimat Opa.
“Eh?” Opa menoleh ke beranda belakang, dia tidak mendengar apa pun.
“Opa tidak mendengar suara Tante?”
Opa menggeleng, tidak mengerti.
“Kata Tante, makan siang sudah siap. Tommi duluan.” Aku sudah lompat
berdiri. Sebelum Opa menyadarinya, aku sudah berlari-lari kecil
melintasi dermaga. Kakiku yang basah membentuk barisan jejak telapak
kaki.
Opa menggerutu, meneriaki dasar anak tidak tahu sopan santun.
Aku tertawa, sudah mendorong pintu belakang. Sepagi tadi saja, Opa
sudah dua kali bercerita tentang perahu nelayan bocor itu. Tiga kali
bahkan belum tengah hari, itu berlebihan.
***
Opa benar.
Tanpa kita sadari, dalam hidup ini, potongan-potongan kecil menjadi
tempat kita belajar sesuatu dengan efektif. Misalnya, anak kecil belajar
mengendarai sepeda, hanya karena teman bermainnya membawa sepeda, dan
dia iseng mencoba, orangtuanya terpesona saat tahu anaknya sudah bisa
mengendarai sepeda. Dalam kasus lebih ekstrem, anak kecil usia
tiga-empat tahun dibiarkan sendirian menonton acara televisi yang
mengajari membaca, dan dia fokus memperhatikan---entah bagaimana
konsentrasi itu datang, orangtuanya terpesona saat tahu anaknya bisa
membaca tanpa pernah diajari.
Ada banyak momen-momen spesial ketika
kita belajar sesuatu. Termasuk saat kita sudah remaja atau tumbuh
dewasa. Kata Opa, melakukan perjalanan, bertemu dengan banyak orang,
membuka diri, mengamati, mencoba sendiri, memikirkan banyak hal, adalah
cara tercepat belajar. Kau bisa jadi tukang kayu yang baik jika
berhari-hari mengunjungi lapak tukang kayu yang sedang sibuk membuat
meja, kursi, pintu, dan sebagainya. Kau juga bisa menjadi tukang las,
tukang cat, pembalap, penembak, penjahat, atau apapun jika kau
menghabiskan waktu bersama orang-orang dengan profesi itu. Sayangnya,
banyak orang yang tidak menyadarinya, menghabiskan hari dengan rutinitas
itu-itu saja tapi pengetahuannya tidak berkembang. Bagaimana mungkin,
misalnya, kau setiap hari menumpang kereta, tapi kau tidak pernah tahu
bentuk ruangan masinis, Opa terkekeh, “Kalau kau otodidak yang baik, kau
bahkan sudah bisa mengemudikan kereta, Tommi.”
Aku belajar banyak
hal dari kunjungan singkat ke rumah peristirahatan itu setiap liburan
sekolah. Tidak sempurna otodidak, Opa mengajariku dengan cara uniknya.
Apa saja, termasuk keahlian kecil yang kadang buat apa pula kupelajari.
“Esok lusa, kau akan tahu apa gunanya, Tommi.”
Aku mengangguk, aku selalu percaya kalimat Opa.
Dua puluh tahun berlalu, hari ini, di lobi parkiran gedung kementerian
yang ramai, setelah menemui menteri yang kukuh itu, berlari-lari kecil
bersama Julia, kalimat itu menemukan konteksnya.
Telepon genggamku berbunyi. Langkah kaki melamban. Dari layar telepon genggam aku tahu Maggie yang menelepon.
“Hallo, Maggie, cepat sekali kau sudah meneleponku? Kau sudah di
kantor? Tiketnya sudah siap? Atau ada sesuatu yang hendak kaulaporkan.”
“Halo, Thomas.”
Itu jelas bukan suara Maggie. Langkah kakiku sempurna terhenti.
“Sepertinya kami terlalu meremehkanmu.” Tertawa fals.
Julia hampir menabrakku, menggerutu, wajah sebalnya bertanya, siapa yang menelepon.
“Kau punya waktu lima belas menit, Thomas. Menyerahkan diri. Kami
menunggu di kantormu yang mewah ini. Atau stafmu yang begitu cekatan ini
esok lusa sudah bergabung dengan penghuni penjara perempuan. Ah, itu
tidak seru, bagaimana kalau dengan sedikit intrik licik, kujebloskan
saja ke penjara laki-laki, bagian tahanan khusus untuk para penjahat,
pembunuh, dan pengedar obat-obatan terlarang. Ide bagus, bukan?”
Aku membeku.
*bersambung
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon