Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
LOBI gedung ramai oleh “lalat” pencari berita. Tetapi tentu saja
mereka tidak peduli ketika taksi yang kutumpangi merapat. Mereka
menunggu pejabat penting. Aku menyeringai, melintasi lobi tanpa
gangguan. Seandainya mereka tahu akulah yang sedang berusaha mati-matian
menskenariokan banyak hal terkait Bank Semesta, memegang kunci
informasi penting, mungkin mereka akan saling sikut, saling dorong
mengepungku. Apa kata Opa dulu, di dunia ini, urusan penting dan tidak
penting hanya terlihat dari kulit luarnya saja. Orang terkadang lupa,
orang-orang di sekitarnya yang selama ini terlihat biasa saja dan
sederhana, justru adalah bagian terpenting dalam hidupnya.
Lupakan kebijaksanaan Opa, aku harus bergegas menemui Julia. Sejak tadi dia menunggu.
Dari gumaman kuli tinta, menuju lift, aku tahu isu tentang rapat komite
stabilitas sistem keuangan hanya menunggu waktu digelar. Staf Istana
sudah hadir. Petinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan
dalam perjalanan pulang dari luar kota---setelah mengisi jadwal kuliah
umum. Beberapa petinggi bank besar milik negara, pejabat tinggi, dan
anggota komite juga telah dihubungi.
Aku menekan tombol lift. Pintu
lift membuka. Aku melangkah masuk, sendirian, menatap wajah di dinding.
Aku menyisir rambut dengan jemari, merapikan jas yang kukenakan, menepuk
debu di celana gelap, dan mengangguk. Semua sudah oke.
Lift mendesing naik, lima belas detik lengang. Kontras dengan di luar tadi.
“Akhirnya kau tiba tepat waktu, Thom.”
“Eh?” Aku menelan ludah.
Wajah dan suara Julia sudah menungguku persis ketika pintu lift
terbuka, lantai ruangan menteri. Julia berseru dengan wajah cemas. Dia
sepertinya sejak tadi berdiri di lorong lift.
“Beliau sudah datang
lima belas menit lalu, Thom.” Julia tidak memberikanku kesempatan
bernapas, bergegas melangkah menuju meja resepsionis yang dijaga
beberapa petugas keamanan---yang sejauh ini berhasil menghalau siapa
saja yang hendak masuk ruangan menteri.
“Sebentar, Julia. Kita tidak
bisa menemui beliau sekarang. Aku harus menunggu Maggie. Ada dokumen
penting.” Aku mengingatkan, masih berdiri di lorong.
“Tidak akan
sempat, Thom. Ajudan menteri sudah mengingatkan dua kali. Jika kita
tidak segera masuk ruangan, jadwal kita dibatalkan.”
“Dua menit, Julia! Ayolah, kita tunggu dua menit.”
“Thomas, kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit.” Wajah Julia
terlihat menyebalkan. Dia sudah berdiri di depan meja resepsionis, ujung
lorong, berseru, ditonton petugas keamanan. “Kau tidak tahu apa yang
telah dilakukan pemimpin redaksi review kami untuk mendapatkan jadwal
audiensi sepenting ini. Aku masuk duluan kalau kau tidak mau.”
Aku menggeleng. Percuma aku masuk dalam sebuah “pertempuran” tanpa amunisi.
Kabar baiknya, sebelum Julia berseru jengkel, masuk sendirian ke dalam
ruangan, atau melemparku dengan tasnya, suara denting pelan berbunyi.
Pintu lift di belakangku terbuka.
Maggie dengan napas tersengal datang membawa dokumen.
“Aku tidak terlambat, bukan?” Maggie bertanya cemas.
Demi melihat wajah bergegas Maggie, aku sungguh tertawa lega. “Kau
tidak pernah terlambat, Mag. Kau sudah seperti superhero yang
menyelamatkan dunia, selalu datang tepat waktu.”
Maggie mengembuskan napas. “Syukurlah. Ini dokumennya, Thom. Semua ada di sana.”
Aku memeriksa sebentar, mengangguk.
“Eh, kau bersama Nenek Lampir itu?” Maggie berbisik, menunjuk.
Aku mendongak, menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjuk Maggie.
Aku seketika tertawa, menatap Julia yang masih berdiri menunggu di
depan meja resepsionis. Maggie pastilah masih sebal karena kemarin Julia
merangsek ruanganku, tidak bisa dia cegah.
“Astaga, bahkan
wajahnya sekarang tetap sama seperti dia menerobos kantor kemarin.
Judes, tidak berperasaan, tidak sabaran. Benar-benar Nenek Lampir.”
Maggie bergumam.
“Dia wartawan, Mag, begitulah kelakuannya.” Aku
tersenyum pada Maggie. “Nah, terima kasih untuk dokumen ini. Kau bisa
segera kembali ke kantor. Aku memerlukan beberapa bantuan lainnya. Aku
harus ke Denpasar nanti sore. Ada pertemuan penting pukul empat. Kau
bisa bantu menyiapkan perjalanan, juga menghubungi beberapa orang lagi
dan beberapa informasi penting.”
“Baik, baik.” Maggie mengusap
wajahnya, memasang wajah pura-pura kecewa besar. “Nasib sekali menjadi
stafmu, Thom. Bertahun-tahun hanya disuruh mengurus tiket pesawat, kurir
dokumen, mengumpulkan informasi, dan remeh-temeh lainnya. Sementara
Nenek Lampir tidak jelas yang baru kaukenal kemarin itu kauajak bertemu
dengan menteri.”
Maggie menekan tombol lift.
Aku tertawa lagi. “Kau lupa kalimatku barusan Mag. Kau adalah superhero. Julia hanya Nenek Lampir.”
Pintu lift terbuka.
“Ya, ya, superhero remeh-temeh. Bye, Thom. Salam buat Nenek Lampir itu.
Semoga dia tidak naksir kau. Kalau kejadian, aku bisa menjadi pesuruh
rendahannya kelak.” Maggie sudah masuk ke dalam lift.
Aku mengabaikan gurauan Maggie, melangkah menuju meja resepsionis.
Petugas memberikan kami kartu pengenal. Untuk ketiga kalinya dia
mengingatkan jadwal kami yang hanya tiga puluh menit. Aku mengangguk,
mengenakan kartu pengenal, itu lebih dari cukup.
“Stafmu itu tadi bilang apa?” Julia bertanya saat kami melangkah menuju pintu ruangan menteri, sambil merapikan pakaiannya.
“Dia bilang kau Nenek Lampir.” Aku sengaja menjawab lurus.
“Apa?” Dahi Julia terlipat.
“Iya, dia bilang kau Nenek Lampir.” Aku melambaikan tangan.
“Dasar sialan!” Julia bahkan terhenti sejenak.
“Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Julia. Kita tidak punya
waktu bahkan untuk satu menit membahas tentang Nenek Lampir. Kau tidak
tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review untuk mendapatkan
jadwal audiensi sepenting ini, bukan?” Aku terus melangkah
Wajah
Julia terlihat merah padam, berbisik ketus. “Kau memang lelaki pembalas,
Thomas. Dan stafmu tadi juga mewarisi sikap buruk itu.”
Aku hanya
menyengir, mendorong pintu. Inilah pertemuan penting kedua setelah
kemarin sore aku sengaja satu pesawat dengan gubernur bank sentral dan
ketua lembaga penjamin simpanan. Bidak kedua dalam permainan penting
ini.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon