Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
Pilihan Rasional Atas Dua Kemungkinan Buruk
TAKSI yang kutumpangi dari dermaga yacht masih setia menunggu.
“Kita ngebut lagi, Pak?” pengemudinya bertanya, menyeringai.
Belum hilang anggukanku, belum genap menyebut tujuan berikutnya, mobil
sudah melesat meninggalkan pelataran parkir gedung Bank Semesta.
Hari Minggu, jalanan protokol lengang.
Telepon genggamku berbunyi saat aku merebahkan punggung, berusaha
rileks sejenak. Nama Erik terpampang di layar telepon genggam. Aku
menggerutu, sejak tadi aku menunggu nomor kontak yang akan dikirimkan
Erik.
Aku mengangkat telepon, setengah berseru. “Kau butuh berapa lama lagi untuk mengirimkan business card putra mahkota, Erik?”
“Sabar, Thomas.” Erik berkata santai.
“Astaga, waktuku terbatas.” Aku mulai jengkel.
“Aku harus melewati beberapa prosedur sebelum memberikan nomor
kontaknya, Thom. Kau tahu, ini tidak seperti memberikan nomor telepon
artis idola atau pengarang kesayangan, atau nomor telepon terapis
langgananmu. Lagi pula, kabar buruknya, dia tidak otomatis mengangkat
setiap telepon yang masuk. Nomormu tidak dikenali, mau kau telepon
belasan kali, jangan harap dia angkat, dilirik pun tidak.” Erik menjawab
dengan logika.
Aku terdiam sejenak. Benar juga.
“Nah, kabar
baiknya, aku baru saja menelepon dia lima menit lalu, bilang ada teman
klub petarung yang ingin menghubungi, membicarakan sesuatu yang amat
penting. Dia bersedia kauhubungi, tapi tidak lewat telepon, Kawan,
riskan sekali melakukan pembicaraan sensitif lewat telepon. Dia
menyediakan waktu untuk pertemuan langsung. Kabar baik, bukan?” Erik
tertawa.
Aku mengepalkan tinju, senang mendengarnya.
“Ini jelas lebih baik, Erik. Terima kasih banyak. Kau memang teman yang baik.”
“Berterima kasih saja tidak cukup, Thom, kau harus mencium kakiku.”
Erik masih tertawa. “Meminta jadwal pertemuan dengan putra mahkota tidak
pernah mudah. Aku harus meyakinkannya berkali-kali kalau kau akan
membicarakan sesuatu yang penting sekali.”
“Di mana pertemuannya?” Aku mengabaikan kalimat Erik dan tawanya, bergegas memastikan.
“Nanti sore pukul empat di Denpasar. Dia dan petinggi partai politiknya
sedang di sana, urusan partai, membuka munas, musda, atau apalah.”
Aku mengembuskan napas. “Tidak bisakah dia ke Jakarta, Erik. Jadwalku ketat sekali sebelum besok pagi kantor buka.”
Erik tertawa menyebalkan. “Kau gila, Thom. Kau pikir dia klien, teman
kantor, atau siapalah yang bisa kau suruh-suruh selama ini. Esok lusa
boleh jadi kau melihatnya di televisi sedang pidato kenegaraan, dan kita
tidak bisa lagi memanggil namanya langsung tanpa sebutan Bapak.”
Aku menelan ludah. “Aku hanya bergurau, Erik. Kau tidak pernah mengerti
sarkasme, entah itu di rapat-rapat atau bahkan dalam percakapan telepon
sekalipun. Aku bisa ke Denpasar nanti sore pukul empat, itu hanya
perjalanan dua jam. Terima kasih sudah membantuku.”
“Simpan saja
terima kasihmu sekarang, Thom. Aku akan menagihnya di waktu yang tepat,
permintaan yang tepat, dan harga yang mahal.” Erik menyengir.
“Aku akan membayarnya. Pegang janjiku.”
“Great. Adios, Kawan.”
“Sebentar, Erik,“ aku mencegah Erik menutup telepon, teringat sesuatu,
“tadi kau bilang tidak mudah bertemu dengannya, lantas bagaimana kau
hanya butuh waktu lima menit untuk meyakinkan dia?”
“Itu gampang,
Thom. Aku tiru mentah-mentah trik kau selama ini. Kubilang, orang ini,
yang meminta jadwal bertemu, hendak menyumbang sepuluh miliar untuk dana
partai. Brilian, bukan? Dia bahkan lupa untuk bertanya siapa namamu.
Nah, selamat berlibur, jangan lupa bawa sunblock atau papan selancarmu.
Selamat bertemu dengannya, Thom. Ingat, kau harus sopan. Dia amat
sensitif. Maklumlah, anak muda yang tiba-tiba kejatuhan bulan, kekuasaan
besar di tangan, banyak sekali penjilat di sekitarnya. Salah-salah
kata, mood-nya bisa rusak, dan kau kehilangan kesempatan. Kalau dia
siapalah, paling juga sedang keringatan mengepit map lamaran kerja, atau
gugup mengerjakan lembar ujian psikotes.” Erik tertawa, menutup
telepon.
Aku mendengus pelan, lelucon yang buruk.
Mobil taksi terus membelah jalanan lengang.
Telepon genggamku berbunyi lagi saat aku baru saja rileks meluruskan kaki.
“Kau di mana, Thomas?” Suara Julia, sedikit terdengar panik.
“Aku di taksi, menuju kantor, hendak mengambil berkas. Lantas baru ke tempatmu. Ada apa?”
“Tidak ada waktu lagi, Thomas. Kau harus segera ke sini. Jadwal
pertemuan kita dimajukan satu jam. Ajudan menteri baru memberitahuku
beberapa detik lalu.”
“Kau yakin?” Aku melirik jam di dashboard taksi, itu berarti tiga puluh menit lagi
“Bergegas, Thomas!” Julia menjawab jengkel. “Atau hanya aku yang akan menemuinya, melakukan wawancara basa-basi sesuai skedul.”
“Tetapi berkas itu penting, Julia. Itu akan membuat perbedaan.”
“Peduli amat dengan berkas itu. Kau suruh siapa saja mengantarnya. Aku
tidak bisa menelepon kau lama-lama. Lobi gedung ini semakin ramai,
sepertinya semua wartawan berebut ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Ada staf khusus Istana yang datang. Mobilnya baru merapat. Dia
sepertinya juga akan bertemu menteri. Teman wartawan lain sudah
berlari-lari mengerubungi. Aku juga harus mendengar apa yang dia
katakan.”
Percakapan telepon diputus.
Baiklah, kepalaku melongok ke depan, menyebut tujuan baru pada sopir taksi.
“Lebih ngebut, Pak?” pengemudi bertanya polos.
“Terserah kau saja,” aku menjawab pendek.
“Siap, Pak.”
Taksi dengan cepat meliuk, menyalip dua mobil sekaligus.
Aku menekan nomor telepon genggam Maggie, aku harus meminta Maggie
mengantarkan dokumen itu. Tanpa salinan dokumen yang disiapkan Maggie,
aku tidak bisa membujuk Ibu Menteri. Kalian tidak akan pernah bisa
membujuk wanita berhati baja itu, aku mengenalnya bahkan sejak kuliah.
Satu-satunya cara meruntuhkan sebuah keteguhan sikap atas kejujuran dan
integritas hidup hanyalah dengan mengurung dia dengan dua pilihan. Hanya
dua pilihan, tidak lebih, tidak kurang. Dua pilihan yang sama-sama
sulit. Maka ketika skenario itu terjadi, konteksnya menjadi berubah:
pilihan paling rasional atas dua kemungkinan terburuk.
Salinan dokumen yang dipegang Maggie adalah kuncinya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon