Senin, 13 Februari 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 5 - Pelarian Pertama

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

MOBIL merapat ke halaman rumah yang sebenarnya luas---tetapi terasa sempit dengan pemandangan yang ada. Dua mobil taktis polisi terparkir. Beberapa mobil lain, entah milik siapa, ditambah satu mobil ambulans merapat persis di depan pintu masuk. Belasan polisi berdiri mengawasi siapa saja yang keluar-masuk pintu depan, dengan senjata lengkap di tangan. Aku mengeluh dalam hati, terlepas dari bisnis mereka yang menggurita, penghuni rumah ini hanya pasangan sepuh yang tinggal dengan pembantu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada penjaga bayaran. Mereka tidak akan melawan. 


Beberapa perawat terlihat sibuk menurunkan sesuatu dari ambulans.

Aku melintasi ruang tamu, langsung menuju ruangan yang biasa digunakan Om Liem dan Tante beristirahat. Satu-dua petinggi bank dan perusahaan milik Om Liem duduk di ruang tengah. Wajah mereka kalut. Mereka berbicara pelan satu sama lain. Empat petugas polisi sedang mengeluarkan perangkat komputer dan dokumen dari ruangan yang biasa digunakan Om Liem bekerja di rumah. Para petugas mengenakan seragam pelindung, seolah ada bom di dalam kardus-kardus dokumen serta bukti lain yang mereka gotong keluar.

Aku menghela napas pendek. Ada yang lebih mendesak. Tante Liem.

Pintu kamar langsung ditutup saat aku masuk.

Pemandangan yang suram. 

Tetapi kabar Tante tidak seburuk yang kubayangkan. Tante terbaring di ranjang besar, dokter berdiri di sebelahnya, dibantu dua perawat, berusaha memasangkan infus dan slang lainnya. 

“Akhirnya kau datang juga.” Suara serak Om Liem lebih dulu menyapa sebelum aku menyapa Tante.
Aku mengangguk---membiarkan dia memelukku.

“Duduk dekatku, Tommi.” Itu suara Tante, memanggilku.

“Kapan Tante siuman?” Aku menelan ludah, menatap wajah yang dulu terlihat segar dan menyenangkan berubah jadi pucat dan cekung hanya dalam waktu sebulan sejak kasus Bank Semesta menggelinding.

“Lima belas menit lalu,” dokter yang menjawab.

Aku mengangguk, meraih tangan Tante Liem.

“Semua sudah berakhir, Tommi.” Tante menatapku lamat-lamat. “Situasi tidak akan mungkin lebih buruk lagi, bukan? Jadi aku tidak akan pingsan lagi, Nak. Itu kabar baiknya.” 

Aku menatap getir wajah Tante, matanya berkaca-kaca.

“Mereka hanya memberikan waktu sebentar.” Om Liem menjelaskan perlahan, berdiri di sebelahku. “Jika tantemu sudah membaik, sudah siuman, mereka akan membawa orang tua ini pergi ke penjara. Itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi.”

“Apakah tidak ada lagi orang yang bisa membantu?” Aku menoleh. Meski aku selama ini membencinya, melihat wajah kuyu Om Liem di hadapanku itu, sambil menyentuh tangan Tante yang dingin, aku banyak berubah pikiran.

Om Liem menggeleng, tertawa suram.

“Bukankah Om teman dekat pejabat partai yang berkuasa? Menteri-menteri? Atau bahkan presiden? Atau kolega bisnis, bukankah mereka bisa bantu menyelamatkan Bank Semesta?” Aku menyebut daftar kemungkinan.

“Kau tidak mendengarkan tantemu. Semua sudah berakhir, Tommi. Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan situasi buruk seperti ini. Alih-alih, kau yang dituduh bersekongkol. Perintah penangkapan sudah efektif. Polisi yang berjaga di ruang depan membawa surat perintah.” 

Ruangan lengang, semua kepala tertunduk.

Aku menelan ludah. “Bagaimana dengan Shinpei, rekan bisnis selama puluhan tahun? Bukankah dia akan senang hati membantu?”

Om Liem menggeleng. “Grup mereka juga dalam kesulitan. Aku sudah menelepon Shinpei, bilang situasi buruk ini, dia hanya bisa ikut prihatin, tidak bisa membantu.”

Aku mengembuskan napas. Menatap wajah empat perawat yang menunggu perintah. Dokter yang berdiri takzim, prihatin, dan beberapa petinggi perusahaan Om Liem yang balas menatap kalut, tidak bersuara, tidak punya ide harus bagaimana.

“Aku tahu kau tidak akan pernah mau mendengarkan orang tua ini, Tommi. Tetapi kali ini, tolong urus tantemu, adik-adik sepupumu selama aku di penjara. Pastikan mereka baik-baik saja.” Suara serak Om Liem memecah lengang.

Astaga? Aku menelan ludah.

“Sayangnya kami tidak punya anak laki-laki. Kaulah satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar kita. Apa pun yang tersisa dari bisnis ini, kaulah yang paling pantas melanjutkan. Senin, otoritas bank sentral akan menutup operasi seluruh cabang Bank Semesta. Senin pula, aku akan menandatangani surat pernyataan akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak sepeser pun uang mereka akan dimakan orang tua ini. Bahkan jika itu termasuk melego bisnis properti, otomotif, seluruh perusahaan kita.” Om Liem menyentuh tanganku.

Ruangan semakin senyap.

“Kau pernah masuk penjara, Ram?” tanya Om Liem tertawa getir, menoleh pada orang yang menjemputku di hotel, orang kepercayaannya di induk perusahaan. “Aku pernah, Ram. Saat usiaku dua puluhan. Aku masuk penjara selama enam bulan. Bukan masuk penjaranya yang membuatku berkecil hati, melainkan saat aku di penjara, papa dan mamanya Thomas meninggal. Sejak hari itu, Thomas membenciku.”

“Hentikan!” Aku menyergah kasar, mataku panas.

Semua kepala di ruangan terangkat, Tante menatapku.

“Hentikan omong kosong ini.” Aku tersengal, berusaha mengendalikan napas. “Tidak akan ada yang masuk penjara malam ini.”

“Ini bukan omong kosong, Tom. Tidak ada lagi jalan keluar.” Om Liem menatapku datar.

“Kau diam! Biarkan aku berpikir sebentar.” Aku meremas rambutku, berusaha mencerna banyak hal yang terjadi sejak konferensi di London, klub bertarung, dan rumah besar Om Liem.

“Apakah polisi di luar tahu kalau Tante sudah siuman?” aku bertanya pada orang-orang di dalam kamar.

Dokter menggeleng. “Belum ada yang memberitahu mereka.”

Itu kabar bagus. Aku mengepalkan tinju.

“Apakah kondisi Tante stabil?” Aku mendesak memastikan, waktuku terbatas.
Dokter mengangguk.

“Baik, dengarkan aku!” Aku meminta perhatian seluruh orang yang berada di dalam kamar, mataku menatap tajam ke setiap orang. “Kalian semua akan menutup mulut hingga semua urusan selesai.”
Wajah-wajah mereka tampak bingung.

“Kau, ya, kau segera ambil ranjang darurat dari ambulans!” Aku mengacungkan telunjuk pada salah satu perawat.

“Buat apa?” Dokter memotong perintahku, bingung.

“Segera lakukan, Dok. Suruh dua perawat kau bergegas!” aku berseru. “Bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun menjadi dokter keluarga ini? Bukankah kau dulu salah satu anak yang disekolahkan Om Liem? Demi semua itu, laksanakan perintahku.”

Dokter menelan ludah. Patah-patah menyuruh dua perawatnya.

“Bilang ke polisi di luar, kondisi Tante Liem semakin parah.” Aku menarik salah satu perawat itu sebelum keluar dari ruangan. “Kalau mereka bertanya detail, jangan dijawab, dan jangan pernah biarkan mereka mendekati pintu kamar ini. Kau mengerti?”

Perawat itu mengangguk---meski masih dengan wajah bingung.

“Apa, apa yang sedang kaulakukan, Tom?” Om Liem bertanya gugup.

“Menyelamatkan seluruh keluarga ini. Apalagi?” aku berseru cepat. “Kau, ya kau bantu melepas infus dari Tante Liem. Segera,” aku meneriaki dua perawat yang tersisa di kamar.

“Apa yang kaurencanakan, Tom?” Om Liem bertanya untuk kedua kali.

“Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, tapi jika semua berjalan lancar, dua jam dari sekarang kita sudah ribuan kilometer dari kota sialan ini,” aku berkata cepat pada Om Liem. “Dua hari, kita punya waktu dua hari hingga Senin untuk membereskan semua kekacauan. Bank Semesta akan diselamatkan, percayalah, tidak ada selembar pun saham milik perusahaan yang akan dijual. Dan sebelum itu terjadi, kau harus kabur dari mereka. Lari.”

“Aku, aku tidak akan melakukannya, Tommi.” Suara Om Liem terdengar bergetar.
“Tidak ada pilihan. Kau harus lari!” aku berseru gemas.

“Aku tidak mau jadi buronan, Tom.” Om Liem menggeleng, refleks melangkah mundur.

“Kau harus mau. Astaga, sekarang bukan saatnya membahas prinsip-prinsip basi.” Aku membentaknya. “Turuti semua perintahku, dan semua akan baik-baik saja.” Aku menoleh ke sisi lain. “Ram, siapa nama petinggi kejaksaan dan bintang tiga di kepolisian yang memimpin kasus ini?”
Ram dengan wajah tidak mengerti menyebut dua nama yang sudah dia sebutkan di mobil saat menjemputku.

“Nah, bukankah dua nama itu berarti buat keluarga ini?” Aku kembali menoleh pada Om Liem, menyebut nama itu kencang-kencang. “Mereka tidak akan berhenti. Percayalah, kau tidak akan dipenjara enam bulan seperti masa lalu. Dua orang ini akan membuatmu dipenjara selamanya, agar tidak ada jejak yang tersisa.”

Pintu kamar didorong dari luar, dua perawat sudah kembali, terburu-buru mendorong ranjang darurat, diikuti beberapa petugas polisi yang ingin tahu. 

Aku segera melesat ke depan pintu, menahan petugas yang hendak masuk.
“Kalian tidak boleh masuk.”

“Kami harus tahu apa yang terjadi?” Komandan polisi memaksa.

“Astaga? Apalagi yang ingin kalian tahu!” Aku memasang badan agar mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam. “Nyonya rumah terbaring sekarat, dia butuh segera dibawa ke rumah sakit. Tuan rumah tidak akan ke mana-mana. Lihat, dengan memakai tongkat, tangkapan kalian tidak akan bisa kabur dari sini, bahkan berjalan seratus meter pun dia tidak akan kuat.”

Para petugas saling lirik.

“Kalian akan terus menonton, atau lebih baik menunggu di ruang depan.” Aku melotot. “Percayalah, setelah nyonya rumah dibawa pergi oleh ambulans, kalian dengan mudah bisa memborgol Tuan Liem. Besok kalian akan mendapatkan kenaikan pangkat atas tangkapan hebat ini.”

Komandan polisi terlihat ragu-ragu, aku sudah balik kanan, kasar menutup pintu.

“Kau naik ke atas ranjang dorong,” aku mendesis.

Om Liem bingung.

“Pasangkan infus dan semua slang di tangannya.” Aku menyuruh perawat yang juga masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Aku, aku tidak bisa membiarkan ini, Thom!” dokter berseru tertahan, sepertinya dia orang pertama yang mengerti apa yang akan kulakukan.

“Kau akan membiarkannya, Dok.” Aku menatapnya galak, meraih stick golf di pojok kamar. “Aku akan memukul siapa saja yang menghalangiku. Kau naik ke atas ranjang.”

Om Liem patah-patah naik, berbaring, aku segera menyuruh dua perawat bekerja di bawah ancaman stick golf. Mereka takut-takut segera menyelimuti tubuh tua itu, memasang masker di wajah, memasang penutup kepala, infus, alat bantu pernapasan, apa saja yang bisa membuat kamuflase. 
Adalah penting segera membawa Om Liem kabur. Tanpa tanda tangan Om Liem, tidak ada satu pihak pun yang bisa membekukan Bank Semesta atau mengambil alih perusahaan lain. Aku tidak bisa melarikan Om Liem begitu saja dari rumah, melewati belasan polisi yang sejak empat jam lalu tidak sabaran. Aku akan menukar Tante dengan Om Liem. Rencana ini nekat, meski perawat sudah berusaha membuat tampilan Om Liem yang terbaring tidak dikenali lagi dengan selimut dan peralatan medis. Jika ada salah satu petugas polisi yang detail memeriksa, mereka dengan cepat akan tahu. Tetapi dalam situasi panik, darurat, pukul dua dini hari, tetap ada kemungkinan skenario ini berhasil.

“Berjanjilan, Tante akan baik-baik saja setelah kami kabur,” aku berbisik pada Tante Liem sebelum mendorong ranjang darurat yang di atasnya sudah terbaring tubuh gemetar Om Liem. 

Tante masih menatapku bingung. Sebelum dia mengucapkan satu patah, aku sudah mengucapkan kalimat terakhir. “Percayalah, berikan aku waktu dua hari, semua kekacauan akan dibereskan.”
Tante menelan ludah, mulutnya kembali tertutup.

“Kalian,” aku menunjuk empat perawat yang masih gentar melihat stick golf yang kupegang, “bantu aku berpura-pura seperti situasi darurat. Berteriak-teriak, suruh menyingkir polisi yang berjaga di ruang tengah. Kau, Dok, pimpin rombongan paling depan, bertingkahlah seperti dokter yang galak dalam situasi darurat. Kau paham?”

Dokter di hadapanku menelan ludah, aku mengacungkan stick golf tinggi-tinggi.

“Ram, kau tetap tinggal di sini, pastikan kau mengurus Tante. Kalian tahan polisi selama kalian bisa, berbual, karang alasan, bilang Om Liem tiba-tiba sakit perut, ada di toilet, atau bilang Om Liem memanjat jendela, kabur ke taman belakang. Berikan kami waktu lima belas menit menuju bandara, Ram. Pastikan kau membangunkan salah satu staf perusahaan untuk menyiapkan tiket, paspor, dan dokumen perjalanan kami. Segera menyusul ke bandara. Ada penerbangan ke Frankfurt, transit di Dubai pukul 3 dini hari, 45 menit lagi. Kita lakukan ini demi Om Liem, orang yang telah membantu banyak kalian selama ini,” aku mendesis, menatap tajam semua orang dalam kamar.

Mereka balas menatapku tegang. Mereka sepertinya sudah sempurna paham apa yang akan terjadi. 

Aku menatap pintu kamar lamat-lamat, lima detik berlalu, menghela napas, mendesis, “Sekarang atau tidak sama sekali. Semuanya ikut aku!” 

Aku mendorong pintu kamar, mulai berteriak-teriak panik.

Dokter yang sedetik terlihat ragu, juga ikut berseru-seru, menyuruh semua orang yang berdiri di ruang tengah menyingkir. Ranjang darurat didorong dengan kecepatan tinggi oleh dua perawat. Dua lainnya menyibak siapa saja, membuat petugas polisi refleks memberikan jalan. 

Jangan biarkan, bahkan sedetik sekalipun, jangan biarkan mereka tahu Om Liem yang terbaring di atas ranjang, atau semua rencanaku akan gagal total.


*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html

Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon