Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
USIAKU masih sepuluh tahun saat mengantar botol susu untuk terakhir kalinya.
Sepedaku menikung masuk ke jalan menuju rumah, bersenandung riang
karena seluruh botol susu yang kubawa habis, ditukar dengan botol kosong
oleh tetangga yang membeli. Suara botol beradu di kotak belakang sepeda
terdengar bergemerincing, membuatku menyeringai, Mama akan memberiku
uang jajan tambahan, aku perlu banyak uang untuk membeli buku-buku yang
kusuka.
Sayangnya tidak ada lagi uang jajan dari Mama. Persis habis
tikungan, mendongak ke depan, bersiap mengayuh pedal sepeda secepat
mungkin seperti yang aku biasakan, ngebut, aku menatap bingung
kerumunan, masih enam ratus meter, tapi asap hitam terlihat mengepul
tinggi, sirene mobil pemadam kebakaran dan teriakan orang terdengar
nyaring bersahut-sahutan. Dan sebelum sempat aku bergumam ingin tahu,
sepedaku sudah disambar oleh seseorang.
Aku berseru kaget, hampir terbalik.
“Jangan ke sana, Thomas. Jangan ke sana.”
Dua, tiga, empat orang sudah menarikku masuk ke dalam gang sempit. Wajah-wajah cemas, wajah-wajah takut.
Aku balas menatap mereka, bingung, apa yang telah terjadi? Kenapa aku
tidak boleh pulang? Salah satu dari mereka justru menangis, memelukku
erat-erat, berbisik, “Bersabar, Nak. Tuhan sungguh sayang dengan orang
sabar.”
Sejak hari itu, bagai kapal berputar haluan, kehidupanku berubah seratus delapan puluh derajat.
Terlepas dari ambisi besar Om Liem dan Papa Edward, cara-cara mereka
berbisnis yang sering kali tegas dan keras, seluruh tetangga menyayangi
keluarga besar kami, terutama Mama. Bagi kebanyakan keluarga yang
tinggal di dekat rumah sekaligus gudang tepung terigu kami, Mama adalah
segalanya. Mama memberikan mereka pekerjaan, membantu anak-anak sekolah,
mengirimkan dokter jika ada yang sakit, memberikan bingkisan setiap
hari besar, dan tidak terhitung botol susu serta makanan yang kubagikan.
Merekalah yang mati-matian menahanku sampai malam. Ketika halaman rumah
kami benar-benar sepi dari orang. Karena aku terus berteriak, mendesak,
bertanya apa yang telah terjadi, dini hari, beberapa tetangga dengan
membawa senjata, berjaga-jaga, mengantarku ke sana. Aku hanya bisa jatuh
terduduk, menatap gentar puing hitam yang ditimpa cahaya sepotong
bulan. Satu-dua bara masih menyala, terlihat merah, terdengar
bergemeletuk pelan. Aku membeku.
Aku sungguh tidak menangis, tidak berteriak, hanya menatap kosong sisa rumah dan gudang.
Kejam sekali kehidupan. Kejam sekali orang-orang itu.
Persis saat matahari pagi menerpa kota, setelah tetangga berembuk satu
sama lain, memastikan Papa dan Mama seratus persen telah meninggal, ikut
terbakar, kabar Opa dan Tante yang berhasil lari tetapi tidak diketahui
ke mana, berusaha menghubungi Om Liem yang juga tidak jelas di mana,
apakah masih di pelabuhan, atau entahlah, mereka akhirnya memutuskan
mengirimku pergi ke kota lain. Ada kenalan yang menjadi pengajar di
sekolah untuk anak-anak yatim-piatu. Itu pilihan yang paling aman,
karena banyak petugas, dan orang-orang tidak dikenal masih berusaha
mencari anggota keluarga kami yang tersisa. Wajah-wajah sangar dan
penasaran.
Aku diberikan bekal sekotak roti, tas ransel berisi pakaian, hasil patungan tetangga.
Satu-dua ibu-ibu tetangga memelukku, menangis, berbisik tentang esok
lusa semua akan kembali baik, esok lusa semua akan pulih, janji-janji
masa depan. Aku mengangguk datar, bilang, “Thomas akan baik-baik saja,
Ibu.” Dan mereka tambah keras menangis. Aku diantar ke stasiun kereta,
membawa selembar tiket, duduk rapi, menatap rumah-rumah, bangunan, dan
pohon-pohon berbaris seiring roda baja kereta berderak berangkat.
Satu hari sejak kejadian, aku resmi tinggal di sekolah berasrama.
Meninggalkan jasad Papa, Mama yang menjadi abu.
Pengajar sekolah berasrama menghapus riwayat hidupku. Tidak ada lagi
nama keluarga di namaku, hanya satu kata Thomas, isian berikutnya hanya:
anak yang ditemukan di jalanan, tidak diketahui bapak-ibunya. Mulailah
kehidupan baruku. Makan dijatah, tidur diranjang tingkat, berbagi kamar
dengan belasan anak lain. Kabar baiknya, sekolah berasrama itu hebat,
aku punya teman senasib.
Enam bulan kemudian aku membaca kabar Om
Liem dipenjarakan. Beritanya ada di koran, nyempil di halaman dalam,
tidak mencolok. Satu tahun berlalu, aku tetap tidak tahu apa kabar Opa
dan Tante.
Usiaku dua belas, barulah aku tahu kabar mereka.
Waktu itu aku persis sedang ujian akhir. Guru pengawas bilang ada
seseorang yang ingin bertemu, mendesak, mengizinkanku meninggalkan ujian
sebentar. Aku berjalan ragu-ragu menuju ruangan kepala sekolah. Dua
tahun terakhir, aku selalu cemas bertemu dengan orang asing,
jangan-jangan mereka adalah orang jahat yang dulu membakar rumah kami.
Pintu ruangan kepala sekolah dibuka, Tante berdiri dengan mata
berkaca-kaca. Aku tertegun. Tante sudah loncat, memelukku erat-erat,
menangis. Tante bilang, dia, Opa, bibi, semua yang berhasil lari pindah
ke Jakarta, dengan uang tabungan milik Opa, dibantu karyawan gudang yang
masih setia, mereka mengontrak rumah dan memulai bisnis baru. Tante
menceritakan banyak hal, membuatku terdiam lima belas menit kemudian.
Tetapi aku menggeleng saat Tante mengajakku pulang.
Inilah keluarga baruku sekarang. Sekolah berasrama. Aku akan menamatkan
sekolah di sini. Melupakan banyak hal. Lebih dari tiga kali seminggu
kemudian, Tante bolak-balik ke sekolah, membujukku. Di kunjungan ketiga,
dia datang bersama Opa, bibi, semua orang-orang yang kukenal, berusaha
membujuk.
Jawabanku tetap tidak.
Opa tersenyum, mengacak
rambutku yang tidak pernah kupotong sejak kejadian. “Kalau begitu, maka
sekali dua berkunjunglah melihat kami, Tommi. Aku akan senang sekali
jika kau melakukannya.”
Aku mengangguk mantap. Hanya Tante yang
terus keberatan, dia masih terus mengunjungi setiap bulan, membawa
pakaian, makanan, apa saja yang membuatku nyaman tinggal di asrama.
Bagiku, dia menjadi pengganti Mama yang baik.
Di penghujung tahun
ketiga, libur panjang, dengan membawa ransel aku pergi ke rumah Opa. Itu
kunjungan pertama. Bukan rumah yang di Jakarta, tapi yang di Waduk
Jatiluhur.
“Kau benar-benar berubah, Tommi.” Opa memelukku, amat
riang dengan kedatanganku. “Maksudku, lihatlah, kau ternyata telah
memotong rambut. Kupikir kau akan terus membiarkan rambutmu tumbuh
berantakan sejak kejadian itu.”
Aku tersenyum, menatap wajah Opa yang semakin tua.
Sepanjang hari dia mengajakku melakukan apa saja. Belajar menyetir
mobil---aku membuat mobilnya menggelinding masuk ke dalam waduk, belajar
mengemudi speedboat, duduk mencangkung di atas kapal nelayan,
memancing, atau duduk meluruskan kaki di belakang rumah sambil memainkan
klarinet. Tertawa, bergurau, dan tentu saja kebiasaan buruk Opa,
menceritakan masa mudanya, persis seperti kaset rusak. Membahas bisnis
baru Opa yang maju pesat, sebenarnya dia jauh lebih pandai berbisnis
dibanding memainkan alat musik.
Saat ulang tahunku yang kedelapan
belas, Opa menghadiahkan mobil balap itu. Aku tidak datang, bilang
sedang ujian akhir. Alasan sebenarnya adalah: Om Liem sudah keluar dari
penjara, bergabung kembali dengan keluarga. Aku tidak mau bertemu
dengannya. Aku hanya berkunjung ke rumah peristirahatan Opa jika Om Liem
tidak ada di sana.
Usia dua puluh dua, satu minggu sebelum
keberangkatanku kuliah di sekolah bisnis, Opa memintaku menemaninya
pergi ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
“Ini kapalmu, Tommi.” Opa terkekeh saat melihatku bingung.
Aku menoleh, bolak-balik, wajah Opa, kapal besar yang merapat anggun di dermaga.
“Kau boleh memberinya nama apa saja, Tommi.”
Aku menelan ludah. Opa tidak sedang bergurau, bukan? Opa tertawa lagi.
Opa selalu baik padaku. Meski Papa dulu berkali-kali memaksakan
pemahaman bahwa tidak ada hadiah untuk Tommi kalau dia tidak bekerja
keras di rumah, Opa selalu memberiku hadiah spesial, amat dermawan.
“Berapa usiamu sekarang? Dua puluh dua bukan? Waktu aku seusiamu
sekarang, Tommi, aku persis berada di perahu kayu yang sempit,
terombang-ambing melintasi lautan bersama belasan pengungsi, berusaha
mencari negeri yang lebih baik.”
Aku mengangguk. Opa sepertinya kembali bercerita tentang masa lalunya.
“Lihatlah, kau jauh bernasib baik, Anakku, kau tumbuh menjadi anak muda
yang pintar, gagah, penuh kesempatan. Apa nama sekolah bisnismu itu?
Astaga, kudengar hanya orang-orang paling pintar di dunia yang bisa
sekolah di sana?”
Aku tertawa pelan, tidak menanggapi gurauan Opa, konsentrasi mengemudi kapal.
“Waktu itu,” suara Opa terdengar pelan, sedikit bergetar, “aku tidak takut mati, Tommi.”
Aku menoleh, sepertinya ada yang berbeda dengan cerita Opa kali ini.
“Apa pula yang harus ditakutkan anak muda yatim-piatu, miskin,
mengungsi dari perang saudara dan kemiskinan di daratan Cina sepertiku.
Mati boleh jadi pilihan terbaik. Semua orang di dalam perahu nelayan itu
juga tidak takut mati. Kami senasib, sepenanggungan. Berjudi dengan
masa depan.”
Opa diam sejenak, menatap bintang-gemintang. Kapal yang
kukemudikan maju perlahan, membelah ombak, terus menuju perairan
Kepulauan Seribu.
“Badai, perahu kayu bocor, melintasi kapal perang
Belanda, ditembaki, kehabisan bekal, air minum, semua biasa saja. Itu
makanan sehari-hari. Rasa-rasanya tidak ada cerita seram tentang lautan
yang membuat kami gentar. Hingga suatu hari, salah satu nelayan yang
membantu kami mengungsi bercerita. Itu sungguh sebuah cerita yang
membuat bulu kuduk merinding.”
Aku menoleh pada Opa, membiarkan kemudi terlupakan beberapa detik.
“Aku bahkan masih merinding saat mengingatnya, Tommi.” Opa mengusap wajahnya.
Di luar kelaziman, aku kali ini benar-benar menunggu kalimat berikut
Opa, persis seperti pencinta cerita bersambung di koran-koran yang tidak
sabaran.
Sial, Opa ternyata hanya terkekeh, melambaikan tangan, kembali dengan takzimnya menatap gelap yang menyelimuti lautan.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon