Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
MOBIL ambulans yang kukemudikan menerobos gerbang halaman rumah Om Liem, sirenenya meraung, belum cukup, aku menambahinya dengan menekan klakson berkali-kali dan berteriak, meninggalkan belasan polisi yang memaki-maki karena mereka terpaksa loncat menghindar. Aku membanting kemudi, berbelok menaiki fly over, lampu ambulans segera hilang di jalanan lengang.
Rencana menukar Om Liem dengan Tante sejauh ini
berhasil. Tadi, nyaris saja ketahuan. Selimut Om Liem tersingkap,
memperlihatkan lutut hingga sandal. Salah satu polisi yang curiga
menahan, hendak memeriksa. Aku segera membentaknya, mencoba mengalihkan
perhatian dengan menceracau situasi darurat. Polisi itu menelan ludah,
kehilangan fokus beberapa detik---bahkan satu detik amat berharga untuk
rencana kabur ini.
Ranjang darurat terburu-buru dinaikkan di
belakang ambulans. Empat perawat dan dokter ikut naik. Aku menyuruh
sopir ambulans menyingkir, lalu mengambil alih kemudi. Mobil segera
melesat, pergi secepat mungkin dari rumah Om Liem. Dua menit, aku
kembali membanting kemudi. Ambulans meliuk menuju pintu tol. Waktuku
sempit. Paling lama lima belas menit petugas polisi tahu apa yang
sesungguhnya telah terjadi. Sekali mereka tahu, proses pengejaran
dimulai.
Aku teringat sesuatu, mengambil telepon genggam dari saku.
“Angkatlah, ayo angkat,” aku mendesis, tidak sabaran untuk dua hal:
nada panggil dan dua truk yang berjalan di depanku. Lupakan safety
driving. Satu tanganku memegang setir, satu tangan lain memegang telepon
genggam.
“Maggie, maaf membangunkanmu malam-malam,” aku langsung
berseru, sambil menekan klakson panjang. Dua truk di depanku santai
sekali di jalur cepat, apa mereka tidak mendengar sireneku.
“Aku
tidak punya waktu untuk menjelaskan, Maggie. Situasi darurat. Aku tahu,
tentu saja aku tahu sekarang pukul dua dini hari, dan aku tidak sedang
mabuk. Kau segera berkemas, aku butuh kau berada di kantor saat ini, ada
banyak yang harus dikerjakan. Kau dengar aku, Maggie? Segera, bergegas,
atau promosi kau minggu lalu kubatalkan.”
Satu tanganku memutus
pembicaraan, satu tanganku segera membanting setir. Sialan, ternyata ada
mobil lain yang bergerak santai di depan dua truk yang baru saja
kusalip. Ambulans yang kukemudikan menyerempet pembatas jalan, membuat
baret panjang di sisi ambulans.
Aku mendengus, ambulans kembali stabil, mengebut.
Telepon genggamku berbunyi, dari Ram. Aku mengangkatnya.
“Mereka sudah tahu, Thom.” Suara di seberang sana terdengar tercekat.
Astaga, aku berseru, sekaligus menekan klakson, alangkah banyaknya truk kontainer di jalan tol.
“Kami sudah berusaha menahan mereka, Thom, tetapi mereka mendobrak kamar, kau sekarang ada di mana? Masih jauh dari bandara?”
Aku mengumpat dalam hati, baru lima menit, tentu saja masih jauh, yang dekat itu adalah rumah Om Liem di belakangku.
“Kabar baiknya mereka tidak tahu ke mana tujuan ambulans, Thom. Semua
orang di kamar kompak bilang kau telah mengancam, lantas pergi begitu
saja melarikan Om Liem, tidak tahu kau hendak ke mana. Polisi mulai
menyebar informasi ke seluruh patroli, melakukan pengejaran.”
“Tiket, Ram. Bagaimana dengan tiket dan dokumen perjalanan kami?” Aku memotong.
“Salah satu staf perusahaan sedang menuju bandara. Semua tiket, paspor
dalam perjalanan. Kau tinggal ambil di meeting point pintu
keberangkatan.”
“Bagaimana, Tante?”
“Komandan polisi yang
jengkel hendak menahan Tante Liem. Mereka juga sempat memukul beberapa
orang di rumah. Tetapi tidak usah kaucemaskan, mereka akan bermasalah
dengan belasan pasal dalam hukum pidana jika berani menahan Tante Liem.
Dia baik-baik saja, dokter lain sedang menuju ke rumah. Yang tidak baik
itu polisi, mereka terlihat marah sekali.”
Aku menghela napas, setidaknya Tante baik.
“Kau suruh salah satu staf lainnya mengubungi rumah sakit, klinik, apa
saja yang buka dua puluh empat jam,” aku berseru, teringat sesuatu.
“Eh, buat apa?”
“Lakukan saja, Ram. Telepon sebanyak mungkin rumah sakit, laporkan
situasi palsu, bilang ada keadaan darurat di sembarang tempat, suruh
mereka mengirim ambulans. Aku ingin satu menit lagi ada belasan ambulans
berkeliaran di jalanan kota, itu akan mengelabui polisi yang sedang
melakukan pengejaran. Waktuku bukan menit, Ram, tapi detik, jadi
bergegaslah.”
Telepon genggam kumatikan. Aku juga harus mematikan
sirene ambulans agar tidak menarik perhatian, membanting setir ke kanan,
ambulans segera menaiki jalur tol menuju bandara, berpisah dengan
barisan truk kontainer menuju pelabuhan peti kemas. Aku melirik penanda
kilometer di pembatas jalan tol, bandara masih 20 kilometer lagi. Aku
menekan pedal gas sedalam mungkin, dengan kecepatan 140km/jam, itu hanya
delapan menit.
Sekali ini, jalan tol lengang, menyisakan pendar cahaya lampu di aspal.
Aku menghela napas, mengusap keringat di pelipis.
Baru beberapa hari lalu aku ceramah panjang lebar tentang sistem
keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang aku melarikan
seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru beberapa menit yang lalu aku
masih terdaftar sebagai warga negara yang baik, bertingkah baik-baik dan
selalu taat membayar pajak, tapi sekarang aku menjadi otak pelarian
buronan besar.
Aku menepuk dahi, teringat sesuatu, dengan cepat menekan kembali meraih telepon genggam.
Hingga habis nada panggil, telepon tetap tidak diangkat. Aku mendengus,
mencoba nomor kedua, tetap sia-sia, tidak aktif. Masih ada nomor
ketiga. Dua kali nada panggil, ayolah diangkat, aku mendesis, lima kali
nada panggil, hanya ini satu-satunya harapanku, ayo diangkat.
“Malam, Thom. Kau tidak tahu ini jam berapa? Atau jangan-jangan kau
sengaja hendak mengolok-olokku lagi, mengganggu tidurku. Harus berapa
kali lagi kubilang agar kau puas? Yang Mulia Thomas adalah petarung
terhebat klub, tidak ada yang bisa mengalahkan Yang Mulia Thomas.”
“Bukan soal itu, Randy.” Aku memotong suara mengantuk Randy.
“Lantas hoaem apa lagi, Sobat?”
Aku mengutuk Randy yang terdengar amat santai. Dengan cepat menjelaskan
situasi, aku butuh akses untuk melewati gerbang imigrasi bandara. Tadi
Om Liem bilang surat penangkapannya efektif sejak kemarin siang. Untuk
kasus besar, itu berarti seluruh gerbang imigrasi sudah menerima
notifikasi pencekalan. Komandan polisi di rumah saat ini juga pasti
sedang menghubungi bandara, pelabuhan, terminal, stasiun, dan apa saja
yang terpikirkan olehnya sebagai titik pelarian.
“Aku tidak bisa melakukannya, Thom,” Randy akhirnya berkata pelan setelah terdiam.
“Kau akan melakukannya, Randy!” aku berseru galak.
“Ini bisa membahayakan karierku.” Suara Randy ragu-ragu.
“Omong kosong, kau pernah melakukannya, belasan kali boleh jadi. Sudah
berapa banyak buronan yang kalian loloskan ke luar negeri, hah? Bukankah
dengan mudah kalian bisa mengarang-ngarang alasan.”
“Yang ini berbeda, Thom.”
“Apa bedanya, Randy.” Aku mulai jengkel, pintu keluar tol sudah
terlihat, jarakku dengan bandara tinggal dua kilometer, jika Randy tidak
bisa membantu, melewati pintu imigrasi bandara sama saja dengan
menyerahkan diri.
“Setidaknya berikan aku waktu setengah jam berkoordinasi dengan petugas imigrasi....”
“Astaga, Randy. Aku butuh sekarang.”
“Aku harus koordinasi dulu, Thom.”
“Segera, Randy. Detik ini juga. Kau sudah berjanji di klub bertarung,
jika aku mengalahkan Rudi, kau akan melakukan apa saja, termasuk
meloloskan buronan negara. Janji seorang petarung, Randy.”
Randy
terdiam sejenak di seberang sana, “Baik, Sobat. Berikan aku satu menit,
aku akan memberikan kau akses melintasi petugas imigrasi.”
Aku
menutup telepon, menerobos pintu tol keluar. Penjaganya berteriak,
bilang aku belum membayar, aku hanya bergumam pendek, tidak pernahkah
dia melihat ambulans yang terburu-buru? Darurat.
Aku menghentikan
ambulans lima belas detik sebelum memasuki gerbang bandara, menyuruh
empat perawat dan dokter turun. “Kalian pulang ke rumah masing-masing
dengan taksi, tidur, dan beristirahat. Lupakan kejadian ini. Jika nanti
ada polisi yang menginterogasi, kalian bilang kalian diancam olehku. Di
luar itu, tidak tahu dan tidak berkomentar, paham?” Dokter dan empat
perawat mengangguk.
Aku menyuruh Om Liem pindah ke bangku depan.
Infus, slang, dan masker yang pura-pura dipasangkan telah dilepas
sepanjang perjalanan tol. Om Liem meringis, tubuh tuanya kelelahan. Aku
sudah menekan pedal gas, memasuki area bandara.
Telepon genggamku
berbunyi saat ambulans sudah terparkir di depan pintu gerbang
keberangkatan. Aku menuntun Om Liem agar bergegas menuju meeting point.
Itu Randy. Da memberikan nomor loket imigrasi yang harus kutuju.
“Terima kasih, Sobat.” Aku tertawa pelan---akhirnya aku tertawa setelah
semua ketegangan. “Aku berjanji, demi bantuan ini, lain kali jika
bertarung denganmu, aku tidak akan menghajarmu habis-habisan.”
Randy terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Aku sudah menutup telepon.
Salah satu staf perusahaan sudah menunggu di meeting point, menyerahkan amplop cokelat besar.
“Semua tiket, paspor Tuan Liem, ada di dalamnya.”
“Kau tidak kesulitan ke sini?” Aku basa-basi bertanya, menghela napas lega melihat isi amplop.
“Aku manajer hotel bandara, Pak. Sekaligus membawahi loket travel
agent. Jadwalku berjaga malam ini. Hotel dan travel agent juga milik
Tuan Liem. Kami selama ini yang menyiapkan dokumen perjalanan, termasuk
menyimpan paspor keluarga Tuan Liem. Jadi sama sekali tidak ada
kesulitan.”
Aku mengangguk, menuntun Om Liem memasuki ruangan check-in.
Meski tidak seramai siang hari, aktivitas dini hari bandara tetap sibuk.
Cahaya lampu berkilauan. Para calon penumpang mendorong troli berisi koper. Meja check-in penuh dengan antrean.
Aku mengangguk lega. Sekali Om Liem duduk rapi di pesawat yang menuju
Frankfurt, butuh berhari-hari bagi polisi untuk mengembalikannya ke
Jakarta. Itu lebih dari cukup memberikan aku waktu untuk membereskan PR
lain.
***
Dalam teori ekonomi modern, tingkat suku bunga
bank sentral (sering dikenal dengan istilah suku bunga SBI, Sertifikat
Bank Indonesia) memegang peranan penting sebagai instrumen pengendali.
SBI adalah bunga bebas risiko. Simpanan dalam bentuk SBI tidak mungkin
akan gagal bayar---berbeda dengan tabungan atau deposito bank umum, yang
bisa default kapan saja dengan beragam alasan.
Jika bank sentral
menetapkan suku bunga SBI, misalnya 8 persen, suku bunga itu menjadi
patokan seluruh bank umum dalam menetapkan berapa besar bunga kredit
yang akan mereka berikan, juga termasuk patokan bagi leasing, asuransi,
dan berbagai perusahaan keuangan lainnya.
Coba cek berapa bunga
tabungan kalian saat ini? Paling tinggi hanya 4 persen per tahun. Nah,
coba pikirkan logika sederhana ini, simpanan uang kalian di bank hanya
diberikan bunga 4 persen, tapi bank bisa menggunakan uang kalian untuk
membeli SBI (menyimpan uang itu di Pemerintah) dengan bunga 8 persen.
Jika bank memiliki dana tabungan nasabah 100 triliun, kalikan saja
dengan selisih bunga 4 persen. Sambil ongkang-ongkang kaki, mereka bisa
untung 4 triliun setiap tahun. Jangan pernah merasa aneh dengan berita
rasio penyaluran kredit perbankan rendah, fungsi intermediasi perbankan
memble, jumlah simpanan SBI terus meroket, come on, kenapa pula kalian
harus repot menyalurkan kredit (yang bisa saja macet, menjadi non
performing loan), kalau ada cara mudah mendapatkan untung selisih bunga?
Bahkan jika anak SD dijadikan direktur utama bank, bank tetap akan
untung. Siapa yang membayar 4 triliun itu? Pemerintah. Dari mana
uangnya? Dari pajak rakyat.
Tetapi ada yang lebih ajaib lagi.
Pertanyaannya, bagaimana bank sentral bisa tiba-tiba memutuskan SBI 8
persen? Padahal mereka tahu selisih dengan bunga tabungan bank umum
begitu lebar?
Karena mereka diamanahkan oleh undang-undang menjaga
stabilitas perekonomian. Stabilitas itu salah satunya tercermin dari
angka inflasi. Misalnya, ketika harga-harga diperkirakan naik,
perekonomian tumbuh terlalu cepat, overheating, bank sentral
mengantisipasinya dengan ikut menaikkan suku bunga SBI. Naiknya suku
bunga, secara teoretis, akan membuat orang yang punya banyak uang
memilih menabung dibandingkan belanja. Dus, uang beredar berkurang,
aktivitas jual-beli menurun, harga-harga jadi turun. Juga sebaliknya,
ketika harga-harga diperkirakan terlalu turun, perekonomian melambat,
bank sentral akan mengantisipasinya dengan menurunkan SBI. Turunnya suku
bunga SBI, otomatis akan membuat suku bunga pinjaman bank turun, dana
murah, orang-orang berbondong pinjam uang, aktivitas jual-beli naik,
perekonomian kembali bergairah.
Dari penjelasan satu paragraf di atas, catat kata pentingnya: perkiraan.
Inilah ajaibnya ilmu ekonomi, inflasi adalah fungsi dari ekspektasi
(perkiraan, persepsi). Berapa tingkat inflasi tahun depan? 8 persen? 10
persen? Semua hasil dari perkiraan, antisipasi. Berapa inflasi bulan
depan? 0,5 persen? 1 persen? Semua keluar dari kalkulasi perkiraan,
eskpektasi.
Ajaib, bukan? Kita ternyata selama ini memercayakan
nasib perekonomian dunia, nasib periuk nasi banyak orang, kepada
orang-orang yang di kelas diajarkan tentang ekspektasi. Bukankah itu
tidak beda dengan para penyihir, dukun, juru ramal, atau profesi dunia
gaib lain? Sialnya, jika kalian bisa menimpuk tukang ramal yang
ramalannya salah (atau malah memilih tidak percaya sama sekali), kalian
tidak bisa menimpuk menteri ekonomi atau petinggi bank sentral jika
mereka salah mengambil kebijakan, “Ternyata variabelnya lebih banyak
dari dugaan kami. Ini bukan salah kami. Siapa pun pengambil
keputusannya, pasti keliru memprediksi turbulensi ekonomi yang ada.”
Omong kosong.
Profesor penerima nobel ekonomi yang adalah salah
satu dosenku sekaligus menjadi lawan debatku di sekolah bisnis ternama,
hanya tertawa mendengar komentarku---dia pastilah terlatih menghadapi
mahasiswa model aku. “Itulah menariknya ilmu ini, Thomas. Sejak zaman
Nabi Adam, kita selalu tertarik dengan masa depan, berusaha mengintip
rahasia langit, berusaha menjelaskan apa yang akan terjadi esok hari.
Nah, dengan pendekatan ilmiah, ilmu ekonomi mengumpulkan bukti-bukti
empiris yang ada. Pemegang kebijakan ekonomi bisa menyesuaikan akibat
yang terjadi dari kontrol yang mereka punya. Bukan urusanku jika
ternyata pemegang kontrol itu ternyata orang yang pengecut, korup dan
lebih mementingkan pihak tertentu.”
Diskusi ditutup tanpa kesimpulan.
Aku mengembuskan napas panjang. Aku dan Om Liem sudah duduk rapi di
dalam pesawat. Lima menit lalu, petugas imigrasi menatapku datar, layar
komputernya pastilah mengeluarkan alarm setelah proses scan paspor Om
Liem, kode merah. Tetapi dia tanpa banyak bicara, menekan tombol,
mematikan alarm. Seperti tidak ada yang terjadi, menyerahkan paspor
kami, berseru, “Berikutnya.”
Proses boarding hampir selesai, sebagian besar penumpang sudah duduk. Pramugari bahkan sudah menutup bagasi di atas kepala.
Persepsi? Aku tiba-tiba memikirkan sesuatu. Apa yang sedang dilakukan
polisi saat ini? Mereka pastilah telah menghubungi interpol, mengontak
seluruh jaringan yang mereka punya di seluruh dunia. Ekspektasi?
Kepalaku terus mengingat diskusi di kelas saat itu. Apa yang sedang
dilakukan polisi untuk memburu buronan besar mereka sepuluh tahun
terakhir? Tersangka kejahatan keuangan yang sudah mereka pegang
tengkuknya ternyata berhasil kabur dengan mudah.
Aku menghela napas tertahan. Meremas rambut. Memaki dalam hati.
Tidak, kami bahkan tidak akan melewati loket transit Dubai. Petugas
interpol pasti menunggu di sana, dan bersiap menggelandang kami kembali
ke Jakarta. Jika aku dan Om Liem tertangkap, urusan semakin runyam,
tidak ada celah sama sekali.
Persepsi? Ekspektasi? Aku meremas
jemari. Sekarang urusan tidak sesederhana membuat kamuflase Om Liem di
atas ranjang darurat. Sekarang, aku harus menciptakan persepsi yang
keliru di benak mereka. Kabur ke luar negeri adalah reaksi yang sesuai
dengan ekspektasi mereka. Ini bukan pilihan yang baik.
Aku harus membuat persepsi yang menipu. Tidak ada waktu lagi.
Aku bergegas berdiri, berbisik, “Kita turun dari pesawat.”
“Hah?” Dahi lelah Om Liem terlipat.
“Bergegas. Mereka hampir menutup pintu pesawat.”
Aku sudah membantu melepas safety belt Om Liem.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon