Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
“HALO, Thomas.” Salah satu wartawan senior halaman ekonomi surat kabar harian dengan oplah paling tinggi di Indonesia berdiri, menyambutku, diikuti beberapa wartawan lain.
“Maaf, terlambat dari
jadwal.” Aku menyapa peserta pertemuan di ruang privat salah satu
restoran elite kota Jakarta, menarik kursi kosong, bergabung. Sabtu,
pukul 09.05. Sisa waktuku tinggal 46 jam, 45 menit hingga hari Senin
pukul 08.00.
“Hanya terlambat lima menit, Thom.” Dia tertawa. “Asal
yang dijanjikan stafmu lewat telepon benar, ada rilis berita besar,
menunggu lima jam kami tidak keberatan.”
Aku balas tertawa, terkendali.
“Astaga, Thom, kau kusut sekali. Jangan-jangan kau tidak mandi sejak
pulang dari London kemarin sore.” Wartawan televisi nasional gantian
menepuk pundakku.
“Boleh jadi. Dia jelas masih memakai kemeja yang sama saat di pesawat.”
Hei, aku mengenali suara itu. Julia, lihatlah, gadis dengan predikat
wartawan terbaik salah satu review mingguan itu duduk di salah satu
meja. Terlihat cantik dengan kemeja cokelat.
Aku kali ini tertawa, lepas.
“Saat di pesawat?” Wartawan tabloid ekonomi lain ikut menimbrung percakapan. “Kau satu pesawat dengannya dari London, Julia?”
“Ya, dan itu perjalanan paling menyebalkan selama hidupku.”
Sembilan peserta pertemuan lain sepertinya tertarik dengan kalimat
Julia, memasang wajah ingin tahu. Aku melambaikan tangan, masih tertawa
kecil. “Come on, kalian ke sini bukan untuk mendengar tentang itu,
bukan? Nantilah, kalau situasinya lebih baik, Julia akan berbaik hati
menjelaskan bagaimana mungkin pengalaman pertamanya naik pesawat
terbesar, menghabiskan sepiring kaviar, dan meminta apa saja yang ada
dalam daftar menu pramugari menjadi sebuah perjalanan yang menyebalkan.
Sekarang aku akan memberi kalian kabar yang hebat. Kalian wartawan,
editor, media massa pertama yang mendengarnya. Kabar hebat yang
sekaligus mengerikan.”
Peserta pertemuan kembali sempurna menatapku. Satu-dua mengeluarkan alat tulis atau perekam.
Aku tersenyum, menatap peserta pertemuan. Maggie sepertinya mengerjakan
PR-nya dengan baik. Dia berhasil mengundang seluruh media massa besar
dan berpengaruh. Bahkan bergabung tiga pengamat perbankan, keuangan, dan
ekonomi nasional yang tulisannya sering memengaruhi opini publik.
Peserta pertemuan menungguku, gemas melihatku yang tersenyum.
“Otoritas bank sentral akan menutup Bank Semesta.” Aku akhirnya membuka mulut.
Gerakan tangan mereka terhenti.
“Astaga? Kau tidak sedang bergurau, Thom?” Salah satu kepala editor
media online menepuk dahi. “Maksudku, walaupun kita sudah lama mendengar
Bank Semesta masuk ruang gawat darurat bank sentral, berada dalam
pengawasan ketat, kabar ini tetap mengejutkan.”
“Aku tidak bergurau.
Sumberku valid. Seratus persen yakin. Sama dengan seratus persen aku
yakin kalau itu keputusan yang salah. Sama dengan seratus persen aku
akan menjadi orang pertama yang menentangnya.” Kalimatku terdengar
datar, dengan intonasi terjaga. “Dalam situasi kacau-balau dunia, krisis
subprime mortgage, institusi keuangan kolaps di mana-mana, menutup Bank
Semesta sama saja membawa mimpi buruk itu dengan pesawat VIP tercepat
ke negeri ini. Satu saja bank atau lembaga keuangan kita ditutup, maka
bagai barisan kartu remi, yang lain pasti menyusul roboh. Ini jelas
bahaya dampak sistemis.”
Akulah orang pertamya yang menyebut dua
kata ajaib itu: dampak sistemis. Dua kata yang akhirnya memenuhi
langit-langit perdebatan negeri ini berbulan-bulan ke depan, bahkan
dalam toilet gedung anggota dewan sekalipun.
***
“Lehman
Brothers rugi hingga 3,9 miliar dolar sebelum mengumumkan pailit 15
September, belum habis kabar mengejutkan itu dibahas di media massa,
institusi keuangan Amerika lainnya menyusul. Merril Lynch tumbang,
Citigroup, Fannie Mae & Freddie Mac mengalami kesulitan keuangan,
bahkan AIG, grup keuangan besar dan tua Amerika diujung vonis kematian
jika tidak diselamatkan pemerintah. Tidak terbayangkan kekacauan yang
terjadi di belahan dunia sana, dan itu tidak berhenti di sektor
keuangan. General Motors, Ford, Chrysler mendaftarkan kebangkrutan,
puluhan ribu karyawan dirumahkan, tidak terhitung sektor real merumahkan
karyawannya. Krisis ini nyata, bukan sekadar angka-angka pengangguran,
angka-angka pertumbuhan ekonomi nasional yang negatif.
“Kita sedang
membicarakan sesuatu yang mengerikan, bahaya dampak sistemis. European
Central Bank (ECB) mendefinisikannya sebagai wide systematic shocks
which by themselves adversely affect many institutions or markets at the
same time. In this sense, systemic risk goes much beyond the
vulnerability of single banks to runs in a fractional reserve system.
Aku menyederhanakannya dengan definisi, satu kejadian yang sekali pukul
membuat runtuh semua keseimbangan, bahkan bisa membuat hilangnya
kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional....”
“Maaf, menyela.” Julia mengangkat tangan---ini sudah yang kedua kalinya
dia menyela kalimatku sejak setengah jam lalu. “Semua yang kausebutkan
itu terjadi ribuan kilometer dari kita, fundamental dan situasi
perekonomian kita jelas berbeda. Bagaimana mungkin?”
“Julia, aku
tahu kau masih punya banyak energi untuk mendebatku sejak kejadian di
pesawat.” Aku segera memotong kalimat Julia. “Kau lupa satu fakta kecil,
Julia. Dua puluh empat jam lalu, kita masih di London, bukan? Pagi ini
kita sedang menghabiskan segelas kopi nikmat di Jakarta. Bahkan dunia
ini telah terkoneksi secara fisik, Julia. Jarak bukan masalah. Apalagi
dalam sistem keuangan dunia, uang yang kautabungkan di Bank Semesta,
anggap saja kau punya tabungan di sana, berputar hingga ke Lehman
Brothers dan Merril Lynch. Uang yang dimiliki investor kecil di Surabaya
misalnya, berpilin hingga New York bahkan New Delhi. Sistem keuangan
dunia lebih rumit bahkan dibanding jaringan internet.
“Dan bicara
dampak mengerikan, peduli setan dengan fundamental ekonomi suatu negara.
Kau tahu, dua hari setelah Lehman Brothers menyatakan bangkrut, 150
miliar dolar ditarik serentak dari pasar uang Amerika. Jumlah yang
setara dengan seluruh utang nasional kita. Kau tahu berapa total
kehilangan aset pensiun Amerika? Jumlahnya mencapai 1,3 triliun dolar.
Itu belum termasuk aset simpanan dan investasi, aset retirement,
totalnya nyaris 8,2 triliun dolar. Kau tahu, selama 2007-2008, penduduk
Amerika kehilangan seperempat kekayaan mereka, berapa jumlahnya? Ratusan
triliun dolar. Kita hidup dalam jaringan keuangan yang kait-mengkait,
harusnya kau diajarkan soal itu di sekolah bisnis.”
Ruangan privat restoran dipenuhi tawa kecil.
Wajah Julia berubah merah-masam. Dia masih mengacungkan tangannya.
“Tetapi Bank Semesta hanya bank menengah, kau juga tahu itu. Namanya
tidak pernah masuk dalam daftar sepuluh besar bank. Menurut data yang
kumiliki, jumlah uang yang mereka kelola tidak sampai 4 persen dari
seluruh uang perbankan nasional.”
Aku menatap tajam Julia. “Baik.
Aku berikan kau satu contoh kecil, Northen Rock Bank. Dari sisi aset,
jumlah nasabah, kapitalisasi, NRB, sebenarnya bank swasta kecil di
Inggris. Tapi apa yang terjadi? Saat mereka melaporkan kesulitan
keuangan, dalam situasi krisis dunia, dengan cepat kejadian ini menjadi
sorotan publik seluruh Inggris. Antrean panjang nasabah yang bergegas
mengambil uangnya di bank ini menjadi tontonan buruk semua pemirsa
televisi. Penduduk Inggris panik, untuk pertama kalinya dalam 140 tahun
terakhir, perbankan Inggris kacau-balau. Bank of England, bank sentral
Inggris akhirnya menasionalisasi NRB, setelah berbagai pinjaman darurat
tidak membantu, mereka juga terpaksa melakukan rekapitalisasi di banyak
bank swasta lainnya untuk menghentikan kartu remi yang terus roboh tidak
terkendali.
“Kita tidak membicarakan kecil atau besar, Julia. Bank
yang terletak di pelosok dunia atau di tengah gegap gempita keuangan,
sama saja. Kita membicarakan kepanikan, dampak sistemis dalam sistem
perekonomian terbuka, membicarakan sektor yang sangat rentan terhadap
berita buruk. Kalian wartawan ekonomi, bukan? Coba lihat pasar Surat
Utang Negara, SUN, kita, yield SUN naik tajam beberapa bulan terakhir,
naik hampir 7 persen, padahal setiap kenaikan 1 persen itu berarti beban
biaya bunga tambahan sebesar 1,4 triliun dalam APBN. CDS, credit
default swap negara kita juga melonjak tinggi, itu berarti pasar dunia
menilai country risk Indonesia tinggi. Belum lagi cadangan devisa turun
dua digit persentase dan rupiah menyentuh level 12.000. Astaga, siapa
bilang krisis dunia tidak memengaruhi kita? Temporer? Kita bisa
bertahan? Aku tidak yakin. Kita membutuhkan semua energi untuk segera
keluar dari pengaruh buruk ini, atau kejadian tahun 1998 kembali
terulang.”
“Saya setuju soal data-data itu.” Julia kembali menyela.
Dia jelas gadis yang tidak mudah menyerah. Julia menunjukkan iPad
miliknya---yang pastilah berisi laporan mutakhir perekonomian nasional.
“Hanya saja dalam kasus ini, Bank Semesta layak ditutup karena mereka
memang melakukan banyak kejahatan keuangan. Mereka melanggar banyak
regulasi.”
Aku melambaikan tangan. “Ayolah, kalimatku belum
selesai, Julia. Tentu saja kau punya berita tentang Bank Semesta, rumor
kejahatan pemilik bank itu. Tetapi bukankah kalian juga punya data
tentang situasi terkini? Indeks saham kita menukik tajam sebulan
terakhir, tinggal separuhnya, memangkas nilai pasar puluhan triliun
rupiah. Pinjaman antarbank terhenti, kecemasan melanda investor besar
hingga retail, dana pensiun, dan perusahaan asuransi kehilangan banyak
uang, dan jangan lupakan kemungkinan capital flight besar-besaran.
“Semua situasi buruk ini hanya butuh satu kabar buruk, satu saja, maka
boom, semua meledak, rantai kerusakan telah dimulai. Bank Semesta
bobrok, mungkin. Bank Semesta melakukan banyak kejahatan keuangan, boleh
jadi. Tetapi menutup bank ini, sama saja dengan membuat kepanikan
massal, dan ini jelas bukan sebuah rumor, kemungkinan, atau sebuah
kebolehjadian. Kau mau bertanggung jawab atas kemungkinan itu, Julia?
Otak cemerlang dan analisis hebat kau mau bertanggung jawab kalau
ternyata bahaya dampak sistemis itu benar-benar terjadi? Rush
gila-gilaan, belasan bank menengah lain bertumbangan, krisis 1998
terulang dengan skala goncangan lebih tinggi? Kalian, media massa, mau
ikut bertanggung jawab?”
Ruangan privat restoran senyap sejenak. Beberapa wartawan menghela napas.
Aku takzim menatap wajah mereka satu per satu.
“Apakah keputusan penutupan Bank Semesta sudah efektif, Thom? Sudah
keluar surat keputusan misalnya, mengingat belum ada rilis resmi dari
bank sentral.” Shambazy, kepala editor media online bertanya, meletakkan
alat tulisnya.
“Belum. Tetapi itu seratus persen akan terjadi jika
tidak ada second opinion. Kau tahu sendiri, ada banyak pihak yang
bersemangat melihat Bank Semesta ditutup---di luar penyidik kepolisian,
kejaksaan, atau otoritas bank sentral yang sudah tidak sabaran sejak
mereka menangani kemungkinan fraud di bank ini setahun lalu. Saya hanya
sumber informasi confidential. Saya juga hanya menyatakan pendapat
profesional, kalian boleh setuju, boleh juga tidak. Di luar sana, boleh
jadi lebih banyak pihak yang emosional dan menganggap bahaya dampak
sistemis hanya ilusi. Tetapi jika kalian setuju, saatnya membentuk opini
yang berbeda. Masih ada waktu, menjadi headline koran besok misalnya.
Atau liputan khusus di televisi nanti sore. Atau sebuah kolom opini yang
bernas dan membuka mata banyak orang. Atau artikel pendek di media
online-mu , Shambazy.
“Desas-desus ini sudah di tangan banyak
pihak. Kalian bisa menggalinya lebih dalam pada pejabat bank sentral,
menteri, pejabat tinggi, siapa saja. Dengan begitu, setidaknya kalian
akan membantu menahan proses keputusan itu dibuat segera, setidaknya
kalian memberikan pertimbangan lain, cover both side, sementara itu aku
bisa melakukan negosiasi dengan pihak yang akan memutuskan.”
“Kau
sudah punya angka-angka, Thom? Maksudku, jika pemerintah akhirnya harus
menyelamatkan Bank Semesta, berapa jumlah uang talangan yang harus
diberikan?” Wartawan lain bertanya.
Aku terdiam sejenak, menelan
ludah. “Belum. Aku belum punya datanya. Tapi aku segera akan punya. Kita
harus tahu petanya, bukan? Berapa biayanya. Sebagai catatan, pemerintah
Amerika menalangai AIG hingga 150 miliar dolar. Itu kecil saja
dibandingkan jika seluruh sistem ambruk dan lebih banyak lagi yang harus
ditalangi. Bank sentral Eropa juga terpaksa membeli miliaran dolar aset
bank bermasalah, tapi itu juga kecil dibandingkan kemungkinan buruknya.
Kalian bisa mencari tahu lebih detail soal itu.”
Aku melirik
pergelangan tangan, sudah pukul 10.15 menit---pertanyaan barusan
membuatku teringat sesuatu, aku memerlukan banyak data sekarang.
“Nah, waktuku sudah habis, aku terpaksa pamit. Aku sudah ada janji lain.”
Peserta pertemuan bergumam, hendak bertanya.
“Maaf, aku sibuk sekali. Tidak ada sesi tanya-jawab seperti biasa.”
“Tentu saja,” salah satu wartawan menyahut, tertawa kecil, “kami tahu jadwalmu bahkan lebih sibuk dibanding presiden, Thom.”
Aku ikut tertawa. “Terima kasih sudah datang dan mendengarkan. Maggie
yang akan mengurus tagihan restoran. Selamat siang.” Aku melangkah cepat
meninggalkan ruangan privat restoran.
***
Aku menuju kantor setelah pertemuan dengan editor dan wartawan media massa.
Maggie dengan wajah kesal menunjuk tumpukan dokumen di atas meja.
“Kau sudah sortir yang penting atau tidak, bukan?”
“Belum sempat.” Maggie menjawab ringan. “Bukankah kau sendiri yang
bilang, bahkan jika ada sopir taksi yang mengigau tentang Bank Semesta
enam tahun terakhir, catat, kumpulkan.”
Aku memasang wajah setengah
tidak percaya, “Bukan itu maksudku, Mag. Kau tidak akan membiarkan
waktuku terbuang percuma dengan membaca dokumen tidak penting, kan?
Astaga, sudah berapa lama kau jadi stafku? Kalimatku tadi pagi itu tidak
seharfiah maksudnya.”
Maggie menyengir.
“Kenapa kau malah tertawa?” Aku melotot.
“Tentu saja sudah aku sortir, Thom.” Maggie tertawa menyebalkan,
menatap wajah marahku. “Senang saja melampiaskan bangun pagiku di hari
libur ke orang lain.”
Aku hampir menimpuk Maggie dengan salah satu binder kertas.
“Laporan paling akhir Bank Semesta dari staf Ram ada dalam tumpukan.
Working paper audit sedang di-print, sebagian sudah ada fotokopinya. Aku
masih menunggu beberapa dokumen penting lain. Nah, yang itu, kau tidak
akan percaya, Thom, itu dokumen tentang pengambilalihan Bank Semesta
oleh Om Liem enam tahun lalu. Kau pasti akan tertarik membacanya. Jangan
tanya bagaimana aku memperolehnya.”
“Kau benar-benar staf yang
hebat, Maggie.” Aku menyeringai menatapnya. “Sayangnya aku tidak punya
adik laki-laki, boleh jadi sudah kujodohkan.”
“Urus saja perjodohanmu, Thom.” Maggie melambaikan tangan, kembali menatap layar laptopnya.
Aku tertawa. “Aku tidak akan lama di kantor, berapa lama lagi dokumen yang kau print siap?”
“Setengah jam.”
“Baik, aku akan mempelajari dokumen ini di ruanganku sambil menunggu. Dan ada beberapa lagi yang harus kaukerjakan.”
Maggie meraih pulpen dan kertas, bersiap mencatat.
“Kirimkan empat tiket konser minggu depan untuk Shambazy. Siapa nama
artis yang mau konser itu? Anak-anak remaja Shambazy pasti suka. Kau
juga kirimkan surat rekomendasi untuk wartawan televisi yang ikut
pertemuan tadi, kalau tidak salah dia mendaftar short course, tidak akan
ada sekolah bisnis yang menolak rekomendasiku. Juga untuk salah satu
pengamat ekonomi, kauberikan undangan forum ekonomi internasional di
Bangkok bulan depan, bilang dia jauh lebih layak dibanding Thomas, kita
akan membayar biaya perjalanannya. Juga kauhubungi kampus tempat
pengamat ekonomi lainnya bekerja, kita akan menawarkan sponsor riset.
Sudah kaucatat? Dan kaucari tahu hadiah apa yang tepat untuk wartawan
dan editor lain.”
“Siap, Bos.” Maggie mengangguk.
Aku sudah
mengangkat tumpukan dokumen, melangkah menuju ruanganku. Kalian tahu
bagaimana cara terbaik menanamkan sebuah ide di kepala orang lain?
Lakukan dengan cara berkelas.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon