Selasa, 14 Februari 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 8 - Rumah Peristirahatan

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

BENDUNGAN Tiga Ngarai atau Three Gorges Dam yang membendung aliran Sungai Yangtze, Cina, luasnya lebih dari 1.000 kilometer persegi. Itu berarti jika lebarnya 10 kilometer, panjangnya 100 kilometer, bayangkan besarnya. Dibangun sejak tahun 1994, bendungan ini membuat 1,3 juta penduduk tergusur. Terlepas dari dana pembangunan yang ratusan triliun rupiah, proyek ini juga harus dibayar dengan ribuan desa, ratusan kota, besar-kecil, kuburan leluhur, lahan pertanian, situs arkeologi, hutan, binatang, semuanya terendam oleh proyek bendungan paling besar dan paling ambisius seluruh dunia. Itu semua untuk 20.000 MW listrik, jutaan hektar irigasi persawahan, kontrol atas banjir tahunan di Sungai Yangtze, serta simbol pembangunan ekonomi dan peradaban besar negara Cina.

Dalam skala yang lebih kecil, seperdua belas dari Bendungan Tiga Ngarai, adalah Waduk Jatiluhur (secara harfiah waduk berarti kolam). Luas “kolam” ini hanya kurang-lebih 83 kilometer persegi. Dibangun sejak tahun 1957, waduk ini adalah yang terbesar di Indonesia. Berapa jumlah penduduk yang harus digusur selama proses pembangunanya? Bayangkanlah sendiri, mengingat lokasi waduk ini termasuk salah satu lahan subur, area pertanian, dengan penduduk yang padat, itu setara dengan menggusur penduduk seluruh kota Palangkaraya, atau Ambon, atau Palu.

Aku tidak peduli soal penggusuran---toh, penguasa saat itu mungkin sambil mengupil menandatangani surat perintah penggusuran. Yang aku peduli, kalian pernah datang ke Waduk Jatiluhur? Rekayasa tangan manusia membuat lembah itu berubah banyak, dan kabar baiknya, dengan hamparan air luas, Waduk Jatiluhur terlihat indah bukan kepalang. 

Mobil ambulans yang kukemudikan memasuki jalan lengang menuju rumah peristirahatan Opa ketika semburat merah matahari memenuhi ufuk timur, kabut masih mengambang di perbukitan, dan permukaan waduk terlihat begitu mengilat memesona. Aktivitas di bungalo, hotel, bar, restoran, perkemahan, water park, dan lapangan tenis mulai menyeruak. Nelayan keramba, petani, pekerja, anak-anak sekolah, dan penduduk setempat juga mulai terlihat sibuk. 

Mobilku terus melaju ke salah satu tepi waduk.

Lima belas tahun lalu, Opa memutuskan membeli tanah seluas dua puluh hektar di sudut paling eksotis waduk, lantas membangun rumah kecil yang nyaman dan menyenangkan. Seperti kastil negeri-negeri Eropa yang bukan saja memiliki halaman rumput luas terpangkas rapi, tapi juga halaman belakang berupa danau yang luas. Seperti ranch peternakan, seperti kebun anggur. Waktu aku masih belasan tahun, aku sering datang ke sini, berkemah, memancing, berburu, mengebut dengan speedboat, atau sekadar bengong duduk di beranda dermaga, menatap senja bersama Opa yang pat-pet-pot memainkan alat musik. Lantas Opa akan mulai bercerita, yang ceritanya itu-itu saja, seperti kaset rusak.

Aku pelan menjawil lengan Om Liem, membangunkan. Ambulans yang kukemudikan persis memasuki gerbang halaman. Lengang, hanya beberapa tukang kebun, yang merupakan penduduk sekitar waduk, terlihat sibuk menyalakan mesin penyiram otomatis, belasan jumlah slangnya, muncrat tinggi-tinggi, membuat halaman seperti dipenuhi hujan lokal.
“Kita sudah sampai?” Om Liem membuka mata.

Aku tidak menjawab, memarkirkan ambulans di halaman belakang yang menghadap waduk. Sepagi ini, Opa pasti sedang duduk menghabiskan secangkir teh hijau sambil berkutat dengan not-not balok.

***


“Kau tidak sarapan sebentar, Tommi?” Opa menatapku arif, tersenyum.

“Ada banyak yang harus kubereskan.” Aku hanya mengantar Om Liem memasuki halaman belakang, langsung bersiap balik kanan. “Mobilku yang lama masih ada?”

“Tentu saja masih.” Opa tertawa. “Tidak ada yang jail belajar mengemudi dengan mobil itu, lantas tidak sengaja justru menenggelamkannya ke waduk.”

Aku ikut tertawa. Opa suka sekali mengenang kejadian lama.

“Opa taruh di garasi, tanyakan pada bujang kuncinya. Ayolah, kita minum teh sebentar, mobilmu itu setidaknya perlu dipanaskan.”

Aku menggeleng, mengangkat pergelangan tangan. “Waktuku tinggal 49 jam 45 menit hingga bank dan kantor-kantor buka pukul 8 hari Senin lusa, Opa. Aku harus bergegas kembali ke Jakarta. Titip dia, sudah terlalu banyak kekacauan yang dia buat, pastikan dia tidak menambahkannya lagi satu.”

Opa tertawa lagi. “Baiklah, Tommi. Terlepas dari aku belum tahu apa yang telah terjadi, aku sebenarnya senang sekali melihat kalian berdua beriringan memasuki halaman rumah beberapa menit lalu, terlihat kompak. Kalian bahkan sudah lama tidak bertemu. Hati-hati, Nak, jangan lupa makan.”

Aku mengangguk, balik kanan menuju garasi mobil yang terpisah dari bangunan induk. Saatnya berganti kendaraan yang lebih memadai, aku butuh mobil tercepat untuk kembali ke Jakarta. 

Opa adalah kolektor mobil yang baik---meski tampilannya bersahaja. Koleksinya tidak banyak, tapi berkelas. Opa paling suka mobil Eropa. Salah satu koleksinya adalah seri merek mobil yang memenangkan Grand Prix Monaco untuk pertama kali. Salah satu bujang mengantarkan kunci. Aku melepas cover mobilku, bersiul. Ini mobil seri kesekian dari merek yang sama. Opa mengoleksinya karena legenda hidup formula satu juga punya. Mobil ini kesayangan Opa. Saking sayangnya, dia jadikan mobil ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17 lima belas tahun silam---perayaan yang justru tidak kuhadiri, ada ujian sekolah. 

Setengah menit, mobil bertenaga itu sudah melesat meninggalkan garasi, melintasi halaman belakang. Opa melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk, menyeringai menatap kasihan Om Liem. Satu jam ke depan, selama menemani Opa sarapan, pastilah Om Liem terpaksa mendengar Opa  bercerita sambil manggut-manggut sopan.


***

“Kau tahu, Tommi, usia Opa baru lima belas saat datang dari pesisir Cina, menumpang perahu penuh tambalan, berlayar seadanya, bersama puluhan perantau yang mencari dunia baru, mencari kehidupan terjanjikan. Kami nyaris tenggelam di perairan Malaka jika tidak ditolong kapal nelayan, hingga akhirnya berhasil merapat di negeri yang sedang mengalami perang revolusi. Di radio-radio terdengar ceramah bersemangat pemuda bernama Soekarno. Dentuman granat dan suara tembakan memenuhi langit-langit kota. Opa bagai lepas dari mulut macan, masuk perangkap buaya. 

“Tetapi Opa benar, Tommi, ini tanah yang dijanjikan. Lima belas tahun berlalu, umur Opa tiga puluh saat menikah dengan Oma. Malam pengantin kami dihiasi dengan pidato tentang dekrit presiden. Saat itu Opa baru menjejak kehidupan yang baik. Setelah bertahun-tahun menjadi pedagang keliling, buruh seadanya, pembantu juragan besar, Opa akhirnya punya toko tepung terigu kecil di pojokan jalan. Tidak ramai, cukup untuk menghidupi dua anakku. Papamu Edward dan pamanmu Om Liem.”

Ini dua paragraf standar pembuka cerita Opa. Aku yang masih berusia belasan tahun bergegas memasang wajah tertarik---karena setiap selesai cerita, kalau Opa merasa kita telah menjadi pendengar yang baik, dia biasanya memberikan hadiah.

Mobil yang kukemudikan sudah melesat melewati jalanan yang semakin ramai. 

Opa bukan pebisnis yang baik. Dia (mengakunya) adalah pemusik yang baik. 

Suatu ketika Opa pernah tertawa lebar bilang kepadaku, yang masih bocah enam tahun. “Kau lihat, aku baru menyentuh klarinet ini dua minggu, tapi sudah menguasai sepuluh lagu. Indah sekali, bukan? Tidak kalah merdu dibandingkan Opera Peking. Andaikata Opa punya uang membeli alat musik semasa muda, dan tidak harus bekerja keras, boleh jadi Opa menjadi pemusik Cina terbesar abad ini.” Opa menepuk dadanya, menunjuk poster opera-opera Cina yang terpajang di ruang tamu kami. Bagiku suara klarinet Opa berisik, tidak ada indah-indahnya, apalagi dia suka membangunkanku pagi-pagi dengan meniup klarinet kencang-kencang di telinga. 

Adalah Papa Edward dan Om Liem pebisnis yang baik. Mereka memiliki garis tangan yang hebat. Umur mereka baru dua puluh tahun saat mengambil alih toko tepung terigu dari Opa. Saat itu, Papa Edward dan Om Liem dengan yakinnya bilang ke Opa, “Kalau hanya menjual bungkusan sekilo-dua kilo tepung terigu, sampai negeri ini mendaratkan pesawat ke bulan, toko ini hanya begini-begini saja. Kami sudah belajar banyak. Sudah tahu banyak. Biarkan kami mengembangkannya.” 

Opa menatap mereka berdua lamat-lamat, lantas mengangguk. Maka sejak hari itu Papa dan Om Liem penuh semangat mulai memutuskan berkongsi dengan tengkulak, petugas, dan penguasa. Mereka membeli dan menjual tepung terigu setahun dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Maju pesatlah toko di pojok jalanan itu. 

Penduduk kota mulai membicarakan nasib baik Papa Edward dan Om Liem. Dalam pesta-pesta keluarga, meja-meja makan dipenuhi tawa sanjung dan kesenangan. “Astaga, bagaimana mungkin kalian tidak akan sukses?” Tuan Shinpei, pedagang besar dari Jakarta, importir tepung terigu, rekanan Papa dan Om Liem tertawa lebar. “Pagi-pagi tadi kau menandatangani kontrak penjualan denganku. Bilang pagi itu juga akan berangkat ke Singapura mengurus pengapalan. Malam ini, kita sudah bertemu lagi, makan-makan besar? Bagaimana mungkin kau begitu cepat bolak-balik mengurus banyak hal?” 

Meja makan dipenuhi tawa.

“Ini anakku, Shinpei.” Papa Edward mengenalkanku dengan bangga.

Aku yang sedang membawa nampan berisi cangkir mendekat. 

“Astaga? Sekecil ini sudah pandai sekali bekerja?” Tuan Shinpei menepuk jidat, tertawa. 

“Kalau kau tahu berapa gaji yang dimintanya dengan menjadi pelayan semalam, kau akan mengerti kenapa dia sangat pandai bekerja.” Papa Edward ikut tertawa. 

“Memangnya apa?” 

“Sepeda. Dia minta sepeda.” 

Pedagang dari Jakarta itu terbahak, mengacak rambutku. 

“Sayang, kau lupa mengancingkan pakaianmu.” Mama yang duduk di sebelah Papa berbisik, lembut memperbaiki seragam pelayanku. Aku patah-patah menuangkan teko, bersungut-sungut melihat Papa yang masih tertawa.

Lantas apa yang dilakukan Opa kalau semua urusan bisnis dipegang Papa dan Om Liem? Opa berusaha memenuhi takdir bakat besarnya: berlatih musik. 

Pertama-tama adalah piano. Tiga bulan berlalu, “Ini bukan alat musik yang cocok untukku.” Dia menyuruh pelayan membawa piano itu ke atas truk, dijual.

Gitar. Baru satu minggu, “Ini terlalu rumit.” Dia menjual gitar itu ke pemulung, yang bersorak riang karena membelinya dengan harga murah sekali. 

Biola. “Meski aku terlihat eksotis dengan alat musik ini, tetapi belajar memainkan benda ini tidak esksotis.” Dia becermin dengan biola di bahu, menyengir, kepala semibotak Opa terlihat lucu. 

Juga harpa, seruling, drum, dan alat-alat musik lainnya. Sampai pemilik toko alat musik di kota kami menggeleng, tidak ada lagi alat musik yang belum pernah dicoba Opa.

“Kau jangan mengejekku, Tommi. Suatu saat aku pasti menemukan alat musik yang tepat, Tommi. Ketika bakat musikku bersinar terang bahkan sebelum aku mulai memainkannya.”

Yang bersinar terang itu bisnis Papa Edward dan Om Liem. Setahun terakhir, Om Liem bahkan memulai sesuatu yang baru. Aku menguping saat Papa dan Om Liem bertengkar. 

“Kita belum siap, Liem. Orang-orang sekitar juga belum siap. Caramu mengumpulkan modal ini terlalu berisiko.” Suara Papa terdengar kencang.

“Justru itu poinnya. Ketika orang-orang lain sibuk memikirkan bisa atau tidak, terbiasa atau tidak, kita sudah berlari kencang. Aku tidak akan menghabiskan hidup hanya berdagang tepung terigu. Kita tidak akan jadi pengusaha besar disegani banyak orang dengan berjualan terigu.” Om Liem balas berseru.

Malam itu rapat keluarga. Opa, Mama, dan Tante Liem ikut bicara. 

Opa yang sejak tadi mendengarkan, meletakkan klarinet, akhirnya berkata, “Cukup, Liem. Dewa bumi memberikan rezeki berkelimpahan untuk keluarga kita. Saat terkatung-katung di kapal bocor empat puluh tahun silam, aku tidak pernah membayangkan akan memiliki keluarga sebaik ini.”

Mama dan Tante Liem juga sependapat. “Opa benar. Kita tidak perlu memaksakan diri.” 

Empat lawan satu, keputusan diambil. 

Om Liem tetap memulai cara baru, meski empat suara jelas-jelas menentangnya.

Aku tidak tahu benar apa nama cara baru itu. Koperasi bukan, bank bukan, simpan-pinjam jauh, utang-piutang apalagi. Tapi soal ide bisnis canggih, Om Liem nomor satu. Tahun 80-an, saat bank masih hitungan jari, saat akses modal terbatas, Om memasang papan besar bertuliskan: “Arisan Berantai Liem-Edward” di depan gerbang rumah kami. 

“Penjelasannya mudah saja.” Begitu Om Liem setiap kali memulai pertemuan di ruang tamu. Hari itu, hari pertama, hanya tiga kolega bisnisnya yang datang, bersedia mendengarkan gagasannya. “Kami butuh modal untuk menggelindingkan bisnis yang lebih besar. Kami akan memulai berdagang gandum, jagung, obat-obatan, semen, lempeng logam, keramik, sabun, semua kebutuhan. Orde Lama sudah mati, Orde Baru tumbuh megah. Negeri ini sedang berlari. Pemerintah punya uang banyak dari minyak, dan mereka butuh barang-barang, apa saja untuk menghabiskan uang banyak itu. Kami akan membeli kapal-kapal, membangun relasi dengan penguasa, petugas, militer yang lebih tinggi, juga mengajak berkongsi dengan kalian. Kami butuh uang. Kalian berikan 100 perak hari ini, setahun kemudian akan kami gandakan jadi 150. Kami juga akan membayar bunga uang arisan dari kalian setiap bulan. 

“Bukan hanya itu. Setiap kali kalian berhasil mengajak orang lain bergabung, kalian akan mendapatkan bonus tambahan. Semakin banyak rantai yang terlibat dalam arisan ini, semakin besar bonus kalian.” Maka, dengan iming-iming uang tumbuh itu, ditambah bonus mengajak orang lain, hari berikutnya, belasan orang datang mendengarkan Om Liem. 

Sebulan kemudian, bahkan banyak yang tidak aku kenali lagi. Ruang tamu keluarga kami kehabisan kursi. Dan setahun berlalu, sudah hampir empat ratus anggota arisan itu. Membawa uang mulai dari receh saja sampai menyerahkan seluruh tabungan mereka. Mulai dari masyarakat biasa, tetangga kiri-kanan, hingga pejabat dan pengusaha dari luar kota. 

Cara baru Om Liem berhasil, dan bisnis perdagangan keluarga melesat cepat. Papa Edward dan Opa bahkan lupa pernah menentangnya. Dua gudang baru dibeli di dekat pelabuhan. Tiga kapal besar melego jangkar setiap minggu. Truk besar pun hilir-mudik. Perhitungan Om Liem tepat, bisnis kami tumbuh, ada banyak orang kaya baru di negeri ini yang hendak membangun rumah-rumah besar, memenuhi rumah-rumah mereka, belanja apa saja. 

Waktu itu umurku enam tahun. Opa masih asyik belajar meniup klarinet di beranda rumah. Papa Edward dan Om Liem sibuk dengan bisnisnya. Mama dan Tante Liem sibuk mengurus keluarga. Konspirasi besar, tamak, dan bengis itu datang menghancurkan keluarga kami.


*bersambung

Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon