Sabtu, 11 Februari 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 3 - Klub Petarung

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------



 “KAU gila! Hampir sebagian dari kita memang datang ke klub masih dengan pakaian rapi dan dasi langsung dari tempat kerja, tapi tidak ada yang datang kemari dengan tas bagasi, langsung dari London.” Theo, teman dekatku, orang yang pertama kali mengenalkanku dengan klub, menyergah.

“Aku tidak punya pilihan, Theo. Jadwal konferensi itu sudah disusun sejak sebulan lalu, juga jadwal sialan ini. Aku harus menunaikan keduanya sekaligus.” Aku melepas kemeja dengan cepat, menarik sembarang kaus lengan pendek dari koper yang kubawa sejak keluar dari hotel konferensi.

“Kau sudah istirahat? Di pesawat misalnya.” Theo melemparkan sepasang sarung tinju.

Aku tertawa. “Bahkan di langit masih saja ada yang menggangguku, Theo. Ada wawancara. Dan sialan, seharusnya aku sudah sampai di sini dua jam lalu, tetapi petugas imigrasi bandara menahanku.”

“Petugas imigrasi?”

“Siapa lagi? Pemeriksaan rutin mereka bilang.”

“Mana ada pemeriksaan rutin untuk WNI, kecuali kau tersangka kasus?”

“Mana aku tahu. Dua jam yang sia-sia.” Aku mendengus kesal.

Theo menggeleng prihatin, menatapku cemas. “Dengan semua kesibukan ini, kau tidak akan punya kesempatan, Thomas. Aku dengar, Rudi si penantang bahkan sengaja mengambil cuti tiga hari untuk menghadapi pertarungan ini. Tadi sempat kulihat wajahnya sangar, dan lihatlah kau, dengan wajah lelah, pupil mengecil. Kau bisa meminta penundaan waktu, itu hak yang ditantang.”

Aku menggeleng, tidak ada penundaan, semua anggota klub menunggu pertarungan ini. Bahkan ruangan pertarungan belum pernah dipenuhi penonton seperti malam ini. Suara dan teriakan antusias mereka terdengar hingga ruang ganti tempatku sekarang bersiap-siap. Aku masih punya waktu setengah jam, di sana masih bertarung dua anggota klub lain, saling menjual pukulan.

“Selamat malam, Thomas.” Seseorang masuk ke ruang ganti, menepuk lemari baju, tertawa lebar.
Aku dan Theo menoleh.

“Kupikir kau tidak akan datang. Terlalu takut menghadapi penantang paling besarmu, mungkin.”

Aku tidak menjawab. Theo mengacungkan tangannya. “Kau tidak boleh berada di sini, Randy.”

“Ayolah, aku hanya menyapa salah satu petarung terbaik klub.” Randy, salah satu anggota senior klub, masih tertawa lebar. “Beruntungnya malam ini aku tidak meletakkan uang taruhan pada kau, Thomas. Aku tidak punya ide akan bertahan berapa ronde kau dengan tampang kuyu seperti ini. Kau baru pulang dari London, bukan?”

Gerahamku mengeras, tidak balas berkomentar.

“Ngomong-ngomong, berapa lama kau tertahan di bandara? Dua jam?”

Gerakan tanganku yang memastikan sarung tinju telah terpasang sempurna terhenti, aku menoleh, berpikir cepat, berseru galak. “Dari mana kau tahu aku tertahan di sana dua jam?”

Randy terkekeh. “Seharusnya aku menahan kau lebih lama lagi, Sobat. Tiga-empat jam misalnya, tetapi kalah WO membuat uang taruhan batal, dan itu jelas tidak lebih seru dibandingkan melihat Thomas yang hebat tersungkur di lantai dengan wajah berdarah-darah.”

Aku melompat, tanganku bergerak cepat hendak memukul Randy---sekalian menguji apakah sarung tinjuku sudah sempurna mencengkeram. “Dasar bedebah, ternyata kau yang sengaja menghambatku di loket imigrasi.”

Theo lebih dulu menahanku, berbisik. “Simpan pukulanmu untuk Rudi. Jangan sia-siakan.” 

Aku tersengal, berusaha mengendalikan diri, tentu saja urusan ini bisa dimengerti. Randy adalah pejabat tinggi di kantor imigrasi. Dia punya kekuasaan untuk melakukannya.

“Kenapa kau harus marah, Thom? Semua sah dan boleh-boleh saja dalam pertarungan, bukan?”

“Tutup mulutmu!” Aku berseru marah.

Randy justru kembali tertawa ringan. 

Suara teriakan di ruangan pertarungan terdengar kencang hingga ruang ganti. Sorakan-sorakan itu menyuruh seseorang bangkit kembali, sepertinya ada salah satu petarung yang terkena pukulan telak.
Tiga tahun lalu, saat pertama kali Theo mengajakku pergi ke “klub”, aku hanya menggeleng malas. Itu bukan kebiasaanku, aku tidak suka menghabiskan waktu dengan nongkrong, minum, mendengar musik, melirik-lirik setelah pulang kerja. Theo santai mengangkat bahu, bilang itu juga bukan kebiasaannya. “Ini klub yang berbeda, Thom. Kau pasti suka.” Maka setengah terpaksa, daripada bosan menatap jalanan macet dari balik jendela tebal ruangan kantorku, aku ikut. 

Menakjubkan, belasan tahun tinggal di Jakarta, aku tidak pernah tahu ternyata kota ini punya “klub bertarung” seperti yang kusaksikan di film terkenal itu. Theo mengajakku ke salah satu gedung perkantoran, di lantai enam, dengan akses lift privat langsung ke sana, bukan partisi ruangan kantor, meja penerima tamu, dan sebagainya yang kutemukan, melainkan ruangan luas dengan lingkaran merah mencolok di tengahnya. Beberapa anggota klub sedang berseru-seru, menyemangati. Wajah-wajah tegang, wajah-wajah semangat menonton dua orang yang saling bertinju persis di lingkaran merah. 

Aku menelan ludah. Theo benar, aku pasti suka. Ini sungguh keren, klub yang berbeda. Theo membiarkanku terpesona. Dia sudah asyik menyapa anggota klub lain, sambil melambai memesan dua minuman ringan untuk kami.

“Ini klub tertutup dan rahasia, Thom. Tidak banyak yang tahu. Anggotanya hanya boleh mengajak teman yang dia percaya kemari. Kau beruntung punya teman Theo, salah satu penggagas awal klub ini. Namamu bersih dan terjamin.” Itu penjelasan Randy---dulu dia masih ramah padaku. “Kami berkumpul tiap akhir minggu, dengan jadwal sama seperti malam ini, menonton pertarungan. Itu di luar latihan setiap hari buat siapa saja yang mau datang. Lumayanlah mengusir penat setelah pulang kerja, apalagi jika itu jadwal petaruganmu, itu sungguh refreshing yang hebat, Sobat.”

Aku mengangguk, bersepakat---dulu aku masih sering sependapat dengan Randy, melihat dua petarung saling pukul, menghindar, darah menetes dari luka di pelipis secara live sudah membakar seluruh penat, apalagi bertarung langsung, itu memicu adrenalin berkali-kali lipat. 

“Tidak ada yang peduli latar belakangmu siapa, Thom. Itu aturan main klub.” Theo berbisik, kami sudah berdiri di pinggir lingkaran merah, bergabung dengan wajah-wajah penonton yang berteriak sampai serak menyemangati. “Randy bekerja di kantor imigrasi. Kudengar dia baru mendapat promosi minggu lalu, jadi kepala imigrasi bandara. Erik, kau lihat di sana, dia manajer senior di bank besar.”

Aku mengumpat dalam hati, tentu saja aku kenal Erik, baru tadi pagi kami rapat bersama, bertengkar tentang ruang lingkup jasa konsultansi yang dibutuhkan corporate bank mereka. 

“Rudi, nah, yang sedang sangar bertarung adalah petugas penyidik di kepolisian atau komisi apalah, aku tidak tahu persis, tidak ada yang peduli. Di sini ada eksekutif muda, karyawan, dokter, pesohor, penulis, orang-orang pemerintah, pengusaha. Itu yang berdiri di pojok bersama teman-temannya adalah anak salah satu petinggi partai. Di sini berkumpul orang-orang yang menyukai tinju. Di luar itu, pekerjaan, latar belakang, siapa kau, lupakan. Meski sebenarnya hampir seluruh anggota klub tahu satu sama lain.”

Aku masih sibuk menyapu wajah-wajah seluruh ruangan.

“Dulu kami hanya amatiran. Ada enam orang pencetus ide. Kami bertanding tanpa jadwal. Anggota klub yang mau bertarung tinggal menuju lingkaran merah, menantang siapa saja yang habis dimarahi bos, atau kesal dengan bawahan, atau mobil mewahnya habis tersenggol. Meski amatiran, selalu seru, satu-dua pulang dengan wajah lebam, mereka terpaksa berbohong pada istri masing-masing, bilang terjatuhlah.” Theo tertawa. “Semakin ke sini, kami membayar pelatih profesional, membuat jadwal, melengkapi ruang ganti, bartender, dan seluruh keperluan seperti sasana tinju. Dan anggota klub bertambah dengan caranya sendiri, hanya boleh mengajak orang yang paling dipercaya, serta direkomendasikan anggota lama. Kupikir sekarang anggota klub sekitar tiga puluh orang. Cukup banyak untuk membuat kau menunggu dua bulan hingga jadwal bertarung kau tiba. Tapi itu bukan masalah. Lebih banyak yang menjadi anggota klub hanya untuk menonton pertarungan, bertaruh, dan bersenang-senang. Atau sekadar mencari tempat memukuli sansak, latihan.”

Ruangan klub dipenuhi tepuk tangan, seruan-seruan salut. Kemeja dan dasi penonton kusut karena kesenangan. Di tengah lingkaran merah, Rudi baru saja membuat lawannya tersungkur. Aku menelan ludah. Theo ikut bertepuk tangan, berbisik, “Dia petarung nomor satu di klub. Jangan coba-coba menantanganya.” 

Wajah sangar Rudi sepanjang pertarungan terlipat. Dia sudah membantu lawannya berdiri, tertawa dengan lawannya, saling peluk. “Satu-dua pertarungan bisa sangat emosional, Thom. Tetapi ini adalah klub dengan respek di atas segalanya. Kita hanya bermusuhan di dalam lingkaran merah, di luar itu semua anggota klub adalah teman baik. Semua aktivitas pertarungan dirahasiakan, bahkan besok lusa kalau kau bertemu dengan anggota klub di manalah, tidak akan ada yang membahas kejadian semalam.”

Aku mengangguk, masih tercengang dengan banyak hal. Saat Theo mengajakku pulang pukul dua belas malam, pertarungan terakhir sudah selesai, aku memutuskan menjadi anggota klub. 

“Selamat bergabung, Thom. Kalau kau mau, minggu depan kami bisa menjadwalkan pertarungan eksibisi. Kau mau?” Randy yang menerima kartu kredit pendaftaranku mengedipkan mata.

Aku bergegas menggeleng. Itu ide buruk.

“Baiklah, minggu depan, pertarungan kedua. Tiga ronde, masing-masing lima menit, melawan, eh, Erik. Ya, Erik, dia sudah sejak sebulan lalu menuntut jadwal bertarung. Nah, kau harus bersiap-siap.” Randy tidak peduli, dia tertawa lebar.

Itu kejadian tiga tahun lalu. Dan dengan segera aku menjadi bagian “klub bertarung”. Adalah Erik lawan pertamaku. Kalian bayangkan, seseorang yang tidak pernah bertinju, tidak pernah menguasai teknik bela diri apa pun, memasuki lingkaran merah di bawah tatapan dan seruan penonton. Aku gugup, meski Theo sudah memberikan kursus selama tiga sesi, setiap pulang kerja, itu tidak cukup. Erik membuat pelipisku robek, berdarah. Dia membuatku tersungkur di ronde ketiga, persis saat lonceng berdentang.

“Anggap saja luka kau itu sebagai ganti rapat tadi siang yang menyebalkan, Thom. Kau seharusnya menyetujui presentasiku, bukan membantainya.” Erik menyeringai, membantuku berdiri.

Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku, dihabisi pukulan terbaik Erik.

“Ini hebat, Sobat. Untuk orang yang baru pertama kali bergabung dan langsung bertarung, kau membuat rekor.” Randy tertawa senang, membantu melepas sarung tinjuku, memberikan minuman segar. “Kau orang pertama yang bertahan hingga ronde ketiga.” 

Theo hanya menyengir, menatap wajah lebamku. Sedangkan belasan anggota klub lainnya menepuk-nepuk bahu, bilang selamat bergabung, menjulurkan tangan, berkenalan, memuji pertarungan seru barusan.

Terlepas dari kondisiku yang babak belur. Ini sungguh hebat. Aku tidak pernah merasakan antusiasme, semangat, tegang, atau apalah menyebutnya saat bertarung, saat mengirim pukulan, dan saat menerima pukulan bertubi-tubi. Rasa-rasanya seluruh tubuhku meledak oleh ekstase kesenangan. Sejak malam itu, pertarungan pertamaku, aku memutuskan menjadi petarung. Tiga tahun berlalu, lebih dari belasan kali aku menghadapi anggota klub lain, dan hanya itulah pertama kali dan untuk terakhir kali aku tersungkur, sisanya jika tidak menang, kami sama-sama masih berdiri gagah hingga lonceng bel ronde terakhir berbunyi. 

Aku tumbuh menjadi petarung hebat. Aku membalas Erik di pertarungan setahun kemudian, bahkan aku membuat Randy tersungkur tiga bulan lalu. Satu-satunya petarung klub yang tidak pernah kukalahkan adalah Rudi, dua kali kami bertarung, dua kali pula berakhir seri.

“Jadwal kau sekarang, Thom.” Seseorang memukul pintu ruang ganti.

Membuat wajah kesalku, wajah tenang Theo, dan wajah menyebalkan Randy menoleh.

“Bergegas, Thom. Mereka sudah tidak sabaran menunggu pertarungan ini sejak tadi. Satu-dua malah sudah di klub sejak pukul empat sore.”

Theo yang mengangguk, bilang segera menuju lingkaran merah.

“Kau akan tersungkur kali ini, Sobat.” Randy masih sibuk mengoceh.

“Thom akan mengalahkan Rudi,” Theo yang menjawab datar, “sama seperti mengalahkan kau tiga bulan lalu. Aku bertaruh untuknya.”

Randy melambaikan tangan. “Itu hanya kebetulan. Kalian curang, sengaja mengerjai, membuatku mulas saat bertarung. Kali ini kau tidak punya kesempatan.”

Theo mengacungkan tinjunya, menyuruh Randy menjauh.

Aku tetap tidak menjawab, melangkah memasuki ruangan pertarungan. 

“Tidak banyak bicara kau sekarang, Sobat.” Randy terkekeh. “Catat ini, kalau kau berhasil mengalahkan Rudi malam ini, akan kupenuhi permintaanmu, apa saja, bahkan jika itu termasuk meloloskan penjahat kelas kakap di gerbang imigrasi bandara.” Teriakan provokasi Randy terdengar di belakangku.

Aku sudah tidak mendengarkan, terus menuju pusat perhatian penonton. Beberapa anggota klub berseru-seru, menepuk-nepuk bahuku, menyemangati, bilang kau harus menang, Thom, habisi dia, Thom. Ruangan klub penuh, beberapa orang tidak kukenali---selalu menjadi saat yang tepat mengajak anggota baru ketika pertarungan penting berlangsung. Antusiasme pertarungan memenuhi setiap jengkal ruangan. Dan di lingkaran merah yang diterangi lampu sorot, berdiri gagah penantangku. 

Rudi si boxer sejati klub.


**bersambung


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html

Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon