Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
“SIAPA kau sebenarnya, Thomas?”
“Aku... aku konsultan keuangan profesional.”
“Jawaban yang keliru lagi, Thomas.”
Alat setrum itu kembali menghujam perutku. Aku menggelinjang, tubuhku gemetar menahan sakit.
“Ayolah, Thomas. Kenapa kau tidak membuat percakapan kita jadi lebih
mudah?” Orang yang duduk di hadapanku itu menatap dingin, intonasinya
datar terkendali.
Sementara di luar, rombongan mobil polisi
berjalan tersendat, keluar pintu tol bandara jalanan macet---sirene
galak mereka tidak membantu banyak.
Aku menggerung, kepalaku tertunduk, napas menderu.
“Siapa kau sebenarnya, Thomas?” Dia bertanya lagi.
“Aku, aku konsultan profesional.”
“Jawaban yang keliru, Thomas.”
Untuk ketiga kalinya alat setrum itu menusuk perutku tanpa bisa
kucegah---bagaimana aku bisa melawan, dua tanganku terborgol di belakang
punggung. Percikan nyala apinya seperti petir kecil yang menyambar
tubuh. Rahangku mengeras, gigiku bergemeletuk menahan rasa sakit. Aku
bertahan mati-matian tidak berteriak. Satu karena teriakan hanya akan
mengundang rasa jumawa dan kesenangan pada mereka; dua, sia-sia juga
berteriak di tengah suara sirene yang memekakkan telinga. Kalaupun ada
yang mendengar di luar sana, siapa pula yang akan peduli.
“Jangan main-main padaku, Thomas. Siapa kau sebenarnya?”
Aku mendongak, menggigit bibir, masih dengan sisa sakit sengatan
barusan, menggeleng pelan. “Aku konsultan keuangan profesional.”
Tangan orang itu kembali hendak menghujamkan alat setrumnya.
Mataku terpejam.
“Cukup, Wusdi. Kau akan membuatnya terkapar pingsan dan kita kehilangan
kesempatan untuk segera mengetahui posisi Liem.” Rekan di sebelahnya
menahan. “Lagi pula, sepertinya dia berkata jujur.”
Aku antara
mendengar dan tidak kalimat itu, masih menggerung menahan rasa sakit.
Tetapi aku belum pingsan, aku masih lebih dari sadar untuk paham
situasinya.
“Percuma.” Aku berkata pelan, dengan suara bergetar.
Dua orang yang duduk di pojok mobil taktis polisi menatapku.
“Percuma kalian memainkan peran polisi baik, polisi buruk, good cop,
bad cop.” Aku gemetar, berusaha menegakkan badan dan kepala, berbicara
dengan posisi lebih baik. “Percuma…. Jawabanku tetap sama, aku
konsultan, konsultan keuangan. Tidak lebih, tidak kurang, aku bekerja
profesional.”
Aku berusaha mengendalikan napas, berusaha bicara
lebih lancar, balas menatap mereka di tengah remang. “Om Liem, Om Liem
membayarku mahal sekali untuk pekerjaan ini beberapa hari lalu.
Menyelamatkan Bank Semesta dan grup bisnisnya.”
“Di bayar mahal? Apa maksudmu?” Salah satu dari mereka bertanya.
“Dia, dia berjanji akan memberikan sepuluh persen dari jumlah yang bisa
kuselamatkan. Tidak hanya dari Bank Semesta dan grup bisnis lokal, tapi
juga dari aset Om Liem di luar negeri.” Aku tertawa kecil, diam
sejenak. “Meski hanya sepuluh persen, nilainya triliunan, lebih besar
dari yang kalian bayangkan, harga yang mahal sekali. Sebanding dengan
risikonya.”
Dua orang itu saling toleh.
“Kalian tidak tahu itu,
bukan?” Aku kembali tertawa kecil. “Taipan tua itu jauh lebih pintar
dibanding siapa pun. Ambil semua kekayaannya, dia masih tetap lebih kaya
dibanding yang hilang. Dia menyimpan banyak aset di luar negeri, dan
itu di luar daftar pendek yang kalian miliki. Daftar aset yang belum
tentu juga puluhan tahun berhasil kalian kuasai.”
“Apa maksudmu?” Rekannya yang tidak memegang alat setrum agak maju ke depan.
Aku menggeram, berusaha mengendalikan diri, untuk pertama kalinya aku
melihat wajah petinggi jaksa ini dari jarak dekat setelah puluhan tahun.
Seringai liciknya terlihat jelas.
“Apa maksudku? Aku seorang
profesional sejati. Sama dengan kalian. Berapa tahun kalian mengejar Om
Liem? Berusaha mengambil alih kekayaannya? Kalian pikir akan berhasil
mengambil semuanya setelah Bank Semesta ditutup, asetnya dijual murah?”
Aku menggeleng, tersenyum sinis.
“Bebaskan aku, maka aku akan
memihak siapa saja yang memberikan bayaran paling tinggi. Om Liem
percaya padaku, dia tidak akan curiga sedikit pun jika aku
mengkhianatinya.”
“Kau hanya membual.” Orang yang menilik wajahku menyeringai.
“Terserah. Tapi aku punya daftar paling lengkap seluruh aset Om Liem di
luar negeri. Daftar yang tidak pernah kalian ketahui, meski mengerahkan
polisi atau petugas kejaksaan terbaik sekalipun.”
Mobil taktis polisi lengang sejenak, hanya menyisakan suara sirene yang memekakkan telinga.
Dua orang di hadapanku menimbang sesuatu.
“Aku punya daftarnya. Aku tidak membual.” Aku memecah senyap.
Mereka berdua saling toleh lagi.
“Bebaskan aku, maka aku bisa menjadi orang paling berguna buat kalian.”
“Lantas apa untungnya buatmu?” Orang yang memegang setrum menyelidik.
“Kalian bisa memberikan dua puluh persen dari aset Om Liem yang
kudapatkan. Aku akan bekerja dan setia pada orang yang membayarku lebih
mahal.”
Salah satu dari mereka terkekeh. “Kau naif, Thomas. Buat apa
kami memberikanmu dua puluh persen jika kami bisa mendapatkannya
gratis.”
Aku menggeleng, berkata dengan suara bergetar. “Tidak,
urusan ini tidak sesederhana seperti kalian mengambil akte tanah,
surat-menyurat pabrik, gedung dari seseorang, lantas membiarkan mereka
terbakar bersama semua bukti-bukti. Aset Om Liem sekarang terdaftar
lintas negara, kalian butuh seseorang yang tahu persis caranya.”
Tawa itu tersumpal, menatapku tajam, menyelidik.
Aku pura-pura tidak peduli dengan tatapannya, menganggap kalimatku tadi
kosong, bukan menyindir masa lalu. “Percayalah. Aset luar negeri Om
Liem itu nyata. Jika kita bisa sepakat, aku bisa memberikan daftarnya
pada kalian saat ini juga.”
“Mana daftarnya?” Orang yang memegang setrum mengangkat alatnya.
Aku menggeleng. “Kita harus bersepakat lebih dulu.”
“Aku bisa memaksa kau memberikannya.” Percik nyala api hanya lima senti dari wajahku.
“Tidak. Aku tidak akan memberitahu sebelum kalian berjanji. Silakan.
Percuma saja kalian siksa aku sampai pingsan atau mati sekalipun. Daftar
aset itu akan hilang bersama dengan hilangnya informasi di mana Om Liem
saat ini.”
“Omong kosong. Kau akan memberitahu kami.” Tangan orang itu bergerak. Kilat kecil bergemeletuk dari alat di tangannya.
Aku menatapnya, bersiap menerima setrum berikutnya.
“Cukup, Wusdi. Dia benar. Kita tidak sedang berhadapan dengan penjahat
kacangan yang bisa kautakuti dengan cara interogasi kuno.” Rekannya
menahan tangan itu.
Rekannya bergumam keberatan, tapi tidak protes.
“Baik. Kami berikan dua puluh persen dari nilai aset luar negeri yang
bisa kaudapatkan ditambah bonus kebebasan segera.” Orang itu ramah
memegang lenganku. “Nah, di mana daftar aset dan Liem saat ini, Thomas?”
“Bebaskan aku dulu.”
Orang itu terdiam sejenak, mengangguk.
“Baik, lepaskan borgolnya.” Dia meneriaki salah satu polisi.
Salah satu petugas meletakkan senjata, meraih kunci borgol, membebaskan tanganku.
Aku menarik napas panjang. Tiga petugas lain masih mengarahkan senjata
mereka ke tubuhku. Secepat apa pun aku bereaksi, tidak akan bisa
mengalahkan kecepatan peluru. Aku hanya bisa mengurut pergelangan tangan
yang sakit, kembali menghela napas.
“Nah, mana daftar asetnya, Thomas? Dan di mana Om Liem sekarang berada?”
Aku menggeleng. “Soal Om Liem, lebih baik dia sementara dibiarkan
bebas. Jika kalian menahannya sekarang, kalian tidak akan leluasa
mengambil seluruh aset miliknya. Ada banyak petugas lain yang ikut
tertarik, belum lagi puluhan wartawan yang ingin tahu. Terlalu banyak
yang curiga. Dia bisa ditangkap kapan saja setelah urusan selesai, mudah
saja melakukannya.”
Aku diam sebentar, menatap wajah dua orang di hadapanku.
“Soal daftar aset, ada di telepon genggamku. Salah satu anak buah kalian mengambil telepon itu tadi.”
Orang di hadapanku segera menoleh ke arah empat polisi dengan moncong
senapan terarah padaku. Sebelum diperintah, salah satu dari polisi
merogoh saku, memberikan telepon genggam itu.
Aku menyeringai,
urusan ini benar-benar berubah kapiran sejak setengah jam lalu, aku
ibarat bidak catur yang dikepung benteng dan kuda lawan, tidak ada
tempat berkelit selain mengorbankan menteri, senjata terakhir, aku
mengembuskan napas, membuka file spreadsheet yang dikirimkan Maggie.
Dua orang di hadapanku menunggu tidak sabaran, segera merampas telepon
genggam itu persis setelah file itu terbula, membacanya cepat.
“Isi file ini sungguhan?” Mata mereka berdua membesar.
Aku mengangguk---bahkan daftar awalnya saja pasti membuat siapa pun terbelalak.
“Kau memang bisa menjadi orang paling berguna buat kami.” Salah satu dari mereka terkekeh, senang dengan daftar di tangannya.
Aku tidak berkomentar, menyeka keringat di pelipis.
“Borgol dia kembali.” Dia menyuruh salah satu petugas.
Aku terlonjak. Apa maksudnya?
“Bawa dia segara ke penjara.” Orang itu berkata tegas.
“Hei, hei.” Aku berusaha melawan, tapi gerakan dua polisi lebih cepat,
tanganku segera ditelikung ke belakang, borgol terpasang.
“Kau sudah berjanji akan membebaskanku!” aku berseru.
“Anggap saja aku suka melanggar janji, Thomas. Selalu menyenangkan
melakukannya.” Dia tertawa lagi. “Nah, terima kasih untuk dua hal.
Pertama untuk saran kau soal Liem. Kau memang konsultan yang hebat, aku
setuju, mungkin lebih baik membiarkan Liem berkeliaran di luar sana
sementara waktu. Setelah semua urusan kami selesai, siapa pun bisa
dengan mudah menangkap orang tua bangkrut. Kedua, untuk daftar aset ini,
Thomas. Kau baik sekali dengan kami.”
“Kau harus membebaskanku!” aku berteriak marah. “Kau membutuhkanku!”
“Buat apa lagi? Tidak ada lagi yang bisa kautawarkan.”
“Kalian, kalian membutuhkan orang yang bisa mengurus aset itu di luar
negeri. Kalian, kalian memerlukan dokumen-dokumen aset itu,
surat-menyurat. Aku tahu tempatnya!” aku berseru panik, menyebutkan apa
saja yang terpikirkan.
“Kami bisa mencari orang lain, Thomas. Yang
tidak selihai kau dalam urusan kabur atau menipu. Soal dokumen, itu bisa
kami cari di setiap jengkal rumah, kantor, properti milik Liem. Mudah
saja.”
“Tidak,” aku bergegas menggeleng, “dokumen-dokumen itu tidak
ada di mana-mana, dokumen itu disembunyikan di tempat yang tidak pernah
kalian pikirkan.”
“Oh ya? Dan kau tahu tempatnya?” Tertawa, dia
menoleh pada rekannya. “Sudah pukul sebelas malam, Wusdi, aku ada urusan
lain. Kau mau ikut?”
Rekannya mengangguk, melemparkan alat setrum
ke salah satu polisi. “Kalian kawal dia sampai dijebloskan dalam sel.
Setrum saja sampai pingsan kalau dia terus berusaha kabur.”
Mereka berdua bangkit, memukul dinding mobil, memberi kode ke sopir agar menepi.
Aku menggerung, berteriak, “Kalian membutuhkanku!”
Mobil taktis berhenti, pintu belakang terpentang lebar-lebar. Dua orang itu melangkah turun.
“Aku tahu tempatnya! Aku tahu di mana dokumen-dokumen itu.”
Mereka tidak mendengarkan, hanya santai melambaikan tangan.
“Dokumen-dokumen itu ada di kapal!”
Pintu belakang mobil taktis sudah berdebam ditutup kembali. Gelap.
Bintang tiga polisi dan jaksa senior itu sudah berpindah ke mobil lain, melesat pergi.
Aku tertunduk dalam-dalam.
Urusan ini kacau-balau sudah. Mereka mengambil daftar aset itu. Opa
pingsan, entah apa kabarnya sekarang, dan jadwal pertemuan jam sebelas
malam dengan nasabah besar Bank Semesta gagal total. Dan di atas
segalanya, lihatlah, tanganku terborgol, terenyak duduk tanpa daya di
dalam mobil yang melaju kencang menuju sel tahanan polisi.
Aku sungguh butuh skenario ajaib untuk memulihkan semua situasi.
Bersambung
**
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon