Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
MAGGIE meneleponku sebelum aku naik pesawat penerbangan kembali ke Jakarta. Dia baru saja mengirim e-mail daftar aset milik Om Liem dan grup perusahaan di luar negeri. Aku men-download dan membuka file penting itu lewat aplikasi telepon genggam sambil menunggu jadwal boarding.
Teringat sesuatu, aku menjeda proses aplikasi spreadsheet, memutuskan menelepon Ram.
“Kau ada di mana, Thom?” Ram bertanya.
Aku memakinya dalam hati. Sepanjang hari, entah dia yang menelepon atau
aku, dia selalu saja bertanya hal yang sama. Terlalu pencemas, terlalu
selalu ingin tahu, terlalu ingin semua terkendali.
“Aku di luar kota. Berhentilah bertanya aku di mana. Semua baik-baik saja, Ram.”
“Luar kota? Apa yang kaulakukan di sana, Thom? Bukankah kau baru dua jam lalu masih mengemudi di jalanan macet Jakarta?”
“Aku tiba-tiba kangen gudeg, Ram. Hanya makan malam, sekarang segera
kembali.” Aku menyengir, menatap sekitar, ruang tunggu terlihat ramai.
Penerbangan terakhir ke Jakarta selalu saja ramai.
“Eh?”
“Lupakan, Ram. Kau bisa membantuku? Ada hal penting yang harus kuurus.”
Aku segera fokus pada kenapa aku teringat untuk meneleponnya.
“Tentu, Thom. Apa saja yang kau minta akan kulakukan.”
“Baik. Kau bisa suruh salah satu stafmu, dia pasti punya daftar seratus
pemilik rekening terbesar di Bank Semesta, rekening individu, bukan
perusahaan. Suruh dia menelepon seluruh daftar itu, minta segera
berkumpul di salah satu hotel, kau bisa sewakan ruang pertemuan privat.”
“Eh, untuk apa, Thom.”
“Laksanakan saja, Ram. Jangan banyak tanya.” Aku menyergah. “Minta
seluruh pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam ini, tiga jam
lagi.”
“Astaga, bagaimana mungkin aku melakukannya?”
“Memangnya
kau tidak bisa menyuruh stafmu lembur sekarang? Ini darurat.” Aku
memotong. Bahkan Maggie sejak tadi pagi terus berada di posisinya
mendukungku. Aku awalnya hendak menyuruh Maggie, tapi dia pasti sedang
sibuk mengerjakan urusan lain. Ada banyak staf Bank Semesta yang bisa
disuruh.
“Bukan itu maksudku, Thom. Bahkan bisa saja aku sendiri
yang melakukan permintaanmu, daftarnya ada di hadapanku sekarang,
lengkap dengan kontak mereka. Tapi bagaimana mungkin kau menyuruh
pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam. Mereka punya
kesibukan. Mereka nasabah private banking, yang ada kita yang datang ke
rumah mereka selama ini, beramah-tamah.”
“Itu mudah, Ram.” Aku
mengusap pelipis, langit-langit ruang tunggu bandara terasa gerah,
pendingin udaranya tidak kuasa mengusir hawa panas. “Bilang ke mereka,
sistem penjaminan simpanan perbankan kita hanya melindungi rekening di
bawah dua miliar. Jika Bank Semesta hari Senin dinyatakan pailit,
ditutup bank sentral, semua rekening dengan nilai di atas itu akan
musnah seperti abu kertas dilempar di udara. Nah, sekarang, terserah
mereka, bersedia datang segera pukul sebelas di ruang pertemuan kita,
atau mereka akan membiarkan abu kertas itu berserakan di kaki mereka.”
Suara Ram hilang sejenak di seberang sana---bahkan helaan napas tidak terdengar.
“Apa yang sebenarnya sedang kaurencanakan, Thom?” Ram akhirnya berkomentar.
“Jangan banyak tanya dulu, Ram. Segera lakukan. Aku berani bertaruh,
mereka akan terbirit-birit datang. Kau segera kirimkan SMS padaku hotel
yang kaupilih. Nah, itu sudah terdengar pengumuman boarding, aku harus
segera masuk pesawat.”
Ram terdengar mengeluh sesuatu.
Aku berdiri, memutus percakapan.
Puluhan penumpang lain juga berdiri, bergegas mengisi antrean di depan petugas.
***
Satu jam lagi di langit.
Aku melangkah cepat melewati lorong bandara, pukul 21.30, pesawat sudah
mendarat beberapa menit lalu. Masih satu setengah jam dari jadwal
pertemuan yang kuminta dari Ram, tapi bergegas tiba lebih dulu di tempat
pertemuan lebih baik. Aku menyalakan telepon genggam. Ram seharusnya
sudah mengirimkan SMS lokasi pertemuan.
Baru saja loading telepon genggam selesai, satu panggilan masuk berbunyi.
Nomor telepon satelit milik Kadek.
“Pak Thom!” Kadek berseru, suaranya setengah panik, setengah lega.
“Saya telepon Pak Thom sejak satu jam lalu, tidak masuk juga.
Berkali-kali saya coba. Akhirnya.”
“Saya sedang di pesawat, Kadek,
telepon kumatikan. Ada apa?” Aku mendahului beberapa penumpang yang
asyik bicara sambil mendorong koper bagasi.
“Opa, Pak Thom. Opa semaput.”
Langkah kakiku tertahan.
“Kau bilang apa, Kadek?” Aku menelan ludah, ini berita buruk.
“Opa semaput, Pak Thom. Saya, saya pikir tadi saat Pak Thom dan yang
lain tiba, Pak Thom sudah membawa keperluan obat Opa. Di kapal sudah
sejak sebulan lalu stok insulin habis. Kadar gula Opa naik tajam, Opa
hampir pingsan. Saya sungguh minta maaf, lupa memberitahu, Pak Thom.”
“Posisimu di mana, Kadek?” Aku memotong kalimat cemas Kadek, sekaligus
mengusir selintas pikiran betapa bodohnya urusan ini. Seharusnya aku
juga menyadari sejak berangkat dari rumah peristirahatan, tas
obat-obatan Opa harus dibawa. Semua karena Rudi si bokser sialan.
Gara-gara pasukan kecil dia, aku melupakan detail kecil ini.
“Posisimu di mana sekarang, Kadek?” Aku mengulang pertanyaan, Kadek tidak segera menjawab.
“Eh, 106 derajat, 23 menit bujur timur, 05 derajat, 59 menit lintang selatan....“
“Bukan itu, Kadek!” aku berseru kencang, membuat penumpang lain yang
memadati lorong menuju lobi kedatangan bandara menoleh. Aku mengutuk
Kadek dalam hati. Dia pastilah sedang tegang mengemudi kapal. Dia
refleks menyebutkan posisi GPS kapal yang terlihat dari display kemudi.
“Kau berapa kilometer lagi dari Sunda Kelapa?”
“Maaf, Pak Thom,
sembilan belas kilometer lagi. Saya sudah berusaha secepat mungkin
kembali ke dermaga sejak Opa semaput. Saya menelepon, maksud saya, kalau
Pak Thom bisa menghubungi dokter Opa, atau siapa saja, menyuruh mereka
bergegas ke dermaga, biar Opa segera mendapat suntikan insulin persis
kapal merapat.”
“Ya, akan aku lakukan,” aku menjawab cepat.
“Syukurlah, Pak Thom. Aku akan mengebut sebisa mungkin ke dermaga.”
“Kau jangan panik, Kadek. Tetap terkendali, selalu berpikir jernih.
Paham?” Aku meneriakinya sebelum menutup telepon. Suara Kadek segera
hilang, dia telah kembali konsentrasi penuh pada kemudi kapal.
Aku
mendengus, bergegas membuka daftar kontak di telepon genggam. Kakiku
juga melangkah cepat menuju lobi kedatangan. Masih satu jam lebih
sebelum pukul sebelas malam. Jika jalanan kota tidak macet, aku bisa ke
dermaga sebelum menuju lokasi pertemuan, memastikan sebentar Opa
baik-baik saja. Di mana pula aku menyimpan nomor telepon dokter Opa.
Tidak kutemukan. Jangan-jangan aku tidak menyimpan nomor teleponnya.
Aku bergegas hendak menghubungi Maggie, dia bisa mencari tahu segera.
Kakiku sudah tiba di lobi kedatangan yang gaduh. Orang-orang berteriak,
karton bertuliskan nama, tawaran taksi, semua berkeliaran.
“Jangan bergerak!” Suara tegas dan dingin itu membekukan lobi kedatangan.
Enam, sepuluh, tidak, lebih dari belasan polisi dengan pakaian serbu
lengkap sudah mengepungku. Mereka bermunculan dari balik keramaian.
Senjata mereka teracung sempurna padaku.
Aku berdiri termangu, meneguk ludah.
Sebelum aku sempat bereaksi, bahkan berpikir harus melakukan apa, salah
satu dari mereka telah tangkas menyergap tanganku. Telepon genggamku
terjatuh. Aku terbanting duduk. Lututku terasa sakit menghantam keramik
lobi. Dalam hitungan detik saja, tanganku sudah terborgol.
“Berdiri!” Moncong senjata laras panjang menyodok punggungku.
Aku mengaduh pelan, patah-patah berusaha berdiri.
“Bergegas!” Dua petugas lain sudah kasar membantuku berdiri, tidak sabaran.
Aku menelan ludah.
“Jalan, Bedebah.” Wajah dibungkus kedok itu terlihat dingin, tanpa kompromi.
Aku mengangguk, melangkah menuju arah senjata teracung.
Situasi kali ini jauh lebih serius dibanding di rumah peristirahatan
Opa. Bukan karena jumlah mereka lebih banyak, bukan pula karena ratusan
mata penumpang yang baru turun, sanak keluarga atau teman penjemput,
sopir taksi, calo, bahkan tukang sapu pelataran bandara sibuk menonton,
berbisik satu sama lain. Tetapi karena ditilik dari pasukan ini, setelah
dua kali tertipu olehku, mereka bertindak lebih hati-hati dan penuh
perhitungan.
Belasan senjata masih terarah padaku, seolah takut aku
bisa melepas borgol seperti jagoan dalam film, lantas menggebuki mereka
satu per satu.
“Bergegas, atau kutembak kakimu.” Salah satu dari polisi membentak.
Aku mengembuskan napas, melangkah lebih cepat. Mereka menggiringku
menuju salah satu mobil taktis yang terparkir persis di depan lobi
kedatangan, membuat kemacetan.
Pintu mobil taktis terbuka lebar-lebar.
“Naik.” Popor senjata kembali menyodok perutku.
Aku mengeluh. Tidak, tidak bisakah mereka berhitung dengan situasi?
Dengan belasan polisi, aku pasti menuruti semua perintah, tidak perlu
dipaksa dengan kekerasan.
Sebaliknya, petugas polisi mendorongku kasar, aku untuk kedua kalinya tersungkur.
“Duduk!” Mereka membentak.
Aku bergumam sesuatu, patuh duduk.
Pintu mobil taktis ditutup segera, berdebam.
Empat polisi mengawalku di dalam, tetap dengan senjata teracung,
sisanya berlarian menaiki kendaraan lain. Suara sirene meraung, dengan
cepat rombongan mobil meninggalkan bandara, meninggalkan wajah-wajah
ingin tahu yang diterpa semburat cahaya lampu.
Lengang sejenak. Saling pandang.
Kesibukan bandara kembali gaduh dengan lenyapnya suara sirene di kejauhan.
***
“Selamat malam, Thomas.” Suara berat itu menyapa.
Aku menoleh, ternyata ada orang lain yang duduk di pojok mobil taktis
polisi. Dua orang. Remang cahaya lampu jalanan yang menelisik kisi-kisi
kaca membuatnya tidak terlihat jelas.
Tetapi aku sungguh mengenal mereka.
Jika saja aku tidak terlatih, tidak ingat situasinya, aku sudah loncat,
memukul, menendang, apa saja yang bisa kulakukan pada dua orang di
hadapanku. Tidak. Dalam mimpiku, beribu kali aku membayangkan situasi
ini. Beribu kali aku menulis jalan ceritanya. Aku selalu membayangkannya
dengan penuh kebencian. Tidak, aku akan menunggu saatnya tiba.
Aku menghela napas pelan, berusaha terkendali.
“Kau cukup hebat, Thomas.” Tertawa pelan.
“Cukup hebat kau bilang? Bajingan kecil ini sangat hebat, Kawan. Siapa
nama pemimpin pasukan paling tangguh milikmu itu? Rudi? Mudah saja
bajingan ini menghajarnya. Jangan lupa, kemarin malam dia kabur dari
penjagaan puluhan petugasmu, permisi menumpang lewat.” Rekan di
sebelahnya ikut tertawa.
“Jangan sebut nama pecundang itu di
depanku. Mulai besok, pecundang itu bertugas di perempatan lampu merah,
menjadi polisi pengatur lalu lintas.” Temannya melambaikan tangan.
Mereka berdua tertawa lagi.
Aku menggerung dalam hati, berusaha mati-matian tetap terkendali.
“Siapa kau sebenarnya, Thomas?” Mereka bertanya amat ramah, dengan intonasi seperti sedang menyapa teman karib lama.
Aku tetap bungkam.
“Namamu tidak ditemukan dalam daftar orang-orang kepercayaan Liem,
karyawan, staf. Juga dalam daftar keluarganya. Tidak ada. Bahkan namamu
tidak ada di penerima beasiswa, penerima bantuan, pihak terkait, apa
saja. Siapa kau sebenarnya, Thomas?”
Aku masih bungkam.
“Jangan-jangan kau bekas agen rahasia luar negeri yang baru saja
direkrut Liem untuk membantunya? Hebat sekali kau mengelabui kami.”
Rekannya tertawa. “Hentikan bualanmu, Kawan. Itu berlebihan. Nah, Thomas, siapa kau sebenarnya?”
Aku terus diam, menelan ludah, setidaknya aku diuntungkan satu hal,
mereka tidak tahu hubunganku dengan Om Liem. Sebaliknya, aku tahu sekali
siapa dua orang di hadapanku sekarang. Suara sirene terus meraung.
Konvoi mobil polisi terus menyibak jalanan tol yang cukup padat.
“Siapa kau, Thomas. Ayolah, jawab saja pertanyaan sederhana ini.” Suara
mereka berubah serius setelah dua menit hanya lengang aku tidak kunjung
menjawab.
Aku masih berpikir cepat, memikirkan berbagai kemungkinan.
Splash, suara kecil dan percik api terlihat di tengah remang.
“Kau tahu alat apa ini, Thomas. Ini efektif sekali dalam setiap
interogasi. Kau jawab, aku singkirkan alat ini. Kau berbelit-belit,
mungkin dua-tiga kali kuhujamkan di dada, leher, atau kepala bisa
membuat mulutmu terbuka lebar-lebar.”
Aku menatap jerih alat setrum di tangan salah satu dari mereka.
“Aku konsultan keuangan profesional.” Akhirnya aku bersuara.
Sia-sia, belum habis kalimatku, alat setrum itu telak menghujam
perutku. Rasanya seperti dicabik, seperti disengat, tidak bisa
dijelaskan. Aku berteriak, satu persen karena kaget, sisanya karena
sakit yang teramat. Membuat ruangan pengap mobil taktis sejenak terasa
beku.
“Jawaban yang salah, Thomas.” Mereka menatapku dingin. “Kami
lebih dari tahu kau konsultasn keuangan. Spesialis merger dan akuisisi.
Lulus dari dua sekolah bisnis ternama luar negeri. Kami tahu itu, bahkan
aku punya nama gurumu di sekolah berasrama. Siapa kau sesungguhnya,
Thomas?”
Suara itu tidak membentak, tapi itu lebih dari cukup.
Aku tersengal, masih dengan sisa sakit setrum di perut. Tetapi ada yang
lebih sakit, yang membuatku tersengal sesak bernapas. Lihatlah, bayangan
kejadian puluhan tahun silam telah sempurna kembali di kepalaku. Botol
susu yang tumpah di jalanan. Aku ingat sekali suara dan tatapan mereka.
Semua tetap sama.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon