Jumat, 24 Februari 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 18 - Seratus Nasabah Terbesar

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------



 MAGGIE meneleponku sebelum aku naik pesawat penerbangan kembali ke Jakarta. Dia baru saja mengirim e-mail daftar aset milik Om Liem dan grup perusahaan di luar negeri. Aku men-download dan membuka file penting itu lewat aplikasi telepon genggam sambil menunggu jadwal boarding.

Teringat sesuatu, aku menjeda proses aplikasi spreadsheet, memutuskan menelepon Ram.

“Kau ada di mana, Thom?” Ram bertanya.

Aku memakinya dalam hati. Sepanjang hari, entah dia yang menelepon atau aku, dia selalu saja bertanya hal yang sama. Terlalu pencemas, terlalu selalu ingin tahu, terlalu ingin semua terkendali.

“Aku di luar kota. Berhentilah bertanya aku di mana. Semua baik-baik saja, Ram.”

“Luar kota? Apa yang kaulakukan di sana, Thom? Bukankah kau baru dua jam lalu masih mengemudi di jalanan macet Jakarta?”

“Aku tiba-tiba kangen gudeg, Ram. Hanya makan malam, sekarang segera kembali.” Aku menyengir, menatap sekitar, ruang tunggu terlihat ramai. Penerbangan terakhir ke Jakarta selalu saja ramai.

“Eh?”

“Lupakan, Ram. Kau bisa membantuku? Ada hal penting yang harus kuurus.” Aku segera fokus pada kenapa aku teringat untuk meneleponnya.

“Tentu, Thom. Apa saja yang kau minta akan kulakukan.”

“Baik. Kau bisa suruh salah satu stafmu, dia pasti punya daftar seratus pemilik rekening terbesar di Bank Semesta, rekening individu, bukan perusahaan. Suruh dia menelepon seluruh daftar itu, minta segera berkumpul di salah satu hotel, kau bisa sewakan ruang pertemuan privat.”

“Eh, untuk apa, Thom.”

“Laksanakan saja, Ram. Jangan banyak tanya.” Aku menyergah. “Minta seluruh pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam ini, tiga jam lagi.”

“Astaga, bagaimana mungkin aku melakukannya?”

“Memangnya kau tidak bisa menyuruh stafmu lembur sekarang? Ini darurat.” Aku memotong. Bahkan Maggie sejak tadi pagi terus berada di posisinya mendukungku. Aku awalnya hendak menyuruh Maggie, tapi dia pasti sedang sibuk mengerjakan urusan lain. Ada banyak staf Bank Semesta yang bisa disuruh.

“Bukan itu maksudku, Thom. Bahkan bisa saja aku sendiri yang melakukan permintaanmu, daftarnya ada di hadapanku sekarang, lengkap dengan kontak mereka. Tapi bagaimana mungkin kau menyuruh pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam. Mereka punya kesibukan. Mereka nasabah private banking, yang ada kita yang datang ke rumah mereka selama ini, beramah-tamah.”

“Itu mudah, Ram.” Aku mengusap pelipis, langit-langit ruang tunggu bandara terasa gerah, pendingin udaranya tidak kuasa mengusir hawa panas. “Bilang ke mereka, sistem penjaminan simpanan perbankan kita hanya melindungi rekening di bawah dua miliar. Jika Bank Semesta hari Senin dinyatakan pailit, ditutup bank sentral, semua rekening dengan nilai di atas itu akan musnah seperti abu kertas dilempar di udara. Nah, sekarang, terserah mereka, bersedia datang segera pukul sebelas di ruang pertemuan kita, atau mereka akan membiarkan abu kertas itu berserakan di kaki mereka.”

Suara Ram hilang sejenak di seberang sana---bahkan helaan napas tidak terdengar.

“Apa yang sebenarnya sedang kaurencanakan, Thom?” Ram akhirnya berkomentar.

“Jangan banyak tanya dulu, Ram. Segera lakukan. Aku berani bertaruh, mereka akan terbirit-birit datang. Kau segera kirimkan SMS padaku hotel yang kaupilih. Nah, itu sudah terdengar pengumuman boarding, aku harus segera masuk pesawat.”

Ram terdengar mengeluh sesuatu.

Aku berdiri, memutus percakapan.

Puluhan penumpang lain juga berdiri, bergegas mengisi antrean di depan petugas.


***


Satu jam lagi di langit.

Aku melangkah cepat melewati lorong bandara, pukul 21.30, pesawat sudah mendarat beberapa menit lalu. Masih satu setengah jam dari jadwal pertemuan yang kuminta dari Ram, tapi bergegas tiba lebih dulu di tempat pertemuan lebih baik. Aku menyalakan telepon genggam. Ram seharusnya sudah mengirimkan SMS lokasi pertemuan. 

Baru saja loading telepon genggam selesai, satu panggilan masuk berbunyi.

Nomor telepon satelit milik Kadek.

“Pak Thom!” Kadek berseru, suaranya setengah panik, setengah lega. “Saya telepon Pak Thom sejak satu jam lalu, tidak masuk juga. Berkali-kali saya coba. Akhirnya.”

“Saya sedang di pesawat, Kadek, telepon kumatikan. Ada apa?” Aku mendahului beberapa penumpang yang asyik bicara sambil mendorong koper bagasi.

“Opa, Pak Thom. Opa semaput.”

Langkah kakiku tertahan. 

“Kau bilang apa, Kadek?” Aku menelan ludah, ini berita buruk.

“Opa semaput, Pak Thom. Saya, saya pikir tadi saat Pak Thom dan yang lain tiba, Pak Thom sudah membawa keperluan obat Opa. Di kapal sudah sejak sebulan lalu stok insulin habis. Kadar gula Opa naik tajam, Opa hampir pingsan. Saya sungguh minta maaf, lupa memberitahu, Pak Thom.”

“Posisimu di mana, Kadek?” Aku memotong kalimat cemas Kadek, sekaligus mengusir selintas pikiran betapa bodohnya urusan ini. Seharusnya aku juga menyadari sejak berangkat dari rumah peristirahatan, tas obat-obatan Opa harus dibawa. Semua karena Rudi si bokser sialan. Gara-gara pasukan kecil dia, aku melupakan detail kecil ini.

“Posisimu di mana sekarang, Kadek?” Aku mengulang pertanyaan, Kadek tidak segera menjawab.
“Eh, 106 derajat, 23 menit bujur timur, 05 derajat, 59 menit lintang selatan....“

“Bukan itu, Kadek!” aku berseru kencang, membuat penumpang lain yang memadati lorong menuju lobi kedatangan bandara menoleh. Aku mengutuk Kadek dalam hati. Dia pastilah sedang tegang mengemudi kapal. Dia refleks menyebutkan posisi GPS kapal yang terlihat dari display kemudi. “Kau berapa kilometer lagi dari Sunda Kelapa?”

“Maaf, Pak Thom, sembilan belas kilometer lagi. Saya sudah berusaha secepat mungkin kembali ke dermaga sejak Opa semaput. Saya menelepon, maksud saya, kalau Pak Thom bisa menghubungi dokter Opa, atau siapa saja, menyuruh mereka bergegas ke dermaga, biar Opa segera mendapat suntikan insulin persis kapal merapat.”

“Ya, akan aku lakukan,” aku menjawab cepat.

“Syukurlah, Pak Thom. Aku akan mengebut sebisa mungkin ke dermaga.” 

“Kau jangan panik, Kadek. Tetap terkendali, selalu berpikir jernih. Paham?” Aku meneriakinya sebelum menutup telepon. Suara Kadek segera hilang, dia telah kembali konsentrasi penuh pada kemudi kapal.

Aku mendengus, bergegas membuka daftar kontak di telepon genggam. Kakiku juga melangkah cepat menuju lobi kedatangan. Masih satu jam lebih sebelum pukul sebelas malam. Jika jalanan kota tidak macet, aku bisa ke dermaga sebelum menuju lokasi pertemuan, memastikan sebentar Opa baik-baik saja. Di mana pula aku menyimpan nomor telepon dokter Opa. 

Tidak kutemukan. Jangan-jangan aku tidak menyimpan nomor teleponnya.

Aku bergegas hendak menghubungi Maggie, dia bisa mencari tahu segera.

Kakiku sudah tiba di lobi kedatangan yang gaduh. Orang-orang berteriak, karton bertuliskan nama, tawaran taksi, semua berkeliaran.

“Jangan bergerak!” Suara tegas dan dingin itu membekukan lobi kedatangan.

Enam, sepuluh, tidak, lebih dari belasan polisi dengan pakaian serbu lengkap sudah mengepungku. Mereka bermunculan dari balik keramaian. Senjata mereka teracung sempurna padaku.

Aku berdiri termangu, meneguk ludah.

Sebelum aku sempat bereaksi, bahkan berpikir harus melakukan apa, salah satu dari mereka telah tangkas menyergap tanganku. Telepon genggamku terjatuh. Aku terbanting duduk. Lututku terasa sakit menghantam keramik lobi. Dalam hitungan detik saja, tanganku sudah terborgol. 

“Berdiri!” Moncong senjata laras panjang menyodok punggungku.

Aku mengaduh pelan, patah-patah berusaha berdiri.

“Bergegas!” Dua petugas lain sudah kasar membantuku berdiri, tidak sabaran.

Aku menelan ludah.

“Jalan, Bedebah.” Wajah dibungkus kedok itu terlihat dingin, tanpa kompromi.

Aku mengangguk, melangkah menuju arah senjata teracung.

Situasi kali ini jauh lebih serius dibanding di rumah peristirahatan Opa. Bukan karena jumlah mereka lebih banyak, bukan pula karena ratusan mata penumpang yang baru turun, sanak keluarga atau teman penjemput, sopir taksi, calo, bahkan tukang sapu pelataran bandara sibuk menonton, berbisik satu sama lain. Tetapi karena ditilik dari pasukan ini, setelah dua kali tertipu olehku, mereka bertindak lebih hati-hati dan penuh perhitungan. 

Belasan senjata masih terarah padaku, seolah takut aku bisa melepas borgol seperti jagoan dalam film, lantas menggebuki mereka satu per satu. 

“Bergegas, atau kutembak kakimu.” Salah satu dari polisi membentak.

Aku mengembuskan napas, melangkah lebih cepat. Mereka menggiringku menuju salah satu mobil taktis yang terparkir persis di depan lobi kedatangan, membuat kemacetan. 

Pintu mobil taktis terbuka lebar-lebar.

“Naik.” Popor senjata kembali menyodok perutku.

Aku mengeluh. Tidak, tidak bisakah mereka berhitung dengan situasi? Dengan belasan polisi, aku pasti menuruti semua perintah, tidak perlu dipaksa dengan kekerasan.

Sebaliknya, petugas polisi mendorongku kasar, aku untuk kedua kalinya tersungkur. 

“Duduk!” Mereka membentak.

Aku bergumam sesuatu, patuh duduk.

Pintu mobil taktis ditutup segera, berdebam.

Empat polisi mengawalku di dalam, tetap dengan senjata teracung, sisanya berlarian menaiki kendaraan lain. Suara sirene meraung, dengan cepat rombongan mobil meninggalkan bandara, meninggalkan wajah-wajah ingin tahu yang diterpa semburat cahaya lampu. 

Lengang sejenak. Saling pandang.

Kesibukan bandara kembali gaduh dengan lenyapnya suara sirene di kejauhan.



***

“Selamat malam, Thomas.” Suara berat itu menyapa.

Aku menoleh, ternyata ada orang lain yang duduk di pojok mobil taktis polisi. Dua orang. Remang cahaya lampu jalanan yang menelisik kisi-kisi kaca membuatnya tidak terlihat jelas. 

Tetapi aku sungguh mengenal mereka.

Jika saja aku tidak terlatih, tidak ingat situasinya, aku sudah loncat, memukul, menendang, apa saja yang bisa kulakukan pada dua orang di hadapanku. Tidak. Dalam mimpiku, beribu kali aku membayangkan situasi ini. Beribu kali aku menulis jalan ceritanya. Aku selalu membayangkannya dengan penuh kebencian. Tidak, aku akan menunggu saatnya tiba.

Aku menghela napas pelan, berusaha terkendali.

“Kau cukup hebat, Thomas.” Tertawa pelan.

“Cukup hebat kau bilang? Bajingan kecil ini sangat hebat, Kawan. Siapa nama pemimpin pasukan paling tangguh milikmu itu? Rudi? Mudah saja bajingan ini menghajarnya. Jangan lupa, kemarin malam dia kabur dari penjagaan puluhan petugasmu, permisi menumpang lewat.” Rekan di sebelahnya ikut tertawa.

“Jangan sebut nama pecundang itu di depanku. Mulai besok, pecundang itu bertugas di perempatan lampu merah, menjadi polisi pengatur lalu lintas.” Temannya melambaikan tangan.

Mereka berdua tertawa lagi.

Aku menggerung dalam hati, berusaha mati-matian tetap terkendali.

“Siapa kau sebenarnya, Thomas?” Mereka bertanya amat ramah, dengan intonasi seperti sedang menyapa teman karib lama.

Aku tetap bungkam.

“Namamu tidak ditemukan dalam daftar orang-orang kepercayaan Liem, karyawan, staf. Juga dalam daftar keluarganya. Tidak ada. Bahkan namamu tidak ada di penerima beasiswa, penerima bantuan, pihak terkait, apa saja. Siapa kau sebenarnya, Thomas?”

Aku masih bungkam.

“Jangan-jangan kau bekas agen rahasia luar negeri yang baru saja direkrut Liem untuk membantunya? Hebat sekali kau mengelabui kami.”

Rekannya tertawa. “Hentikan bualanmu, Kawan. Itu berlebihan. Nah, Thomas, siapa kau sebenarnya?”

Aku terus diam, menelan ludah, setidaknya aku diuntungkan satu hal, mereka tidak tahu hubunganku dengan Om Liem. Sebaliknya, aku tahu sekali siapa dua orang di hadapanku sekarang. Suara sirene terus meraung. Konvoi mobil polisi terus menyibak jalanan tol yang cukup padat.

“Siapa kau, Thomas. Ayolah, jawab saja pertanyaan sederhana ini.” Suara mereka berubah serius setelah dua menit hanya lengang aku tidak kunjung menjawab.

Aku masih berpikir cepat, memikirkan berbagai kemungkinan.

Splash, suara kecil dan percik api terlihat di tengah remang. 

“Kau tahu alat apa ini, Thomas. Ini efektif sekali dalam setiap interogasi. Kau jawab, aku singkirkan alat ini. Kau berbelit-belit, mungkin dua-tiga kali kuhujamkan di dada, leher, atau kepala bisa membuat mulutmu terbuka lebar-lebar.”

Aku menatap jerih alat setrum di tangan salah satu dari mereka.

“Aku konsultan keuangan profesional.” Akhirnya aku bersuara.

Sia-sia, belum habis kalimatku, alat setrum itu telak menghujam perutku. Rasanya seperti dicabik, seperti disengat, tidak bisa dijelaskan. Aku berteriak, satu persen karena kaget, sisanya karena sakit yang teramat. Membuat ruangan pengap mobil taktis sejenak terasa beku.

“Jawaban yang salah, Thomas.” Mereka menatapku dingin. “Kami lebih dari tahu kau konsultasn keuangan. Spesialis merger dan akuisisi. Lulus dari dua sekolah bisnis ternama luar negeri. Kami tahu itu, bahkan aku punya nama gurumu di sekolah berasrama. Siapa kau sesungguhnya, Thomas?”
Suara itu tidak membentak, tapi itu lebih dari cukup.

Aku tersengal, masih dengan sisa sakit setrum di perut. Tetapi ada yang lebih sakit, yang membuatku tersengal sesak bernapas. Lihatlah, bayangan kejadian puluhan tahun silam telah sempurna kembali di kepalaku. Botol susu yang tumpah di jalanan. Aku ingat sekali suara dan tatapan mereka. 
Semua tetap sama.


*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon