Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
AKU masih sempat meminta Maggie mencari data terakhir seluruh aset yang tercatat atas nama Om Liem secara pribadi maupun grup bisnis di luar negeri sebelum melintasi garbarata pesawat. Apa pun, deposito, tabungan, saham, properti, kapal, kepemilikan klub olahraga, aset bergerak maupun tidak bergerak. Cari semua data, Cina, Hongkong, Swiss, Inggris, di mana saja Om Liem pernah melakukan investasi. Itu pasti berguna. Maggie bilang dia bisa segera mengusahakannya. Aku mengangguk takzim, memasukkan telepon genggam ke saku jas.
Jas? Tentu saja.
Sebelumnya aku juga sempat mampir ke salah satu butik di ruang tunggu
keberangkatan domestik, membeli satu stel pakaian yang baik, berganti di
ruang pas. Sejak tadi malam aku belum berganti pakaian, urusan ini
bahkan membuatku belum tidur, belum makan, juga belum mandi. Penjaga
butik bingung saat melihatku keluar dari ruang pas dengan pakaian rapi,
langsung menuju meja kasir.
“Kau belum pernah melihat pembeli yang
langsung memakai baju yang dibelinya?” aku berkomentar santai,
mengeluarkan kartu kredit.
“Eh, bukan itu. Maaf.” Gadis itu salah tingkah.
Temannya menyikut lengan, menyuruhnya bergegas menyelesaikan transaksi.
Aku juga sempat mampir ke toko buku di sebelah butik itu, mencomot
sembarang buku paling mutakhir tentang perbankan, beberapa majalah
mingguan ekonomi terkemuka dunia, ditambah surat kabar sore berbahasa
Inggris. Hingga akhirnya final call penerbangan ke Yogyakarta terdengar
di langit-langit bandara. Tampilanku sudah lebih dari cukup meyakinkan.
Aku berjalan santai menuju gate enam, menyerahkan boarding pass, lantas
melintasi garbarata yang dipenuhi penumpang.
Pramugari tersenyum menyapa, “Seat nomor berapa?”
Aku membalas senyumnya, sambil menyebut nomor kursi.
“Silakan, Pak Thomas.” Sudah standar baku kelas eksekutif, pramugari
menghafal seluruh nama calon penumpang yang lima menit lalu diberikan
petugas ground handling.
Maggie benar, dua pejabat tinggi negara itu
sudah duduk di kursi masing-masing. Aku persis di seberang mereka,
terpisah lorong kecil. Kelas eksekutif yang hanya menyediakan dua belas
kursi terisi separuh. Aku duduk dengan rileks, memasang safety belt,
lantas membuka koran sore, mulai pura-pura membaca headline besar
tentang Bank Semesta.
Dua pejabat di sebelahku membicarakan sesuatu,
tertawa terkendali---nostalgia kampus lama mereka sepertinya, tempat
mereka besok mengisi kuliah umum. Pesawat mulai memasuki runaway. Dalam
hitungan detik, pilot menginformasikan pesawat siap take off, aku tetap
serius membaca koran sore, tidak peduli gerung pesawat yang terbang,
lepas landas.
Peraturan pertama: Jika kalian ingin menarik perhatian
seseorang (apalagi dua orang) dengan level yang sudah terlalu tinggi
dibanding kalian, lakukanlah dengan cara ekstrem.
Lima menit, lampu
safety belt sudah dipadamkan, pesawat sudah stabil di ketinggian,
pramugari yang selalu tersenyum sudah mengeluarkan trolley makanan menu
spesial kelas eksekutif.
“Bedebah!” aku berseru, memukul koran sore berbahasa Inggris di tanganku.
Pramugari bahkan hampir saja menumpahkan kopi dari tekonya. Penumpang
kabin eksekutif menoleh. Dan karena dua petinggi lembaga keuangan itu
persis di seberang lorongku, mereka orang pertama yang melongok padaku.
“Maaf, astaga, maaf aku sungguh tidak bermaksud demikian.” Aku
mengangguk penuh penyesalan pada pramugari, menoleh ke sebelah, menatap
mereka sambil menggeleng pelan.
“Maaf, aku sedang membaca berita,
lihat, astaga, apa yang mereka tulis di koran ini? Bank Semesta harus
diselamatkan, omong kosong. Tidak perlu pakar keuangan untuk tahu betapa
bobroknya bank ini. Pemiliknya penjahat, maling besar. Enak saja mereka
mengambil uang milik rakyat untuk menalangi, mengganti uang orang-orang
kaya yang boleh jadi membayar pajak saja tidak pernah.”
Aku menghela napas, benar-benar menyesal telah memaki di depan orang-orang berpendidikan.
Peraturan kedua: Dalam situasi frontal, percakapan terbuka, cara
terbaik menanamkan ide di kepala orang adalah justru dengan mengambil
sisi terbalik. Untuk sebuah kasus netral, yang boleh jadi orang tertentu
sudah memiliki pendapat dan keberpihakan, ketika dia masuk dalam
pembicaraan di mana salah satu pihak terlalu kasar, terlalu menyerang,
terlalu naif dan penuh kemarahan, orang yang telah memiliki pendapat
dengan cepat bisa jadi mengambil posisi berseberangan tanpa dia
sadari---dengan alasan mulai dari tidak mau kalah, ingin terlihat bijak,
hingga alasan lainnya.
Sesungguhnya kita semua bereaksi sama dalam
setiap percakapan, perdebatan, tidak peduli kalian pejabat tinggi
negara, eksekutif perusahaan besar, atau sekadar sopir angkutan umum
yang mangkal di perempatan atau pengangguran di kedai kopi.
Dua
petinggi lembaga keuangan itu masih menoleh padaku, menyelidik sejenak.
Ini detik yang krusial. Mereka bisa saja sekejap tidak tertarik
membahasnya. Urung, berpikir cermat, buat apa menanggapi makian rekan
satu pesawat, ada banyak yang harus dipikirkan, urus saja masalah
sendiri---peduli amat dengan tampilannya yang meyakinkan, buku keuangan
bestseller, majalah terkemuka yang berserak di pangkuan.
Aku harus segera bertindak sebelum dua orang di sebelahku ini kembali sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri.
“Ini benar-benar kacau-balau. Seharusnya pemerintah lebih tegas,
seharusnya bank sentral sejak enam tahun lalu sudah menutup bank ini.
Apa saja kerja mereka selama ini? Lihatlah, ribuan nasabah produk hibrid
investasi-tabungan bank ini terzalimi, uang mereka sekarang hilang
tidak ada yang mengganti. Andaikata sejak dulu sudah ditutup.” Aku
mengusap wajah, memasang wajah amat kecewa.
Nah, dengan kalimatku barusan, aku jelas sudah memecahkan bisul percakapan.
Inilah peraturan ketiga, peraturan paling penting: Dalam sebuah
skenario infiltrasi ide jangan pernah peduli dengan latar belakang lawan
bicara kalian. Konsep egaliter menemukan tempat sebenar-benarnya.
Bahkan termasuk ketika kalian wawancara pekerjaan misalnya, sekali
kalian merasa sebagai “orang yang mencari pekerjaan”, sementara mereka
yang menyeleksi adalah “orang yang memegang leher masa depan kalian”,
tidak akan pernah ada dialog yang sejajar, pantas, dan mengesankan.
Aku sudah memulai percakapan itu dengan pembukaan “gambit menteri” dalam
pertandingan catur. Maka hanya soal waktu, percakapan seru selama satu
jam itu bergulir.
“Tentu saja ini bukan semata-mata salah otoritas
pengawas. Dalam sistem paling baik sekalipun, ketika ada individu yang
memang sudah jahat dari awal, dia bisa mengakali banyak hal. Usaha
preventif, peringatan dini, peraturan-peraturan pencegahan, audit
berkala, itu semua menjadi sia-sia. Bahkan sebenarnya kita sudah punya
peraturan yang melarang kriminal menjadi direksi dan pemilik bank. Kita
selalu melakukan fit and proper test.” Petinggi bank sentral berusaha
menjelaskan dengan arif---meluruskan kalimat kasarku lima menit lalu.
Aku mengangguk mengamini.
“Situasi sekarang rumit, Thomas. Kau boleh jadi benar, kita sudah
seharusnya menutup Bank Semesta enam tahun lalu, ketika perekonomian
global tanpa riak, eskalasi masalah Bank Semesta juga masih kecil.
Sekarang orang-orang bicara tentang dampak sistemis. Bahaya kartu remi
roboh. Dalam situasi panik, otoritas bank sentral tidak mungkin
membiarkan satu bank jatuh, menyeret bank-bank lain, kami bertanggung
jawab penuh atas situasi itu. Nah, ketika situasi terburuk masih mungkin
terjadi, lebih bijak mengambil situasi buruk yang paling kecil
risikonya.” Lima belas menit berlalu, mereka sudah tahu namaku---demi
sopan santun pembicaraan, aku memperkenalkan diri.
“Tetapi
pemiliknya perampok besar, Pak. Bank Semesta, ibarat rumah, adalah rumah
perampok besar. Di mana letak rasa keadilannya?” Aku pura-pura masih
tidak terima, tiga puluh menit pembicaraan, gelas kopi kedua dari
pramugari terhidang.
Pejabat bank sentral tersenyum, menggeleng.
“Kau keliru, Thomas. Aku paham apa yang kaumaksud, anak muda seperti kau
terkadang terlalu emosional. Boleh jadi bank itu adalah rumah perampok,
tapi ketika dia terbakar di tengah angin kencang, musim kemarau krisis
dunia, kalau kita biarkan sendiri, apinya akan menjalar ke rumah-rumah
lain, bahayanya akan lebih besar lagi. Jadi pilihan terbaiknya boleh
jadi memadamkan api rumah itu dulu. Urusan menangkap rampok, mengambil
harta yang pernah dia rampok, tentu saja harus dilakukan sesuai koridor
hukum yang ada.”
Aku menghela napas, masih hendak membantah.
“Jangan lupakan satu fakta kecil, Thomas,” kepala lembaga penjamin
simpanan ikut menambahkan---dan otomatis dia pasti dalam posisi yang
sama dengan pejabat bank sentral, “kalaupun pemerintah memutuskan
memberikan talangan, dana itu diambil dari premi yang dikeluarkan
seluruh bank untuk tabungan, deposito, dan rekening lainnya milik
nasabah. Jadi itu bukan uang rakyat, itu persis seperti premi yang
dibayar pemilik kendaraan. Ketika ada satu kendaraan yang meminta klaim
rusak, atau bahkan hilang, itu diambil dari kumpulan uang premi yang
ada. Bukan uang rakyat, Thomas.”
Empat puluh lima menit berlalu,
sebentar lagi pesawat mendarat, hanya soal waktu tanda safety belt
kembali menyala. Dua petinggi lembaga keuangan itu sempurna sudah
“menguasai” pembicaraan, berhasil memberikan pemahaman yang baik
kepadaku tentang wisdom dan berhentilah kasar menilai. Kebijakan
bukanlah ilmu pasti, sepintar apa pun kau.
“Kita tidak tahu.
Belum.” Pejabat bank sentral menggeleng takzim. “Boleh jadi besok siang,
boleh jadi besok malam ketua komite stabilitas sistem keuangan akan
mengundang seluruh pihak. Komitelah yang paling berwenang memutuskan
apakah Bank Semesta akan di-bail out atau tidak. Situasinya bergerak
cepat sekali. Dua hari lalu kita masih merahasiakan banyak hal. Hari ini
seluruh media massa seperti sudah tahu rilis terbaru dari kami. Oh iya,
rasa-rasanya aku pernah bertemu denganmu, Thomas?”
Aku ikut
tertawa. “Mungkin kita pernah satu pesawat, Pak. Bapak waktu itu juga
pernah melihat anak muda yang mengeluarkan makian.”
Mereka berdua tertawa.
Lampu safety belt menyala. Pesawat yang kami tumpangi siap mendarat.
Satu-dua kalimat basa-basi penutup percakapan. “Terima kasih banyak atas
pembicaraan yang hebat ini, Pak. Aku jadi memahami banyak hal.” Aku
mengangguk. Mereka tersenyum.
Di lorong garbarata turun dari
pesawat, gubernur bank sentral sempat menepuk bahuku. “Aku tidak mungkin
salah. Aku pernah bertemu denganmu, Thomas. Kau ikut hadir di konvensi
perbankan Jenewa, bukan? Kau bedebah, eh maksudku anak muda yang
berkelas, Thomas. Esok lusa, siapa tahu jika kau tertarik menjadi
pejabat publik, kau bisa menjadi pejabat yang lebih baik, berani, dan
taktis dibanding kami. Ini antara kau dan aku saja, dulu waktu masih
sibuk mengajar di kampus, kami selalu memanggil mahasiswa paling pintar
dengan sebutan bedebah. Kalimat makianmu tadi mengingatkanku banyak
hal.”
Nah, inilah peraturan kelima, terkadang kita butuh
keberuntungan, aku tidak menduga kata “bedebah” itulah kunci terbaik
percakapan kami. Aku bergegas menggeleng. “Tidaklah, Pak. Saya harus
belajar banyak mengendalikan emosi bahkan sebelum memikirkan tentang
kemungkinan itu.”
Mereka berdua hilang di lobi bandara yang ramai.
Aku bergegas kembali menuju loket penjualan tiket.
“Satu tiket penerbangan ke Jakarta malam ini.”
“Kelas eksekutifnya penuh.”
“Aku harus kembali ke Jakarta segera. Apa saja, tiket bergelantungan, bahkan tiket duduk di toiletnya saja tidak masalah.”
Gadis yang menjaga loket tertegun sejenak.
“Aku hanya bergurau. Kau bergegas.”
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon