Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
Setelah penjelasan sepotong masa laluku pada Julia, dan dia akhirnya bersedia kembali mengemudi, kami melangkah menuju mobil.
Sialnya, tingga empat langkah lagi dari pintu mobil, tiba-tiba tanpa
kami sadari merapat mobil patroli tol. Petugas di dalamnya menekan
klakson, lampu di atas kap mobil patroli menyala kerlap-kerlip, mereka
parkir persis di belakang mobilku, lantas turun sambil merapikan seragam
dan pistol di pinggang.
“Selamat siang.” Dua orang petugas mendekat.
Aku menelan ludah. Sedikit terperanjat dengan kedatangan mereka.
Berusaha berpikir cepat bagaimana segera kabur sebelum mereka
bertanya-tanya.
“Mobil kalian mogok?” Salah satu petugas lebih dulu bertanya.
Ini situasi biasa yang rumit. Biasa, karena lazim saja ada mobil yang
berhenti di jalur darurat. Aku menggeram, bisa saja aku mengarang
mobilku mogok, ada kerusakan, tapi semakin lama kami tertahan, semakin
panjang dialog dan cerita, mereka punya kesempatan bertanya hal lain,
urusan menjadi rumit. Mereka akan meminta identitas, surat izin
mengemudi, bahkan mulai mengarang-ngarang kesalahan. Lebih sial lagi
kalau mereka jadi tahu aku buronan polisi sejak tadi malam.
“Mobil
kalian bermasalah? Rusak?” Petugas bertanya sekali lagi, tinggal dua
langkah. Yang satu malah mengambil inisiatif melongok-longok memeriksa
mobil.
Aku mendesah, terus berpikir mencari alasan. Kami harus segera kabur.
“Dasar lelaki tidak berguna.” Julia sudah berteriak lebih dulu sebelum aku memutuskan mengambil langkah apa pun.
“Berapa kali kau ketahuan selingkuh, hah? Berapa kali, Pengkhianat?” Julia berteriak sambil mendorong dadaku, wajahnya marah.
“Eh?” Aku bingung sejenak, berusaha menyeimbangkan diri---hampir saja terjatuh.
“Kalau begini terus aku minta cerai saja, cerai!” Julia sudah pura-pura hendak menangis.
Aku menggaruk kepala, dengan cepat mengerti apa yang sedang dilakukan Julia.
Dua petugas patroli saling pandang, menelan ludah, urung bertanya lebih lanjut.
“Aku tidak tahan lagi. Tidak tahan.” Julia berteriak seperti wanita sedang emosi tinggi.
“Kau keliru, Sayang. Aku sudah berubah, lihatlah.” Astaga, entah apa
yang ada di kepalaku, sekejap kemudian aku mengikuti mentah-mentah
skenario Julia, mulai berakting macam dua pasangan yang sedang
bertengkar, berusaha membujuknya agar tenang.
“Kau penipu. Sekali penipu tetap penipu.”
“Sungguh, Sayang. Aku sudah banyak berubah.”
“Kau lelaki pendusta, Fernando.” Julia berteriak parau, dan PLAK! Gadis itu telak menampar pipiku.
Dua petugas patroli bahkan berseru tertahan, sedikit kaget. Salah tingkah harus melakukan apa.
“Aku akan pergi jauh. Jangan kau ikuti aku.” Julia sudah membuka pintu mobil, masuk.
“Tunggu, Esmeralda.” Aku terpincang, berusaha menyusul.
Tentu saja Julia akan menungguku---meski mobil sudah menderum dinyalakan.
“Tunggu!” Aku masuk ke dalam mobil, menutup pintu.
Sedetik, mobil melesat bagai peluru meninggalkan dua petugas patroli yang hanya bisa terpana.
Menggaruk kepala, saling tatap bingung, dua petugas patroli akhirnya
mengangkat bahu, menghela napas panjang. Bergumam satu sama lain,
ternyata mobil keren ini menepi karena penumpangnya, suami-istri bernama
Fernando dan Esmeralda sedang bertengkar, tidak ada yang serius. Mereka
tidak berselera mengejar, kembali masuk ke dalam mobil patroli, melaju
seperti biasa.
“Kau seharusnya tidak menamparku sekencang itu.” Aku
meringis, meraba pipi sebelah kiri yang masih terasa pedas. “Seumur-umur
aku belum pernah ditampar wanita.”
“Aku harus sungguh-sungguh,
Thom. Biar mereka tidak curiga.” Julia menoleh sebentar, tertawa, lantas
kembali konsentrasi penuh, mobil melesat cepat menuju Waduk Jatiluhur.
***
“Kakimu masih sakit?” Julia bertanya, mobil sudah keluar dari pintu
tol, memasuki jalanan menuju Waduk Jatiluhur. Setelah sepanjang pagi
cerah, sejak sepuluh menit lalu mendung menggelayut malas di langit.
Orang-orang berlari kecil, bergegas menyelesaikan urusan sebelum
telanjur hujan deras.
“Sudah lumayan.” Aku meluruskan kaki, melirik
pergelangan tangan, hampir pukul dua belas siang. Aku sudah
menyelesaikan membaca beberapa bundel dokumen, menandai begitu banyak
hal menarik.
Dengan kecepatan tinggi, hanya butuh setengah jam
menuju rumah peristirahatan Opa dari tempat kami berhenti di jalur
darurat tol.
Tadi Julia menyuruhku menelepon rumah, memberitahu
mereka. Saran baik yang sia-sia, Opa menolak memasang telepon di
rumahnya. “Orang tua ini tidak mau diganggu siapa pun.” Demikian
jawabnya kalem. Dia juga tidak terbiasa menggunakan telepon genggam. Aku
pernah membelikannya telepon genggam paling mutakhir, agar lebih mudah
dihubungi. Esok hari, Opa tega menggunakannya untuk mengganjal salah
satu kaki kursi santainya. “Nah, dia lebih bermanfaat sekarang, Tommi.”
Opa terkekeh, duduk menatap cahaya matahari senja menerpa waduk,
melambaikan tangan. Aku hanya bisa mendengus kesal, itu telepon mahal.
Aku juga tidak bisa menghubungi Om Liem, karena dia tidak sempat
membawa telepon genggamnya semalam. Aku tidak bisa memberikan peringatan
ke rumah itu agar segera menyingkir. Dengan semua kemungkinan terbuka,
aku memutuskan menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mempelajari
dokumen yang diberikan Maggie. Ini jelas lebih berguna dibanding
bergumam resah menyuruh Julia lebih cepat lagi. Sama halnya ketika
kalian terjebak macet, daripada memaki, resah, sebal, yang jelas-jelas
tidak akan membuat kemacetan jadi terurai, maka lebih baik membaca
sesuatu atau tidur.
“Belok kiri atau lurus?” Julia bertanya.
Kami hampir tiba.
“Terus, hingga habis jalan raya.” Aku menjawab pendek, melempar dokumen.
Mobil yang dikemudikan Julia melambat.
Aku menghela napas lega. Tidak ada keramaian di depan gerbang pagar.
Juga tidak ada mobil-mobil atau polisi yang mengepung di halaman rumah.
Lengang. Gerimis semakin deras.
“Langsung ke halaman belakang.” Aku menyuruh Julia terus.
Satu menit, mobil terparkir rapi, aku dan Julia turun, berlari-lari kecil menuju teras belakang.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan dapur. Kosong. Bahkan pembantu yang biasanya menyiapkan makanan untuk Opa tidak terlihat.
Aku memandang sekitar. Ini lengang yang ganjil. Opa juga tidak ada di
ruangan besar tempat dia berlatih musik. Aku menyeka rambut yang basah.
Hujan seperti ini boleh jadi Opa sedang tidur. Om Liem boleh jadi juga
beristirahat setelah dua puluh jam terakhir tidak tidur.
“Jangan bergerak.” Terdengar suara mendesis.
Langkah kakiku melintasi ruangan tengah terhenti. Juga langkah Julia.
Kami berdua sempurna mematung.
Enam polisi dengan rompi antipeluru, bersenjata lengkap, muncul bagai
hantu dari balik lemari, sofa, pot besar, bahkan kerai jendela. Wajah
mereka tertutup topeng. Mata menatap tajam, berkilat.
Dua polisi
dengan cepat meringkusku, aku terbanting duduk. Mereka menelikung
tangan, memasangkan borgol. Dua polisi lain juga memegang tengkuk Julia,
cepat menguasai situasi sebelum kami sempat bereaksi apa pun---bahkan
sekadar mendengus.
Lututku terasa sakit menghantam lantai, aku
mengeluh sambil mengutuk dalam hati. Bodoh. Seharusnya aku segera kabur
sejak menginjak dapur belakang. Rumah ini terlalu sepi. Ada sesuatu yang
telah terjadi. Benar-benar bodoh. Tentu saja mereka sengaja
menyembunyikan mobil patroli, kendaraan polisi atau apa pun di halaman.
Jika aku melihatnya, aku pasti berputar arah. Setelah tahu lokasi
ambulans dari GPS tracking rumah sakit, mereka pasti sengaja mengirim
pasukan taktis kecil yang tidak menarik perhatian untuk menangkap Om
Liem, lantas menungguku kembali.
“Jalan!” Salah satu polisi kasar menyuruhku berdiri.
Julia hendak protes, tapi moncong senjata terarah ke wajahnya. Membuatnya bungkam.
Aku menelan ludah. Ini berlebihan. Kami bukan teroris, kami juga bukan
kriminal seperti pembunuh, psikopat, atau kejahatan besar lainnya. Tidak
bisakah mereka mengirim pasukan yang lebih ramah.
“Bergegas!” Polisi di belakangku justru menyodokkan moncong senjatanya.
Aku menahan sakit, meringis.
Mereka menggelandang kami masuk ke salah satu kamar. Di sana sudah ada
Opa dan Om Liem. Nasibnya sama, diborgol. Duduk di kursi rotan.
“Lapor, Bos, semua sasaran telah tertangkap.” Samar-samar aku mendengar percakapan di belakang.
“Kita bergerak sekarang?”
“Tahan dulu. X2 sedang dalam perjalanan, dia sendiri yang akan membawa
sasaran, langsung kembali menuju markas, konferensi pers sedang
disiapkan.”
Aku menelan ludah, menatap wajah Om Liem yang datar,
tertunduk. Opa terlihat tenang, bahkan tersenyum kepadaku. Julia yang
terus protes ke polisi yang mendorong-dorongnya, tapi dia tidak bisa
berteriak, apalagi menampar polisi macam menampar “Fernando” sebelumnya.
Julia berkumur-kumur, bilang dia punya hak membela diri. Sial, polisi
justru tambah kasar mendorongnya.
Satu polisi meletakkan dua kursi rotan. Menyuruh kami duduk. Aku menurut.
“Semua area sudah diamankan, Bos. Delapan yang lain disekap di kamar
depan, sepertinya mereka bukan sasaran utama, hanya pekerja biasa.”
Polisi yang menyergap kami terlihat bicara dengan seseorang yang masuk
ke kamar. Mungkin dia komandan pasukan spesialis ini, berpakaian sipil,
rompi antipeluru, kacamata hitam besar, dan topeng serbu.
“Bagus.
Kalian terus berjaga di kamar. Pastikan tidak ada celah mereka kabur.”
Orang itu mengangguk, menyibak anak buahnya, melangkah mendekati empat
kursi rotan yang dibariskan di tengah kamar.
Aku mendongak, berusaha mencari tahu.
Orang itu justru berhenti persis saat kami saling tatap.
Aku tidak mengenalinya, kacamata hitam dan topeng serbu membuat wajahnya tidak terlihat.
Lengang sejenak. Orang itu tetap berdiri, diam, lima langkah dariku.
“Kalian berjaga di luar kamar.” Orang itu berseru pada anak buahnya.
Enam polisi menoleh, bingung. Bukankah mereka tadi disuruh berjaga di sini?
“Bergegas! Ini perintah.” Orang itu membentak.
Enam polisi bersenjata lengkap tanpa menunggu, langsung bergerak ke
pintu. Meninggalkan empat kursi rotan dengan empat pesakitan di atasnya.
Lengang sejenak, hujan turun semakin deras.
Komandan polisi itu menatapku, menghela napas panjang.
Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ini benar-benar kejutan, Thom.” Suara galak orang di depanku berubah
datar, dia melepas kacamata hitam dan topengnya. “Aku sama sekali tidak
tahu kalau ternyata harus menangkapmu, Thomas.”
Aku berseru setengah tidak percaya, “Rudi!”
“Ini sungguh kejutan atau boleh jadi lelucon.” Rudi merapikan
rambutnya, wajahnya juga terlihat setengah tidak percaya. “Astaga,
kenapa kau ada di sini, Thom? Bukankah kau hanya seorang konsultan
keuangan yang baik? Seorang gentleman yang berpendidikan, kaya, dan
berpengaruh. Menulis banyak kolom di media massa, dianggap anak muda
yang berhasil. Semua teman di klub bertarung bilang, kau anggota yang
baik, petarung yang hebat, dengan kehidupan yang lurus. Kenapa aku di
siang ini, di tengah hujan deras, harus menangkapmu, Thomas? Menangkap
salah satu petarung terbaik klub. Menangkap teman terbaikku selama ini.”
“Kau harus melepaskanku,” aku berseru. “Kau harus segera melepaskan
aku, Rudi.”---bergegas menurunkan intonasi suara, meski hujan deras
membuat percakapan samar, boleh jadi enam anak buah Rudi di luar kamar
mendengar.
Rudi diam sejenak, menatapku lamat-lamat.
“Dia,” Rudi perlahan menunjuk Om Liem, “siapanya kau? Kerabat?”
Aku mengangguk cepat.
“Kau yang membantunya kabur semalam? Kabur begitu saja, seperti anak
kecil yang main petak umpet. Membuat puluhan polisi dan perwira terancam
dimutasi ke daerah terpencil.” Rudi bertanya.
Aku mengangguk lagi.
“Astaga, Sobat.” Rudi separuh hendak tertawa, separuh hendak menepuk
pelipisnya. “Urusan ini benar-benar celaka. Kau tahu, aku bahkan
ditelepon langsung oleh X2 untuk membereskan masalah ini. Bilang pasukan
komando khususku harus bergerak cepat, tanpa ampun, dan diotorisasi sah
menggunakan apa saja untuk menangkap kalian. Ternyata aku menangkapmu,
Thomas.”
“Kau harus melepaskanku, Rudi.” Aku berseru agak kencang,
memotong kalimat Rudi, waktu kami terbatas, jika percakapan salah satu
anak buah Rudi tadi benar, hanya hitungan menit X2 akan tiba di rumah
peristirahatan Opa. Aku tahu apa maksud kode X2, penunjuk hierarki yang
ada.
Rudi mendekatiku, jaraknya tinggal dua langkah.
“Kau keliru menangkap orang, Rudi. Bukan aku penjahatnya.” Aku mendesak.
“Tentu saja semua ini keliru, Thomas. Belasan tahun aku menjadi
perwira, aku tahu banyak hal keliru yang dibiarkan terjadi.” Rudi
bergumam resah, dia menggelengkan kepala. “Astaga, kau tahu briefing
lewat telepon yang diberikan padaku saat menuju tempat ini? Sasaran
kalian bersenjata berat, licik, dan mematikan. Sepertinya mereka lebih
menyuruh kami menembak di tempat dibandingkan menangkap hidup-hidup.”
“Hentikan basa-basinya, Rudi! Kau harus melepaskan kami segera, atau
tidak ada waktu lagi!” Untuk kedua kalinya aku memotong kalimat.
“Ini tidak mudah, Thom.” Rudi mengusap wajahnya.
“Kau bisa mengarang kejadian apa pun, Rudi.”
“Tentu saja aku bisa. Tapi dengan X2 menuju kemari, ini tidak mudah. Aku bisa membahayakan seluruh karierku demi kau.”
Aku menatap wajah Rudi, kau harus melakukkannya, Rudi.
Rudi menyisir rambutnya dengan jemari. “Kau benar-benar sialan, Thomas.
Semalam kau memukulku jatuh di lingkaran merah, membuatku ditertawakan
anggota klub, siang ini kau merengek padaku untuk meloloskanmu. Kalau
saja kau bukan teman baikku, petarung penuh respek, dari tadi aku justru
hendak meninju wajah sialanmu ini. Berikan aku waktu untuk berpikir.”
“Segera, Rudi! Segera!” Aku mendesis.
“Biarkan aku berpikir, Thom.”
Aku menggeleng, tidak ada waktu lagi.
“Kau bisa diam dulu tidak, Thom!” Entah kenapa, tiba-tiba Rudi
berteriak kencang---yang pastilah kali ini didengar anak buahnya di
luar. Salah satu dari mereka mendorong pintu kamar.
Dan dalam
hitungan sepersekian detik, Rudi sudah meninju wajahku. Telak. Aku
terjengkang, kursi rotanku terpelanting, tubuhku berdebam jatuh. Demi
melihat itu, Julia berteriak kencang---lupa kalau tadi dia juga
menamparku sungguh-sungguh di jalur darurat tol.
Om Liem ikut berseru panik. Opa menghela napas.
“Diam, Bedebah! Kau tidak boleh melawan petugas. Jangan pernah
sekali-kali.” Rudi sudah berteriak kalap, jongkok, kasar menarik badanku
berdiri.
Darah segar mengalir dari hidungku, aku tersengal untuk
dua hal, kaget karena tiba-tiba ada bogem mentah menghajarku, dua karena
hidungku sakit sekali.
Enam anak buah Rudi masuk ke dalam kamar,
berbisik satu sama lain, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Hujan semakin deras, cahaya kilat membuat terang semesta, guntur
menggelegar enam detik kemudian.
“Kau ikuti semua permainannya,
Thom. Dan kita lihat, apakah aku bisa meloloskan kau dari sini atau
tidak.” Rudi berbisik di tengah suara guntur, tangannya masih menjambak
rambutku.
Aku bergumam setengah putus asa. Permainan apa? Dia jelas
tidak sedang berusaha membantuku lolos, dia sedang membalaskan
pertarungan tinju kami semalam.
*bersambung
-----
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon