Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
JULIA membanting setir ke kiri, menginjak rem sekuat yang dia bisa. Mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi segera terbanting, berdecit panjang, membuat ngilu kuping. Roda mobil membuat bekas panjang di jalur darurat tol, hingga akhirnya berhenti sebelum terlempar keluar jalan. Beberapa mobil di belakang yang kaget dengan aksi Julia menekan klakson panjang, mengumpat dari balik jendela.
“Kau gila! Apa yang kaulakukan?” Aku ikut mengumpat.
“Kau yang gila, Thom.” Julia balas berseru, napasnya tersengal.
Kami baru saja belasan kilometer meninggalkan Jakarta. Masih enam puluh
kilometer lagi sebelum Waduk Jatiluhur. Sejak dari pintu tol, Julia
bertanya, ke mana persisnya tujuan kita? Mendesak. Sementara aku
berusaha menelepon Maggie, memastikan dia baik-baik saja atau tidak.
Kesal karena Julia terus bertanya, aku menjawab apa adanya.
“Aku
tidak mau mengantarmu ke tempat persembunyian Om Liem.” Julia dengan
napas tersengal, turun dari mobil, membanting pintu, berjalan ke
rerumputan pinggir tol.
“Astaga, Julia, kau pikir kita akan ke mana,
hah? Pergi ke restoran, lobi hotel, mencari tempat yang cozy untuk
interviu? Kau bertanya apa yang terjadi, Thom? Lantas aku menjawab,
baiklah, Julia, kaudengarkan baik-baik. Begitu, hah?” Aku ikut turun,
melangkah pincang mendekatinya.
Tol luar kota ramai. Satu-dua mobil
lewat tidak terlalu memedulikan kami. Hanya mogok biasa---demikian sudut
mata penumpang melintas menyimpulkan. Satu-dua malah bergumam, mobil
keren-keren ternyata mogok juga.
“Aku tidak mau mengantarmu.” Julia menggeleng.
“Kau harus mengantarku!” Aku berteriak kesal, menunjuk kakiku yang masih pincang.
“Ini berlebihan. Aku tidak mau terlibat melarikan buronan kelas kakap.”
“Kau sudah terlibat, Julia. Persis saat kau penuh dengan rasa penasaran
mengaduk-aduk masa laluku. Dan jelas kau sudah menyetir mobil sejauh
ini. Kau sudah terlibat. Lagi pula bukankah kau sudah bisa menduga sejak
awal, aku yang melarikan Om Liem semalam. Mau atau terpaksa, dengan
memecahkan alarm kebakaran gedung, kau sudah memutuskan terlibat.”
Julia membungkuk, mendengus, dia masih berusaha mengendalikan diri.
“Ayolah, Julia. Ini tidak buruk. Hei, bukankah wartawan perang bertaruh
dengan risiko tertembak saat menyiarkan langsung dari lapangan. Nah,
anggap saja kau juga punya risiko disangka terlibat. Lagi pula, kau bisa
mengarang banyak argumen, aku memaksa, kau dibawah ancaman. Sebagai
gantinya, aku akan menceritakan semuanya. Kau akan tahu banyak hal.”
Julia berdiri, menarik napas panjang.
Satu mobil yang melintas melambat, menekan klakson. Aku melambaikan
tangan, mengacungkan jempol, semua oke, tidak perlu dibantu. Mobil itu
melaju lagi. Sekarang hampir pukul dua belas, meski matahari terik
membakar ubun-ubun, bukit hijau menghampar sejauh mata memandang membuat
sejuk suasana. Rerumputan pinggir jalan tol terpangkas rapi, aromanya
menyegarkan.
“Aku tidak mau terlibat, Thom.” Julia menggeleng.
“Astaga, kau harus mengantarku. Aku tidak bisa mengemudi dengan kaki pincang.”
Julia menggeleng untuk kesekian kali.
“Baiklah, jika ini yang ingin kauketahui. Aku tidak akan menutupinya.”
Aku meremas rambut, setengah sebal menatapanya. “Om Liem melanggar
banyak regulasi, itu benar. Dia ambisius, memanfaatkan banyak koneksi
untuk memuluskan bisnisnya, dan begitu banyak kejahatan lainnya, itu
benar. Dia jelas bedebah. Tapi aku baru semalam menyadari kalau ada yang
keliru dengan rencana penutupan Bank Semesta. Ada bedebah yang lebih
jahat lagi di luar sana. Om Liem sudah berjanji akan mengganti seluruh
uang nasabah, tidak akan mengunyah satu perak pun uang mereka. Tapi aku
butuh waktu untuk menghukum orang-orang di balik semua ini. Berikan aku
waktu dua hari. Aku punya rencana, kami tidak akan tertangkap. Kau hanya
perlu bersabar, membantuku, maka dua hari berlalu, kau akan mendengar
seluruh cerita, penjelasan. Bahkan boleh jadi kau bisa merangkaikan
sendiri banyak hal tanpa perlu kuceritakan lagi. Percayalah. Setidaknya
percayalah dengan Thomas, janji seorang petarung.”
Aku memegang lengan Julia.
“Nah, kau bersedia mengantarku segera ke Waduk Jatiluhur? Waktu kita
terbatas, aku khawatir mereka lebih dulu tiba, dan semuanya menjadi
berantakan.”
Julia masih menatapku ragu-ragu---bahkan antusiasme
mengemudi mobil balap barusan hilang hanya karena kalimat pendekku
menjawab pertanyaannya. “Kita ke tempat persembunyian Om Liem.”
Aku
menghela napas. “Baiklah, akan kuceritakan kau sepotong kejadian masa
lalu. Kaudengarkan baik-baik. Setelah ini, terserah kau mau membantuku
atau tidak. Tapi jika kau memutuskan membantu, ini terakhir kali aku
bercerita hingga hari Senin. Setelah ini, jangan banyak bertanya lagi.
Kau paham, Julia?”
Gadis itu tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Hanya bersiap mendengarkan.
***
Dua puluh tahun lebih, di masa silam.
BRAK! Suara keributan di halaman rumah terdengar.
“Kapan, Koh? Kapan? Sudah enam bulan!” Terdengar teriakan marah.
“Iya, kapan? Kalau begini terus, kami lebih baik mengambil semua uang kami.” Seruan-seruan lain menimpali, tidak kalah galak.
Papa berusaha menjelaskan. Dipotong lagi. Teriakan-teriakan marah. Mereka memukul-mukul meja-kursi, mulai tidak terkendali.
Aku takut-takut melangkah ke depan. Opa mengikuti di belakangku.
Menelan ludah melihat halaman rumah, cepat sekali, ternyata sudah ada
puluhan orang berkumpul. Dua kali lebih banyak dibanding setengah jam
lalu.
“Bapak-Bapak, Liem saat ini ada di pelabuhan. Dia sebentar
lagi akan membawa kabar baik. Bunga uang arisan Bapak-Bapak akan segera
kami bayarkan. Juga buat yang ingin sekalian mengambil pokoknya. Akan
kami bayarkan semuanya.” Papa berusaha meningkahi seruan marah.
“Kami ingin kepastian sekarang, Koh. Bukan janji-janji lagi. Sekarang!”
“Iya! Muak kami mendengar janji-janji.”
Aku menelan ludah, mengintip dari balik tirai jendela.
Enam bulan lalu, setelah hampir dua tahun bisnis keluarga kami melesat
cepat, untuk pertama kalinya, sepulang dari gudang, wajah Om Liem
terlipat. Dari samar-samar percakapannya dengan Papa dan Opa, aku tahu,
salah satu kapal kami tertahan di pelabuhan. Petugas bea cukai menuduh
muatan itu ilegal, dan hendak menyitanya. Om Liem berhari-hari
mengurusnya, bilang dia mengeluarkan uang besar sekali untuk meloloskan
muatan. “Padahal semua dokumen sudah lengkap.” Om Liem mengusap peluh di
dahi. “Kau mungkin melupakan beberapa pejabat?” Opa bertanya pelan,
mendongak menatap langit-langit. “Tidak, semua pihak sudah mendapatkan
bagiannya. Tidak ada yang tertinggal.” Om Liem menggeleng. Mama dan
Tante Liem datang menghidangkan ginseng hangat, menghela napas prihatin.
Dan hanya soal waktu, berbagai masalah datang beruntun. Kapal-kapal itu
entah apa pasal, mendadak rusak di perjalanan, pengiriman tertunda
berbulan-bulan; ditemukan barang selundupan (kali ini petugas bea cukai
meminta uang sogok yang besar sekali), pencurian kargo di pelabuhan
(petugas kejaksaan justru menuduh kami yang mengada-ada), hingga
puncaknya, salah satu kapal kebanggaan keluarga tenggelam (menurut
kapten kapal, kejadiannya cepat sekali, kapal tiba-tiba sudah miring).
Tidak terbilang kerugian. Belum lagi uang yang dihabiskan untuk
menyumpal petugas, jaksa penuntut terkait kasus-kasus baru yang muncul
susul-menyusul. Sengketa lahan gudang (entah kenapa tiba-tiba ada akta
tanah kembar), penjelasan atas sekarung benda haram (ganja) di gudang
kami. Semua kejadian sial itu membuat bisnis keluarga tersumbat. Maka
hanya soal waktu, pembayaran bunga dan bonus untuk peserta arisan
tersendat, kerugian menggerogoti modal. Enam bulan berlalu, anggota
arisan mulai tidak sabaran, menuntut uang mereka dikembalikan.
“Bapak-Bapak, salah satu kapal kami akan segera merapat di pelabuhan.
Liem sedang mengurusnya. Jika barang-barang itu tiba, kami bisa segera
mendapatkan uang. Harap bersabar.”
“Bersabar sampai kapan, Koh?”
“Setidaknya sampai siang ini. Kami mohon pengertiannya.”
“Kenapa Kokoh tidak menjual gudang-gudang atau rumah ini saja untuk
membayar uang kami?” Seseorang berseru, segera ditimpali teriakan setuju
yang lain.
Papa menggeleng, wajahnya terlihat tegang. Orang-orang
yang berkumpul di depan rumah sudah ratusan. Dan semakin lama, semakin
terlihat bengis. Bukan hanya anggota arisan yang datang, kabar kesulitan
membayar bunga arisan membuat orang-orang lain berkumpul ingin tahu.
Juga terlihat sekelompok wajah-wajah garang, aku mengenalinya, mereka
preman. Mereka ribut menurunkan papan nama “Arisan Keluarga
Edward-Liem”. Berteriak-teriak memanasi situasi.
Apa pula urusan
mereka? Bukankah beberapa hari lalu Paman Edward juga bilang,
“Sebenarnya hanya segelintir dari anggota arisan yang memaksa uang
mereka dikembalikan. Yang lain masih bisa bersabar. Percaya kita bisa
mengatasi masa-masa sulit ini.”
Aku menghela napas lega, lima belas
menit kemudian datang dua truk polisi. Mereka bersenjata lengkap. Sigap
loncat dari truk. Langsung memblokade depan rumah. Aku tahu komandan
pasukannya, Letnan Satu Wusdi. Dia sering diundang dalam acara
pesta-pesta Papa.
“Selamat pagi, Koh.” Letnan polisi itu menyapa
Papa. Dia datang ditemani salah satu pejabat muda kejaksaan kota kami,
aku juga kenal, namanya Tunga, juga kolega dekat Papa dan Om Liem.
“Situasinya sepertinya memburuk, Koh?” Tunga tersenyum.
Papa mengangguk, mengembuskan napas panjang.
“Kau tidak perlu cemas.” Opa mengelus rambutku. “Setidaknya dengan ada
petugas, massa tidak akan bertindak nekat. Om Liem akan segera membawa
kabar baik.”
Aku mengangguk.
“Kau tidak jadi mengantar botol susu?” Opa mengingatkan.
Aku menepuk jidat, segera berlari kecil ke belakang. Mama sempat
membantuku menaikkan botol susu ke atas keranjang sepeda. “Hati-hati.”
Dan entah kenapa Mama sempat mencium dahiku. Tersenyum lembut. Aku
menyengir, segera mengayuh, menerobos kerumunan yang meski semakin keras
berteriak, tidak berani melewati barikade petugas.
Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan negosiasi dengan petugas.
“Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi.” Papa mengusap dahi.
“Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh rumah.” Wusdi menenangkan.
“Semua bisa diatur, Koh.” Tunga manggut-manggut.
Papa dan Opa tersenyum kecut. Mereka benar-benar mengandalkan dua orang
ini untuk mengurus banyak hal belakangan. Meski semua justru semakin
berlarut-larut dan rumit.
“Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan.” Papa mengeluh.
“Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam.” Opa ikut mengeluh.
Wusdi tertawa kecil. “Jangan cemas. Paling juga mereka hanya tertarik melihat keramaian.”
Tunga ikut tertawa kecil. “Biasalah. Kokoh harusnya tahu sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian.”
Sementara aku mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah.
Mengantar susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di
rumah.
Papa sedikit tersentak. “Itu pasti kabar baik dari Liem.”
Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua kepala menunggu.
Papa berbicara sebentar. “Apa?”
Gagang telepon jatuh.
Mama mendekat. “Apa yang terjadi?”
“Ka… kapal itu sudah merapat.” Papa terbata-bata.
“Bukankah itu kabar baik?” Tante Liem bertanya.
Papa menggeleng. “Kapal itu merapat dengan seluruh muatan terbakar.”
Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding.
Wusdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati. “Situasi ini rumit
sekali, Koh. Sungguh rumit…. Sekali saja massa di luar tahu kabar buruk
ini, mereka bisa mengamuk.”
Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak.
Tunga ikut berkomentar. “Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Koh.
Tapi sidang pengadilan tentang barang selundupan dan ganja akan segera
dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan banyak pihak yang
berebut menjatuhkan keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus
disumpal mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi.”
Opa semakin terdiam.
“Bakar!” Terdengar teriakan dari luar.
“Bakar!” Yang lain menimpali.
“Apa yang harus kami lakukan?” Papa memegang lutut Wusdi.
Wusdi dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai.
Wusdi bergumam lagi. “Anak buahku bisa saja menahan massa. Membubarkan
mereka, tapi massa di luar perlu jaminan kalau uang mereka akan
dibayarkan.”
Tunga ikut bergumam. “Kami bisa saja menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya.”
“Apa saja… apa saja yang bisa memastikan keluarga kami tidak diganggu.
Akan aku tebus.” Papa mulai panik, massa di luar mulai merangsek ke
dalam.
Wusdi dan Tunga menyeringai, saling lirik sebentar.
“Baiklah, apakah Kokoh bisa menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan
tanah. Dengan menunjukkan itu pada massa di luar, menjanjikan mereka
akan dibayar dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa
dibubarkan.” Wusdi berkata arif.
“Juga surat-menyurat perusahaan,
gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu akan terlihat
itikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk
jaksa kepala untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan bukti-bukti.”
Tunga ikut berkata bijak.
Papa dan Opa saling tatap sejenak. Mama sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya.
Lima menit, semua berkas itu sudah masuk ke dalam tas-tas Wusdi dan Tunga.
“Sekarang biarkan kami mengurus mereka.” Wusdi berdiri, menyalami Papa.
Tunga tersenyum mantap. “Kalian tidak perlu ke mana-mana. Semua masalah sudah selesai.”
Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar
dari pintu yang setengah terbuka. Sudah hampir dua ratus massa memenuhi
halaman.
Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Mulai menurunkan
satu per satu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil
berlari-lari kecil.
“Lapor Komandan, apa perlu kami memberikan
tembakan peringatan untuk membubarkan massa.” Salah satu sersan
mendekati Wusdi dan Tunga.
“Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak buahmu kembali ke markas.” Wusdi menjawab santai.
Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti. “Bukankah kita seharusnya justru meminta tambahan petugas, Komandan?”
“Tidak perlu, Sersan. Jangankan membayar uang arisan, keluarga ini
bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu berjaga-jaga siang ini di
rumah mereka. Kapal mereka terbakar di pelabuhan.” Tunga menepuk bahu
sersan polisi itu.
Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.
Kedua orang itu santai menaiki mobil, perlahan membelah massa yang
beringas. Wusdi menurunkan kaca, memberikan kode ke gerombolan preman.
Tunga di sebelahnya tertawa menepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.
“PRANG!”
Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang.
Hari itu umurku enam tahun.
Hari itu Papa dan Mama terpanggang nyala api. Rumah besar kami dibakar
massa. Opa dan Tante Liem, dibantu tetangga yang berbaik hati berhasil
melarikan diri. Om Liem yang kembali dari pelabuhan dua hari kemudian
hanya termangu melihat puing-puing. Aku yang pulang dari mengantarkan
botol susu menangis berteriak-teriak melihat asap mengepul dari
kejauhan. Beberapa tetangga mencegahku pulang ke rumah. Masih banyak
gerombolan tidak dikenal yang menunggui rumah. Hari itu keluarga kami
kehilangan semuanya.
***
“Kau tahu, Julia. Sejak hari itu
aku membenci Om Liem. Dialah yang penyebab semuanya. Omong kosong arisan
berantai keluarga Edward-Liem. Aku tidak mau terlibat dengan
perusahaannya, tidak mau dekat-dekat dengannya. Aku pergi dari rumah.
Tinggal di sekolah berasrama, dengan makanan dijatah, kamar tidur
sempit. Aku membencinya dua puluh tahun lebih. Bahkan satu hari lalu aku
tetap tidak peduli dengan Om Liem. Aku tahu skandal Bank Semesta,
penyidikan oleh bank sentral, polisi, dan kejaksaan. Hancur-lebur semua
konglomerasi yang dia miliki, aku tidak peduli. Masuk penjara ribuan
tahun, aku tidak peduli.
“Tetapi tadi malam, saat orang kepercayaan
Om Liem menjemputku di hotel, pukul dua dini hari, di dalam mobil Ram
menyebutkan nama petinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan yang menyidik
kasus Bank Semesta. Aku mengenali nama itu. Nama kedua bedebah itu. Kau
pernah bertanya padaku, apakah aku anak muda yang pintar, kaya, punya
kekuasaan dengan kepribadian ganda? Penuh paradoks? Kau keliru, Julia.
Aku adalah anak muda yang dibakar dengan dendam masa lalu. Jiwaku utuh.
Seperti berlian yang tidak bisa dipecahkan. Aku selalu menunggu
kesempatan ini.
“Apakah hidup ini adil? Papa-Mama mati terbakar. Dua
bedebah itu menjadi orang penting di negeri ini. Satu menjadi bintang
tiga kepolisian, hanya soal waktu dia jadi kepala polisi. Satunya lagi
jaksa paling penting dan berpengaruh di korpsnya, hanya soal waktu
menjadi jaksa agung. Aku kembali, Julia. Sejak tadi malam aku memutuskan
kembali ke keluarga ini. Aku akan membalaskan setiap butir debu jasad
Papa-Mama. Berikan aku waktu dua hari, kau bisa menulis semuanya. Aku
punya rencana. Aku bukan lagi anak kecil enam tahun yang berlari-lari
mengantar susu. Akulah bedebah paling besar dalam cerita ini. Jadi
apakah kau mau membantuku atau tidak, terserah kau.”
Jalanan tol lengang. Julia menatapku lamat-lamat, tidak menjawab.
Aku menghela napas pelan, dengan kaki pincang, melangkah perlahan,
kembali ke mobil. Di kejauhan seorang anak terlihat menggembalakan
beberapa ekor kambing di lereng bukit menghijau. Suara kambing mengembik
terdengar samar di antara lesatan mobil-mobil melintasi jalan tol.
Dengan tumit yang masih ngilu, aku akan memaksakan diri mengemudi.
Tetapi ternyata Julia belari kecil meraih lenganku.
Aku menoleh.
“Aku akan membantumu, Thom.” Gadis itu mengangguk mantap.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon