Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
AKU baru saja membuka dokumen yang memuat daftar deposan terbesar Bank Semesta, melingkari begitu banyak data menarik saat telepon di meja kerjaku berbunyi.
“Ada yang ingin menemuimu, Thomas.” Itu suara Maggie.
“Siapa?” Aku tertegun sejenak, ini hari Sabtu. Aku tidak pernah bilang
ke siapa pun kalau masuk kantor hari ini---meski ada banyak penghuni
gedung yang lembur di hari Sabtu.
“Mana aku tahu. Dia tidak bilang.” Maggie menjawab ketus.
“Bilang aku sibuk. Suruh dia datang kembali minggu depan, atau tahun
depan.” Aku mencoba bergurau, sepertinya tugas menumpuk yang kuberikan
pagi ini pada Maggie membuat mood buruknya kambuh.
“Itu dia, Thom.
Percuma. Orangnya sudah menuju ke ruanganmu. Tadi aku berusaha
mencegahnya, dia malah melotot galak. Nenek lampir.” Ternyata bukan
tugasku yang membuat Maggie kesal.
Pintu ruanganku diketuk.
Aku
meletakkan gagang telepon. Apakah hari ini orang mulai lupa sopan santun
bertamu? Baru semalam, Ram dan sopirnya merangsek ke kamar hotel,
membangunkanku dini hari buta. Sekarang ada lagi tamu yang..., gumamanku
lenyap, tamu itu bahkan sudah mendorong pintu ruangan.
“Kau bisa
saja membohongi wartawan dan editor lain, Thom. Tetapi tidak padaku.”
Gadis itu sudah memasuki ruangan, langkah kakinya sigap, menatapku
tajam.
“Julia?” Aku menepuk dahi. “Apa yang sedang kaulakukan di kantorku?”
“Mereka boleh saja bodoh, tidak tahu siapa kau sebenarnya, Thom. Tetapi
aku tidak, aku sekarang tahu siapa kau.” Julia berhenti persis di ujung
meja, menyibak rambut panjangnya, ekspresif melemparkan satu bundel
dokumen. “Seluruh resume tentang kau hanya menulis Thomas, bapak-ibunya
meninggal sejak kecil, tidak diketahui siapa nama mereka. Thomas
dibesarkan sekolah berasrama sejak usia enam tahun. Sisanya gelap.
Thomas murid paling cemerlang yang dimiliki sekolah, aktif dalam banyak
kegiatan, menunjukkan minat yang besar terhadap ekonomi, politik, dan
psikologi manusia, melanjutkan ke universitas ternama, tapi tidak ada
yang tahu riwayat keluarganya, Thomas yang bla-bla-bla.”
Aku masih menatap Julia, setengah bingung kenapa dia ke kantorku?
“Lantas bagaimana kalau kau kupanggil dengan ‘Tommi’, hah?” Julia
bersedekap, tersenyum sinis. “Apakah panggilan itu bisa menjelaskan
banyak hal? Tommi, cucu laki-laki satunya dari keluarga Liem-Edward.
Tommi, keponakan langsung dari Om Liem. Namamu memang tidak ada di
mana-mana dalam grup besar itu, juga dalam daftar pemegang saham Bank
Semesta, tapi jelas kau adalah related party, kesaksian, pendapat
profesional, dan sebagainya, menjadi sampah bila itu datang dari pihak
terafiliasi. Tidakkah kau diajari soal itu di sekolah bisnis, Tommi?”
Aku menelan ludah, menatap wajah cantik Julia yang seperti habis
memenangkan undian berhadiah sebuah pulau pesiar. “Dari mana kau tahu?”
“Anggap saja wartawan dengan predikat terbaik ini sejak turun dari
pesawat besar itu telah mengerjakan PR-nya dengan baik, Tommi.
Memasukkan namamu di mesin pencari internet, percuma, tidak ada sejarah
hidupmu. Membongkar seluruh berita-berita lama di pusat dokumentasi kami
juga sia-sia, catatan masa kecilmu seolah biasa-biasa saja, sama dengan
ribuan lulusan terbaik sekolah bisnis lainnya. Tapi aku bisa
memperolehnya, belum pernah aku seantusias ini mengobrak-abrik informasi
yang ada, termasuk mengancam pembantu di rumah Om Liem misalnya.”
Aku mengusap dahi, terdiam sejenak, mulai mengerti situasinya, lantas
tertawa kecil. “Astaga, Julia. Aku baru tahu kalau sejak dari pesawat
itu kau begitu menyukaiku.”
Wajah jumawa Julia terlipat. “Maksudmu?”
“Lihatlah, hanya orang yang begitu menyukaiku yang amat penasaran
dengan masa laluku, bukan? Jangan-jangan kau menyukaiku sejak pandangan
pertama. Kabar buruk bagimu, aku tidak pernah percaya cinta pada
pandangan pertama.”
“Tutup mulutmu, Tommi.” Julia melotot, berseru kesal.
Aku tertawa lagi. “Aku benar, kau semakin cantik jika sedang marah.”
Julia hampir saja melepas sepatunya, melemparkannya padaku, tapi
sedetik dia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri, lantas
bergaya menarik kursi, duduk di depanku.
“Edisi breaking news kami
terbit besok siang, Thom.” Dia menatapku datar, seperti tidak terjadi
apa-apa sebelumnya, melupakan marahnya barusan. “Deadline tulisan
wawancara itu sore ini. Tetapi aku bisa saja meminta pemimpin redaksi
menunggu naskahku hingga detik terakhir sebelum naik cetak tengah malam
nanti. Bahkan naskah liputanku tidak perlu masuk ke tangan editor.
Bahkan aku bisa meminta perubahan headline dan cover depan. Tidak ada
lagi hasil interviumu di pesawat, wajah tampanmu di cover depan. Tidak
ada lagi berita tentang krisis dunia, melainkan digantikan dengan
liputan yang lebih panas dan aktual.”
Julia diam sejenak, masih menatapku.
“Aku tidak akan main-main lagi, Thom. Kau tahu, sebelum menemuimu di
restoran tadi pagi, aku sudah mencari tahu di mana Om Liem. Dia raib.
Pihak polisi menolak menjelaskan, mungkin karena mereka malu. Mereka
sedang berusaha mati-matian memperbaiki kerusakan sebelum masyarakat
luas tahu, berusaha sekuat tenaga menutup-nutupi sebelum hari Senin
pengumuman tentang penutupan Bank Semesta dilakukan. Tetapi dari salah
satu petugas yang kusumpal dengan uang, aku tahu mereka mengepung rumah
Om Liem semalam. Taipan tua itu, pamanmu, kabur seperti orang yang
permisi menumpang ke toilet. Kau ada di sana tadi malam, bahkan boleh
jadi kaulah yang membantu Om Liem kabur. Ini serius, Thom, aku wartawan
profesional, aku tidak sakit hati kau mengolok-olokku di pesawat itu,
tapi jika kau tidak mau bicara terus terang apa yang sedang terjadi,
edisi breaking news review kami besok akan berisi wajah Om Liem, buronan
dan liputan tentang bobroknya Bank Semesta.
“Wartawan dan editor
lain mungkin mengunyah mentah-mentah ceramahmu tadi pagi, tapi aku sama
sekali tidak tertarik. Pendapatmu boleh jadi benar, dampak sistemis bisa
jadi bukan ilusi, dan bahaya besar sedang mengancam institusi keuangan,
bahkan ekonomi nasional, tapi kau tidak dalam posisi pihak independen
yang berhak memberikan pendapat. Kau berkepentingan. Jadi sekali lagi,
Thom, bicara terus terang padaku, atau media kami akan lebih sibuk
membahas tentang bobroknya Bank Semesta, dengan kesimpulan tutup saja
segera bank itu, tangkap secepatnya Om Liem di mana pun dia berada,
termasuk orang yang membantunya lari tadi malam.”
Julia bahkan tidak menarik napas untuk menuntaskan kalimat ancamannya.
Aku (yang) menghela napas pendek. Sebagai pemain yang baik dalam setiap
permainan, aku tahu persis situasiku terdesak. Julia menunggu, dan mata
hitamnya tidak berkedip sekali pun.
Suara dering telepon di meja kerjaku memecahkan senyap.
“Ada apa lagi, Mag?”
“Situasi darurat, Thom. Sekuriti lobi baru saja meneleponku, bilang ada
beberapa polisi berpakaian sipil menanyakan lantai dan ruangan kerjamu.
Mereka sudah naik lift.”
Polisi? Aku sudah melempar gagang telepon,
bergegas menumpuk dokumen yang sedang kubaca, memasukkannya dalam boks
kecil yang sudah disiapkan Maggie.
“Apa yang terjadi?” Julia berdiri, sedikit bingung.
Mereka ternyata cukup tangguh. Aku tidak menjawab pertanyaan Julia. Aku
tahu cepat atau lambat polisi akan mencariku. Selain alamat rumah--yang
jarang kutinggali, kantor adalah cara terbaik menemukanku. Tanganku
cekatan mengangkat boks dokumen.
“Apa yang terjadi, Thom.” Julia berseru sebal didiamkan.
“Aku harus lari, Julia.” Hanya itu jawabanku, bergegas keluar ruangan.
Maggie menyerahkan dokumen tersisa, menumpuknya di atas boks.
“Kau akan bilang ke mereka, aku tidak masuk kantor hari ini, tidak tahu-menahu, tidak mengerti.”
Maggie mengangguk, wajahnya tegang.
“Jika mereka terus mendesak, kau telepon pengacara kantor, minta ditemani dalam interogasi.”
Maggie mengangguk, wajahnya berubah pias.
“Tetap berhubungan denganku, Mag. Kau punya nomor telepon genggamku
yang tidak diketahui orang lain. Aku akan terus meminta bantuan darimu.
Paham?”
Maggie mengangguk, berpegangan dengan partisi ruangan, berusaha menenangkan diri. Situasinya dengan cepat berubah menegangkan.
Aku tidak sempat memperhatikan wajah pucat Maggie, aku sudah melangkah
keluar dari kantor, berlari-lari kecil di sepanjang lorong menuju lift.
“Thom, apa yang terjadi?” Julia kesal menyusul, berusaha menahan lariku.
Aku hendak menyuruhnya menyingkir, tapi teriakanku tersumbat, segera
balik kanan, dengan cepat menyelinap masuk kantor orang lain. Empat
polisi berpakaian sipil persis keluar dari lift, melangkah di lorong.
Mereka pasti bergegas menuju kantorku.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Resepsionis kantor tempatku menyelinap bertanya kepadaku, tersenyum.
Aku tidak mendengarkan, menatap empat polisi yang melintas di depanku,
hanya dibatasi dinding kaca transparan. Sekali saja mereka menoleh,
mereka akan melihatku yang sedang berdiri membawa boks dokumen.
“Mau bertemu dengan siapa, Pak?”
Aku sudah meninggalkan resepsionis---yang sekarang menatapku bingung.
Kembali ke lorong gedung menuju lift. Tidak bisa. Dua polisi berpakaian
sipil menjaga pintu lift. Mereka sepertinya belajar banyak dari kejadian
tadi malam, tidak meninggalkan celah untukku kabur. Juga di tangga
darurat, dua polisi menjaga pintunya. Aku mendesah pelan, kembali
menyelinap ke kantor orang, bersembunyi sebentar.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Resepsionis kembali bertanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Thom?” Julia juga terus bertanya.
Aku menatap wajah ingin tahu Julia. “Kau mau tahu banyak hal, Julia?”
Gadia itu balas menatapku, bingung, tapi dia mengangguk.
“Kau bantu aku keluar dari gedung ini, maka akan kuceritakan semuanya
padamu. Ekslusif. Kau bahkan bisa mendapatkan promosi dari cerita ini.”
Julia berhitung dengan situasi. “Semuanya?”
“Ya, semuanya.”
“Tidak ada yang ditutup-tutupi?”
“Ayolah, Julia. Aku boleh jadi tipikal orang yang tidak kausukai,
menyebalkan. Tapi aku selalu memegang janjiku. Kau akan mendengar
semuanya. Terserah kau mau menulis apa setelah itu, dunia ini jelas
tidak hitam-putih.” Aku berseru jengkel.
Julia mengangguk. Berpikir cepat, lantas melangkah keluar.
“Mau bertemu dengan siapa, Pak?” Sepertinya resepsionis kantor tempatku
menyelinap terlalu banyak menerima pelatihan keramah-tamahan, lagi-lagi
dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Tidak merasa aneh melihat
kami yang keluar- masuk kantornya sejak tadi.
Sebelum dia sempat
bertanya lagi, mendadak suara alarm meraung kencang, membuat senyumnya
terlipat. Kencang sekali. Membahana di langit-langit setiap lantai
gedung.
Aku mendongak, bertanya-tanya.
Julia kembali masuk, tersenyum jahat. “Aku barusaja memukul alarm kebakaran gedung, Thom.”
Aku menelan ludah.
Ruangan depan kantor tempatku menyelinap dalam hitungan detik sudah
dipenuhi orang-orang yang berlari keluar, berebut---termasuk resepsionis
amat ramah itu. Hilang sudah senyum manisnya, dia justru berteriak
paling panik. “Kebakaran! Kebakaran!”
“Bergegas, Thom. Kita bisa
kabur dari polisi dalam situasi seperti ini.” Julia sudah mengambil
sebagian dokumen dalam boks, berlari dalam keramaian menuju tangga
darurat.
Genius. Aku akhirnya mengembuskan napas, mengangguk.
Sepertinya aku telah menemukan teman setara dalam pelarian ini.
***
Meski hari Sabtu, tetap banyak karyawan yang masuk kantor di gedung dua
puluh empat lantai itu. Lobi, parkiran, lorong, tangga darurat, segera
dipenuhi orang-orang. Dalam situasi seperti ini, tidak mudah mengenali
wajah. Aku melewati dua polisi berpakaian sipil yang bingung melihat
gelombang orang berlarian. Mereka terpaksa menyingkir. Di lobi ada
beberapa polisi lainnya yang berjaga, celingukan, memeriksa, tapi mereka
tidak bisa melakukan apa pun, selain justru mengikuti komando evakuasi
dari petugas sekuriti gedung.
Julia memimpin jalan---aku mendengus
dalam hati untuk dua hal. Satu, untuk jelas-jelas aku lebih tahu arah
jalan dan tempat parkir mobilku dibanding dia, karena ini gedung
perkantoranku. Dua, untuk sial, saat berdesak-desakan turun tadi, dengan
boks penuh dokumen aku terjerembap. Kakiku terkilir. Tidak serius, tapi
cukup menghambat kecepatan, membuatku terpincang-pincang menerobos
kerumunan.
“Mana mobilmu?” Julia berseru, meningkahi keributan orang
yang menonton, orang-orang yang sibuk mendongak, bertanya-tanya di
lantai berapa kebakaran terjadi. Suara raungan alarm terdengar hingga
jalan, ditingkai suara sirene mobil pemadam kebakaran milik kompleks
perkantoran.
Aku menunjuk area parkiran, meraih kunci di saku,
sambil satu tangan mengepit boks. Mengeluh, dengan tumit kaki yang masih
terasa nyilu, aku tidak bisa mengemudi.
“Kau bisa mengemudi?” aku berseru bertanya.
“Tentu saja bisa.” Julia menjawab kasar, tersinggung.
“Eh, maksudku kau bisa mengemudikan mobil ini.”
Wajah marahnya segera terlipat, dia mematung sejenak.
Aku sudah melemparkan kunci.
Julia bergumam, entahlah, menyeka pelipis, lantas membuka pintu mobil.
Aku melemparkan boks sembarangan, dokumennya berserakan, ikut masuk,
mengempaskan punggung di jok berlapis kulit asli.
Lima belas detik
berlalu, kami sudah meninggalkan keributan halaman gedung. Berpapasan
dengan mobil pemadam kebakaran lain dengan sirene meraung, baru datang
dari gardu pemadam terdekat.
Aku melepas sepatu, meluruskan kaki,
berusaha memberikan napas ke tumitku yang terkilir. Julia menekan pedal
gas lebih dalam, meski dia sedikit gugup dengan interior mobil, termasuk
sedikit pucat dengan betapa bertenaganya mobil yang dia
kemudikan---mobil seperti terbanting saat digas, gadis di sebelahku itu
cepat menyesuaikan diri. Aku belum bisa menghela napas lega. Setelah
keributan pulih, petugas tahu alarm itu palsu, Maggie tidak akan bisa
menahan lama polisi.
Telepon genggamku berdering.
“Kau di mana, Thom?” Suara Ram.
“Aku sedang kabur, di mana lagi?” Aku balas berteriak.
Ram tertawa prihatin. “Maaf, Thom. Aku persis di parkiran gedung
kantormu, hendak memastikan apakah dokumen Bank Semesta yang kukirim
sudah diterima stafmu. Astaga, ramai sekali di sini. Kupikir ada
kejadian apalah. Om Liem bersamamu, Thom?”
“Om Liem di rumah peristirahatan Opa, Waduk Jatiluhur. Dia aman di sana.”
Ram bergumam sesuatu, syukurlah, atau thanks God, aku tidak mendengar jelas kalimatnya.
“Kau sudah terima dokumennya?”
“Sudah, Ram.”
“Sudah kaubaca?”
“Astaga, kaudengar, Ram, sekarang bukan waktunya bercakap-cakap.
Hubungi aku kalau ada kabar penting saja.” Aku segera mematikan telepon
genggam, menghela napas panjang, kupikir tadi telepon dari siapa lagi
atau kejutan baru lagi.
“Ini hebat, Thom.” Julia berseru dari belakang kemudi.
Aku menoleh.
Gadis itu seperti lupa kalau dia baru saja mengancamku di ruangan
kerja, atau baru saja lari dari polisi yang hendak menangkapku. Sekarang
wajahnya antusias, tangannya kokoh memegang kemudi.
“Mobil ini ada
asuransinya, kan?” Julia balas menoleh, menyengir. “Aku tidak bisa
menahan diri untuk tidak ngebut, Thom. Kalau sampai menabrak sesuatu,
aku tidak bisa menggantinya.”
Aku balas menyengir. Mobil melesat
menyalip tiga kendaraan sekaligus di jalan protokol Jakarta. Julia tidak
bohong, dia pandai mengemudi.
“Sayangnya mobil hebatmu ini tidak
ada GPS-nya, Thom. Apa susahnya kau membeli sistem navigasi yang hebat,
jadi kita bisa tahu jalan mana saja yang harus ditempuh, tahu jalan mana
saja yang macet. Apa gunanya mobil sehebat ini kalau kau tidak bisa
ngebut?”
“GPS?” Aku bertanya, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah telah kulakukan.
“Iya, GPS, Thom. Global positioning system, sistem navigasi sekaligus
alat tracking. Kau sepertinya bukan anak muda yang suka gadget, Thom.”
Aku mengutuk Julia dalam hati, tentu saja aku tahu apa itu GPS.
Pertanyaanku retoris, karena aku sedang mengingat kekeliruaan apa yang
telah kulakukan selama kabur semalam.
“Ada dua jenisnya, Thom. GPS
untuk navigasi atau tracking. Hari ini, jangankan mobil mahal, truk
untuk operasional tambang, truk peti kemas, mobil boks kurir, bus,
ambulans, bahkan taksi, semua dilengkapi GPS. Setidaknya GPS tracking
untuk mengetahui posisi mereka di mana, demi efisiensi dan alasan
keamanan armada, Thom.” Julia sebaliknya terus menjelaskan, menganggap
seringai burukku tanda tidak mengerti.
Aku benar-benar mematung.
“Ke mana tujuan kita, Thom?” Julia bertanya, antusias menyalip lagi
deretan mobil, dia bahkan berani mengambil marka jalan sebelah kiri,
membuat pejalan kaki berteriak mengacungkan tinju.
Astaga, aku
sungguh telah melakukan kesalahan besar. Apa kata Julia barusan?
Ambulans? Aku tahu GPS tracking. Benda kecil berbentuk chip itu
dibenamkan di jendela, pintu, atau bagian tertentu mobil, lantas
memancarkan sinyal secara kontinu untuk memberitahu posisi mobil.
Satelit menangkap data itu, sehingga pemilik mobil bisa dengan cepat
membaca di mana saja armada kendaraan yang mereka miliki berkeliaran di
jalan. Aku menepuk dahi. Rumah sakit yang mengirimkan ambulans untuk Om
Liem tadi malam pastilah memiliki mekanisme ini. Ambulans.
“Kita sekarang ke mana, Thom?” Julia bertanya lagi.
“Tol, masuk pintu tol keluar kota.” Aku mendesis. Suaraku bergetar oleh kecemasan.
Sekali saja polisi mendatangi rumah sakit, sekali saja mereka meminta
data posisi ambulans milik mereka yang dilarikan semalam, dengan segera
mereka tahu posisi Om Liem.
“Ngebut, Julia!” Aku menyuruh.
“Kau serius?” Julia tertawa.
“Aku lebih dari serius, Julia! Ngebut sebisamu, jangan pedulikan banyak
hal. Mobil ini dilindungi asuransi berkali-kali lipat nilainya.”
Julia mengangguk mantap, rahangnya mengeras. Dia menekan pedal gas lebih
dalam. Seperti peluru yang ditembakkan, mobil yang dikemudikan Julia
melesat menaiki fly over, langsung menuju pintu tol.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon