Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
MOBIL box laundry merapat ke salah satu apartemen elite Jakarta.
“Aku sibuk, Thom. Tidak ada waktu.” Suara Erik justru terdengar santai.
“Omong kosong. Selama ini aku selalu punya waktu untukmu, Erik. Bahkan
dalam situasi mendesak sekalipun.” Aku berlari kecil melintasi lobi
apartemen.
“Astaga, Thom. Tapi tidak sekarang. Ini hari Sabtu.
Libur. Aku sudah hampir sembilan minggu tidak pernah menikmati weekend,
bersantai menghabiskan waktu di apartemenku.”
“Itu bagus. Jadikan saja genap sepuluh minggu kau terpaksa tidak bisa bersantai.” Aku memencet angka 7 tombol lift.
“Baik, baik.” Suara Erik terdengar kesal. “Aku bisa menemuimu, tapi
setengah jam saja, nanti malam pukul delapan, terserah kau di mana
tempatnya.”
“Soal setengah jam, itu bukan masalah, Sobat. Lebih dari
cukup. Soal nanti malam, nah itu yang jadi masalah. Sekarang, Erik,
kita harus bertemu sekarang.” Pintu lift terbuka, aku melintasi lorong
lantai.
“Sekarang? Memangnya kau ada di mana?”
“Lima detik lagi aku menekan bel apartemenmu. Nah,....” Aku sudah memukul kasar bel di sebelah pintu jati berukiran itu.
“Eh?” Kalimat Erik terputus oleh suara bel.
Aku memasukkan telepon genggam ke dalam saku.
Wajah Erik muncul di balik pintu beberapa detik kemudian. Dia
mengenakan kaus, berkeringat. “Kau gila, Thom. Ada apa sebenarnya?”
Aku melangkah masuk, mengabaikan tampang keberatannya.
Erik sedang latihan squash. Dia sengaja menyulap ruang depan dan ruang
tengah apartemen luas dan mewahnya menjadi lapangan squash kecil. Aku
dan beberapa teman dekat beberapa kali pernah berlatih bersama.
Apartemen luasnya sepi, hanya suara televisi layar lebar terdengar
berisik.
“Kau bermain sendirian?” Aku bertanya, melihat sekitar, meraih raket squash yang tergeletak.
Erik mengangkat bahu. “Semua orang sibuk, Thom. Bekerja seperti besok
mau kiamat, jadi tidak ada yang mau kuajak latihan. Termasuk kau, tega
sekali kau memotong Sabtu santaiku.”
Aku melemparkan raket squash ke
lantai, meraih remote televisi di atas meja kecil, menaikkan volume,
ada liputan breaking news dari salah satu stasiun terkemuka. Pembawa
acaranya sibuk melaporkan situasi terakhir di bursa saham Amerika tadi
malam. Indeks Dow Jones jebol nyaris 500 poin. Itu artinya kapitalisasi
saham di sana menguap 4 persen dalam sehari, setara dengan ribuan
triliun rupiah, angka yang setara dengan menyekolahkan satu miliar anak
hingga lulus kuliah. Kepanikan sedang terjadi di Amerika. Beberapa bank
dan institusi keuangan dilaporkan dalam kesulitan besar, menyusul
Citibank, Lehman Brothers. Otoritas bank sentral, pejabat senior, bahkan
pengamat ekonomi peraih nobel memberikan komentar. Wajah-wajah
bergegas, wajah-wajah lelah. Siapa lagi yang akan tumbang?
Pembawa
acara berpindah ke berita berikutnya, Bank Semesta, bla-bla-bla, sumber
terpercaya terakhir menyebutkan Bank Semesta akan ditutup, bla-bla-bla,
risiko dampak sistemis di depan mata, bla-bla-bla, apakah krisis dunia
akan tiba di Indonesia, aku sudah menekan tombol mute televisi. Bisu.
“Kencangkan lagi volumenya, Thom.” Erik justru tertarik. Dia melangkah
mendekat, mendongak ke layar televisi yang tergantung di dinding
lapangan squash-nya.
“Tidak penting, Sobat.” Aku menyeringai.
“Kencangkan, Thom. Ini penting setelah begitu banyak kabar sampah
tentang kondisi terakhir dunia luar.” Erik berusaha meraih remote dari
tanganku.
Aku menepis tangannya, menatap lamat-lamat Erik dengan tatapan dingin.
“Eh, ada apa?” Erik menelan ludah.
“Kenapa kau begitu tertarik dengan Bank Semesta, Sobat? Atau
jangan-jangan kau salah satu di antara begitu banyak orang yang berharap
bank itu ditutup saja.”
“Eh, aku?” Erik mengangkat bahu, tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba sinis.
“Ya, kau salah satunya. Misalnya agar rekomendasi keliru yang sengaja
kauberikan enam tahun lalu musnah bersama hilangnya nama Bank Semesta,
hah? Tidak ada lagi yang bisa membuktikan kalau seharusnya bank itu
sudah ditutup sejak dulu.”
Erik diam. Dia sepertinya baru menyadari apa tujuanku datang ke apartemennya.
“Apa maksudmu, Thomas?” Erik menyelidik.
Aku tertawa. “Kau hanya punya waktu setengah jam, bukan? Baik. Aku
sudah memakainya empat menit, berarti tinggal dua puluh enam menit. Kita
akan bicara sambil berdiri seperti ini, atau kau akan berbaik-hati
menyuruhku duduk?”
Erik bergumam samar, menyeka peluh di leher, mengangguk, menunjuk kursi.
Aku mengarahkan remote ke arah televisi, sekejap menekan tombol off.
Apartemen luas Erik lengang seketika.
***
“Aku tidak mau melakukannya.” Erik menggeleng.
Lima belas menit setelah aku menjelaskan situasi dan menyebutkan permintaan.
“Kau akan melakukannya.” Aku berkata tegas, melempar bundel kertas yang
diberikan Maggie tadi siang, “Atau aku akan menyebarkan dokumen ini ke
seluruh wartawan yang kukenal.”
Erik menyambar kertas di atas meja, membaca selintas halaman depan, lantas merobeknya.
Aku tertawa. “Percuma, Sobat, aku masih punya master file-nya di
kantor. Kau mau kugandakan jadi berapa? Lima belas lembar? Lima ratus?”
Erik mendengus marah.
“Aku tidak tahu apa-apa, Thom!”
“Omong kosong, Erik!” aku membentaknya. “Kau penasihat keuangan yang
memberikan opini ketika Om Liem mengakuisisi Bank Semesta. Temanmu yang
di bank sentral itu bertugas menutup-nutupi semua data, mengamini
rekomendasi yang kaubuat, sehingga petinggi bank sentral dengan mudah
menyetujui proses akuisisi sekaligus merger empat bank kecil. Kalian
pasangan yang hebat. Dua penjahat. Bank Semesta seharusnya sudah tinggal
nama di papan nisan enam tahun lalu. Kalianlah yang berbusa menjualnya
ke Om Liem.”
Erik tersengal, tapi dia tidak bisa berkomentar lagi.
“Santai saja, Sobat. Aku juga sering melakukan rekayasa laporan,
mempermanis angka, memperindah tampilan. Semua penasihat keuangan macam
kita terbiasa dengan window dressing, manipulasi. Bedanya, kau keliru
telah memilih klien Bank Semesta. Aku related party bank malang ini. Aku
berada di pihak yang dirugikan atas opinimu. Nah, sekarang aku akan
berusaha mati-matian menjadikan laporan enam tahun lalu ini sebagai
amunisi menghabisi kalian jika kau tidak mau membantuku.”
“Apa yang sebenarnya kauinginkan, Thom?” Erik mendesis.
“Mudah saja, Sobat.” Aku tersenyum tipis. “Seperti yang tadi saya
bilang. Temanmu di bank sentral itu sudah menjadi pejabat penting di
sana. Mereka bilang, salah satu bintang dalam hierarki karier bank
sentral. Dia mengepalai dan bertanggung jawab atas semua data, angka,
dan informasi seluruh pengawasan perbankan. Kita semua tahu, Erik, jika
dia bilang A, jangankan deputi, bahkan gubernur bank sentral juga akan
bilang A. Mana sempat deputi gubernur bank sentral mengolah data
sendiri, mereka tidak lebih hanya orang-orang berkuasa yang duduk di
kursi nyaman. Mereka menerima semua data yang diletakkan di atas meja,
tidak sempat melakukan verifikasi bahkan konfirmasi.
“Dalam beberapa
jam ke depan, eskalasi kasus Bank Semesta akan bertambah besar. Ketika
seluruh media ribut mencemaskan tentang dampak sistemis, isu rush,
kepanikan, hanya soal waktu komite stabilitas sistem keuangan akan
mengundang pihak berkepentingan rapat membahas tentang Bank Semesta.
Untuk menghadiri rapat itu, petinggi bank sentral akan membutuhkan data
terakhir tentang Bank Semesta, angka-angka, informasi, perhitungan,
semuanya.
“Nah, kauhubungi teman baikmu di bank sentral itu, minta
agar dia melakukan hal yang sama enam tahun lalu, mempermanis laporan
tentang Bank Semesta. Misalnya mempermanis angka talangan yang harus
diberikan jika pemerintah memutuskan melakukan bail out. Boleh jadi
angka sebenarnya tujuh triliun, tapi temanmu bisa membuatnya hanya dua
triliun saja. Tujuh boleh jadi membuat komite segera menggeleng,
resisten. Tapi, dengan angka dua, mereka akan manggut-manggut. Angka itu
harus segera ada dalam laporan, ada di kepala petinggi bank sentral,
dan disebutkan dalam rapat komite. Menjadi basis keputusan pertama
mereka.”
“Kau gila, Thom. Dalam situasi seperti ini, mereka pasti
akan melakukan verifikasi dan konfirmasi berkali-kali. Mereka tidak
bodoh.”
“Aku lebih dari tahu soal itu, Erik. Kaulakukan saja
skenarionya. Sekali rapat komite terjadi, temanmu di bank sentral itu
boleh-boleh saja mengubahnya lagi, bilang angka sebelumnya tidak update,
cut-off keliru. Tapi, sekali rapat komite telah dilangsungkan, sekali
mereka terdesak harus segera mengambil keputusan, dan aku sudah
menyelipkan kepentingan di beberapa peserta rapat, apa bedanya dua
triliun dengan tujuh? Dalam dunia ini, kita telah mengambil keputusan
bahkan sebelum keputusan itu terjadi, kita hanya butuh argumen yang
cocok saja.”
Erik mengusap wajahnya.
“Apa sebenarnya yang sedang kaurencanakan, Thom?”
“Menyelamatkan Bank Semesta.”
“Kau tidak bisa memengaruhi begitu banyak orang penting, Thom. Astaga,
apakah kau berpikir bisa memengaruhi menteri keuangan, gubernur bank
sentral, bahkan presiden sekalipun?”
Aku tertawa pelan, meraih
sesuatu di atas meja. “Kita lihat saja nanti, Sobat. Sekarang kauurus
saja yang kusuruh. Jika temanmu itu sama becusnya seperti enam tahun
lalu, aku sudah memegang satu bidak, bank sentral. Dua bidak lain sedang
kuurus. Nah, bergegas. Waktuku terbatas. Hubungi temanmu di bank
sentral itu. Ajak dia segera bertemu, mulai mempermanis banyak hal, atau
aku segera mengirimkan dokumen yang kaurobek tadi ke semua redaksi
koran. Jika itu terjadi, kariermu dan karir temanmu itu tamat, bahkan
sebelum Bank Semesta selesai dilikuidasi.”
Erik menghela napas, menatapku lamat-lamat. “Kenapa kau melakukan ini padaku, Thom?”
Aku sudah berdiri. “Kau tidak mendengarkanku dengan baik. Aku related
party Bank Semesta. Namaku boleh jadi tidak tercantum di mana-mana, tapi
aku orang pertama yang akan menyelamatkan bank itu. Selamat tinggal,
aku harus segera mengurus hal lain. Jangan matikan telepon genggammu,
aku akan meneleponmu kapan saja. Maaf membuatmu tidak bisa bersantai di
akhir pekan untuk kesepuluh kalinya. Dan satu lagi, aku pinjam mobilmu.
Diparkir di tempat biasa, bukan?”
Erik bergumam kasar melihat kunci mobilnya yang kupegang. Wajah merahnya menggelembung, tetapi dia tidak berkomentar.
Aku sudah melangkah menuju pintu apartemen.
***
Aku berganti kendaraan. Mobil Erik jauh lebih pantas dibanding mobil box laundry.
Aku segera menghubungi telepon genggam Julia.
“Julia, halo, kau di mana? Suaramu tidak terdengar!” aku berseru sambil
menekan klakson. Gerimis sudah raib di jalanan, bergantikan merah
langit, sebentar lagi malam datang.
“Aku di konferensi pers, Thom.”
“Julia, bukankah kau seharusnya sedang mencari cara bertemu....“
“Aku sedang ikut konferensi pers, Thom. Kau bisa telepon aku setengah jam lagi.”
“Apa perlunya kau ikut konferensi? Kau tidak sedang meliput berita
lebih penting, kitalah yang membuat berita. Kau seharusnya sedang
menelepon kontak yang ada, meminta skedul....“
“Aku justru persis di
depan menteri, Thom. Dia sedang bicara, semua wartawan berebut
mengambil posisi paling depan.” Suara Julia terdengar kesal. “Setengah
jam lalu ada rilis penting ke seluruh media massa, aku tidak jadi ke
kantor, langsung berbelok arah, ada konferensi pers mendadak dari ketua
komite stabilitas sistem keuangan. Dia memberikan tanggapan awal atas
masalah Bank Semesta yang eskalasi masalahnya naik tajam sehari
terakhir. Kalau beruntung, setelah konferensi pers, aku bisa meminta
waktu resmi bertemu dengannya. Tidak bisakah kau bersabar? Aku akan
melakukan tugasku dengan baik.” Suara sebal Julia masih terdengar
dua-tiga kalimat lagi sebelum dia memutus percakapan.
“Besok, Thom.
Kita pasti bertemu langsung dengannya, tapi sebelum itu terjadi biarkan
aku mengurusnya. Setidaknya mencatat apa yang sedang dia omongkan.
Mungkin itu berguna bagimu.”
Persis satu detik Julia menutup pembicaraan, telepon genggamku berbunyi lagi.
“Kau di mana, Thom?”
Itu suara khas Ram.
“Kabur, kau pikir aku di mana lagi?” aku menjawab pendek, bergumam. Dalam situasi seperti ini Ram masih saja suka berbasa-basi.
Ram tertawa prihatin. “Tentu saja kau sedang kabur, maksudku kau persisnya lagi di mana?”
“Di balik setir. Mengemudi di jalanan macet Jakarta.” Aku menatap datar
keluar jendela, untuk kesekian kali mobilku terhenti di perempatan.
Hari Sabtu, tetap saja jalanan kota padat.
“Om Liem bersamamu? Eh,
maksudku, aku baru saja mendengar kabar kalau petugas polisi menyergap
rumah peristirahatan di Waduk Jatiluhur. Aku dengar kalian berhasil
kabur lagi. Om Liem baik-baik saja?” Ram segera memperbaiki pertanyaan,
sebelum aku kembali menjawab menyebalkan.
“Secara fisik dia
baik-baik saja, jika itu maksud pertanyaanmu. Tetapi secara psikis mana
aku tahu. Untuk orang setua itu, boleh dibilang keajaiban kecil dia
tidak terlihat stres, sakit kepala, atau bahkan jantungan dengan semua
masalah.”
“Om Liem bersamamu, Thom?” Ram memotong.
“Tidak. Dia bersembunyi di tempat aman.”
“Di mana?”
“Astaga? Kenapa kau ingin tahu sekali?” Aku menekan klakson, menyuruh minggir angkutan umum yang berhenti sembarangan.
“Bukankah kau sendiri yang menyuruhku memberikan informasi ke Om Liem
soal kabar terakhir Tante? Lagi pula Om Liem hingga Bank Semesta pailit
adalah pemimpin seluruh grup bisnis. Ada banyak update perusahaan yang
harus dia tahu. Dokumen-dokumen yang harus dia tanda tangani.
Surat-surat dan korespondensi dua hari terakhir yang belum sempat dia
baca. Aku bertanggung jawab memastikan itu semua berjalan baik.” Ram
terdengar sedikit tersinggung.
“Bagaimana kabar Tante?” Aku memotong kalimat protesnya.
“Tante Liem baik. Dokter sudah mengizinkannya pulang baru saja, bisa dirawat di rumah.”
“Nah, biar aku saja yang menyampaikan kabar baik ini pada Om Liem. Juga
urusan pekerjaan, kau suruh salah satu staf perusahaan menitipkan
dokumen, surat, apa pun ke Maggie, nanti Maggie yang akan mengirimkanya
padaku, itu pun jika urusan itu tidak bisa menunggu hingga hari Senin.
Situasi berubah, Ram. Aku memutuskan, satu-satunya akses kepada Om Liem
adalah aku. Dia sedang bersembunyi di salah satu rumah miliknya. Tidak
boleh ada yang tahu.”
Ram terdengar menggerutu sebelum menutup telepon.
Aku menyeringai, kembali menatap jalanan yang macet.
Aku tahu Ram adalah orang kepercayaan Om Liem belasan tahun terakhir.
Dia bahkan ikut keluarga Om Liem sejak kecil, disekolahkan, diberikan
kesempatan mengurus bisnis keluarga, dan dilatih langsung oleh Om Liem.
Tetapi saat ini, satu-satunya orang yang kupercaya adalah diriku
sendiri. Bahkan aku tidak memercayai Om Liem---dalam situasi ini
satu-dua kalimat dan tingkah bodoh bisa membuat seseorang (termasuk Om
Liem atau Ram) tanpa disengaja telah mengkhianati sesuatu, jadi bukan
sekadar soal dapat dipercaya atau tidak lagi.
Telepon genggamku kembali berbunyi.
“Ada berita penting, Thom.”
“Umur panjang, baru saja kusebut, kau sudah meneleponku, Maggie.” Aku
tertawa kecil, sedetik mengingat hal bodoh yang pernah kami lakukan saat
masih menjadi mahasiswa sekolah bisnis. Baru saja kusebut nama Maggie
pada Ram, dia meneleponku.
Ini sudah menjadi tradisi panjang yang
tidak bisa ditelusuri muasalnya. Setiap kali kita habis menyebut nama
seseorang, dan tiba-tiba dia muncul, orang-orang tua kita selalu
mencontohkan berseru, “Umur panjang.” Kami dulu suka jail membahas
hal-hal seperti ini di tengah pening mengerjakan tugas dari profesor
yang bertumpuk. Apa coba hubungannya umur panjang dengan tiba-tiba dia
muncul?
“Terima kasih doanya, Thom. Tetapi aku harap tidak
menghabiskan umur panjangku dengan bekerja di tempatmu.” Maggie tidak
tertawa, dia fokus. “Berita penting, Thom.”
“Silakan,” aku menjawab takzim.
“Gubernur bank sentral dan kepala lembaga penjaminan simpanan malam ini
pukul tujuh akan menumpang pesawat keluar kota. Mereka ada jadwal
mengisi kuliah umum bersama di salah satu kampus terkemuka besok
pagi-pagi, dan segera kembali ke Jakarta setelah itu. Kau mau kubelikan
satu tiket kelas eksekutif agar bisa bersebelahan kursi dengan mereka
pada malam ini atau besok paginya?”
Aku sungguh tertawa untuk
sesuatu yang lebih penting sekarang. Ini adalah update paling brilian
yang disampaikan Maggie dua belas jam terakhir. Maggie adalah stafku
yang paling cerdas. Dia berpikir sama sistematisnya denganku. “Bisa
dipahami, Thom. Maggie hampir empat tahun menjadi stafmu. Mengikuti
ritme, cara, waktu kerja, bahkan pola berpikirmu. Dia berkembang menjadi
staf paling mutakhir dan resourcesfull karena kau, Thom.” Itu komentar
Theo, teman dekatku sejak suka bicara omong kosong tentang “panjang
umur” di sekolah bisnis. Aku tidak tahu apakah Theo serius. Yang aku
tahu, Maggie adalah salah satu amunisi terbaikku.
“Skedul yang mana,
Thom? Malam ini atau besok pagi? Aku masih punya pekerjaan lain selain
mengurus tiketmu.” Suara ketus Maggie kembali terdengar.
“Segera,
Mag, yang malam ini. Kaupastikan ke petugas city check-in agar aku
persis duduk di sebelah mereka. Kau e-mailkan e-tiketnya. Aku segera
menuju bandara sekarang.” Aku mengangguk, memutus pembicaraan, melempar
telepon genggam sembarangan, lantas tangan kiriku mengganti persneling,
membanting setir, dan menekan klakson panjang. Mobil yang kukemudikan
berputar tajam. Membuat “pak ogah”, pengatur lalu lintas gadungan yang
sering mangkal di perempatan, U-turn, atau bagian jalan apa saja yang
sering macet, terbirit-birit takut kena tabrak.
Hampir pukul enam
sore. Warna merah jingga di langit mulai pudar, bergantikan gelap.
Waktuku tinggal 36 jam, 15 menit sebelum pukul 08.00 hari Senin.
Mobilku melesat cepat menaiki ramp jalan, menuju pintu tol bandara. Ini
kesempatan hebat, mana boleh ditunda hingga besok. Jika berhasil, sekali
dayung aku bisa memengaruhi dua peserta rapat komite stabilitas sistem
keuangan sekaligus.
**bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon